Suara dentuman musik dari DJ menggema di salah satu klub malam di kota itu. Orang-orang di dalamnya begitu asik menikmati: seolah ingin melupakan beban masalah yang dimiliki. Setidaknya satu malam saja mereka lupa pada realita dan bersenang-senang guna melampiaskan beban hidup.
“Lo asik banget, Bell.” Zico menggerakkan badannya mengikuti alunan musik satu tangannya memegang gelas minuman. Sementara orang yang diajak berbicara seperti tidak memperdulikan keberadaannya
“Bella… lo keren.” Zico menunjukkan dua ibu jari saat matanya menatap terang-terangan Isabella yang tengah asik berlenggok. Malam ini penampilan Isabella terlihat spektakuler
“HAH, APA?! LO NGOMONG APA GUE NGGAK DENGAR, CO.” teriak Isabella karena memang suara musik memekik telinga
Zico merangkul bahu Isabella, mendekatan bibirnya ke telingan Isabella. “LO KEREN, SAYANG.”
Isabella tertawa, sudah biasa dipuji secara terang-terangan oleh lawan jenis. Baginya ini bukan hal yang baru. “Gue emang selalu keren.”
“Malam ini sama siapa?” Zico masih asik menatap penampilan Isabella naik turun. Sungguh siapa yang tidak terpesona melihat wajah cantik juga body apik milik Isabella.
“HAH, APAAA CO…?” Isabella memang budek sepertinya. Zico sangat sabar untuk menghadapi perempuan seperti Isabella
Zico lantas tertawa balik, “MALAM INI SAMA SIAPA, NONA?”
“Nggak ada. Gue sendirian.” Isabella memang pergi sendirian ke klub. Bukan untuk bekerja melainkan untuk bersenang-senang. Dia terlalu lelah dengan semua. Isabella ingin melupakan masalahnya termasuk soal Nando. Setelah hampir sebulan menjalani hubungan dengan Nando dia merasa jenuh dan menyesal. Mungkin penggambarannya seperti itu.
“Sama gue, kuy…” Zico mengajaknya namun Isabella jelas tidak menginginkan itu
“Gue udah nggak kerja lagi, Co.”
“Kenapa?”
“Cowok gue selalu ngawasi ngikutin gue kemana-mana.”
Begitu musik berhenti dan digantikan dengan alunan yang lebih slow Isabella dan Zico memilih duduk di sebuah ruangan. Bukan kategori ruangan VIP karena banyak orang duduk disebelah mereka.
“Lo punya cowok?” pertanyaan Zico seperti meragukan bahwa Isabella ini laku
“Lo pikir gue nggak laku?” tembak Isabella kesal sendiri
Zico terkekeh ringan, “Bukan begitu…” koreksinya
“Eh, habis dari Nando terus sekarang gandengan sama bekas gue ya.” Jesika tiba-tiba saja nimbrung. Di samping perempuan itu ada Iyan salah satu alumni Universitas yang sama.
Isabella merapikan pakaiannya yang sedikit terbuka dibagian paha. “Duhhh, nggak berhasil gait Beryl sekarang sama mas Iyan tohhh…” sindir balik Isabella
Jesika melotot kesal, “Beryl punya gue!”
Iyan yang menjadi topik perbincangan lantas menggeleng heran. Dia lebih memilih duduk dan mengobrol bersama Zico. “Pusing gue. Kalian debat macam kucing sama tikus tahu nggak.”
“Dia yang mulai.” Isabella sedang mumet jadi kalau tidak disenggol mana mungkin dia ikutan sensi
“Dihhh…” Jesika menghiraukan Isabella dan memilih duduk di samping Zico. Sepertinya musuhnya ini memang masih menyukai Zico terbukti setiap perempuan yang jalan dengan mantan pacarnya itu akan langsung diamuk. Padahal setahu Isabella mereka berdua sudah putus cukup lama.
Beruntungnya Dhea, tidak menjalin hubungan serius dengan Zico. Karena sikap Zico yang buaya darat tentu saja akan membuat sahabatnya itu makan ati.
“Lo ngapain ngelihatin gue?” sungut Jesika murka
Isabella berdecak malas, “Ngelihatin elo. Kenapa miskin attitute banget.” Jelas saja omongan Isabella langsung dibalas tawa dan gelengan takjub oleh Zico maupun Iyan
“Kurang ajar nih cewek.” Amuk Jesika tidak terima
Isabella ikut tertawa. Matanya melirik keberadaan Beryl yang berada di depan meja bartender bersama dua orang laki-laki yang sekarang Isabella sudah tahu namanya. Satunya bernama Danis si makhluk penuh kehaluan dan satunya lagi mirip artis Spanyol bernama Azlio.
Mata Beryl dan Isabella bertemu. Namun Beryl lebih dulu memutus kontak mata mereka. Dia seperti enggan berurusan dengan Isabella.
Apa benar Beryl sudah menyerah dari pekerjannya?!
“Bell…”panggil Iyan dan langsung mendapat atensi dari Isabella
“Kenapa kak?”
“Pulang bareng gue mau?” tawarnya pada Isabella.
“Loh kak, tadi kan ngajakin aku pulang bareng.” Serobot Jesika tidak terima miliknya direbut paksa Isabella
Isabella menggeleng, menolak. Dia tidak bernafsu atau ingin melayani godaan laki-laki. Meski Isabella tahu bahwa Iyan memang sangat baik. Tapi tetap saja Isabella sedang tidak ingin.
“Gue dijemput kok, Kak.” dusta Isabella
Padahal jelas saja nanti Isabella akan pulang sendirian. Memangnya dia akan dijemput siapa, Nando?! Mimpi sajalah karena Isabella pergi ke klub juga diam-diam. Isabella tidak tahu akan seperti apa jadinya jika saja nanti Nando tahu dia pergi ke klub sendirian tanpa ditemani laki-laki itu.
Zico sepertinya tidak ingin ikut campur. Setelah dipepet Jesika dia malah memilih permisi pamit. Mungkin menghindari seorang Jesika.
“Tuh, Zico aja anti deket sama elo.”
“Lo berani sama gue?” tantang Jesika murka
“Buat apa juga gue takut, sialannn…”
Plakkk…
Satu tamparan mendarat sempurna di pipi Isabella.
“Heh, apa-apaan sih kalian! Persis bocah banget.” Iyan berada di tengah-tengah mereka
“Lo iri, kan, sama gue?!” tembak Jesika mendorong bahu Isabella
Isabella tertawa sinis, “Gue…?” Isabella menunjuk dirinya sendiri “Iri sama perempuan modelan elo? Nggak salah nih?” Isabella tidak habis pikir buat apa juga dia iri dengan Jesika. Tidak ada yang bisa dibanggakan dari seorang Jesika kecuali sikap sok jagoannya. Lebih tepatnya dia labrakable banget.
“Lo pengen sama Zico, kan?” tembaknya marah
“Yang ada Zico yang mau sama gue!” jawab Isabella dan membuat Jesika kalah telak.
Byurrr…
Jesika membuang minumannya kearah Isabella dan membuat pakaian Isabella basah. Isabella misuh-misuh dan tentu saja Jesika sangat senang melihat respon barusan.
Hampir saja Isabella mencakar wajah mulus Jesika namun sebelum kuku panjangnya berhasil mengenai kulit Jesika tindakannya sudah di hentikan oleh seseorang.
“Isabella. Stop!!!”
“Gue bilang berhenti!” kata Beryl tegas sembari menarik tubuh Isabella mundur
“Lepasin gue! Dia nggak tahu diri sama sekali. Selalu nuduh tanpa bukti.” Isabella ingin kembali mendekati Jesika namun ditahan Beryl dengan memeluknya dari belakang. Sementara Danis memegangi Jesika yang juga misuh-misuh karena ditarik macam karung beras.
“Berhenti jadi beringas, Bella!!!”
“Dia yang mulai, sialann.”
“Gimana kalau misal dia luka?”
Isabella tidak salah dengar bukan?! Kenapa Beryl membela Jesika sementara biasanya laki-laki ini akan selalu berpihak kepadanya. “Lo belain Jesika, Beryl?”
“Gue yang harusnya lo jaga bukan dia!” amuk Isabella jadi tidak terima begini
Beryl kebingungan. Dia memarahi Isabella dan mencegah perempuan ini melakukan tindakan kekerasan juga sebagai wujud perlindungan. Lantas bagaimana bisa Isabella malah mendeskripsikan dengan pandangan berbeda.
“Lo beda, Ber.”
“Hah?” Beryl masih tidak mengerti
“Lo sama aja kayak cowok berengsek di luar sana. Lo cuma nyari sensasi aja.”
“Maksudnya?”
“Isabella cemburu karena elo lebih belain Jesika daripada dia, Beryl.” kata Danis menjelaskan bahasa rumit Isabella. Memang perempuan selalu ruwet.
____________________________
“Gue nggak cemburu!” ujar Isabella begitu berada di mobil milik Beryl
Memang selalu saja setiap mereka berdebat akan berakhir di mobil Beryl dan tidak akan berhenti sebelum sampai ke tujuan.
Beryl menyisir rambutnya ke belakang. Stress juga lama-lama bertemu spesies modelan Isabella. “Gue juga nggak akan repot-repot perduli semisal ternyata elo cemburu sama sikap gue ke Jesika itu.”
Isabella mendesis, “Lagian ngapain sih pakai acara nyamperin gue segala. Bukannya elo udah pensiun jagain gue, ya?”
Mata Beryl melirik Isabella yang asik dengan menscroll ponsel mahalnya. “Siapa yang bilang gitu?”
“Menurut gue aja, sih.” ujar Isabella asal
“Lagian buat apa loe dijagain. Nando kan udah jadi bodyguard super handal.” Sebenarnya selama satu bulan ini Beryl masih mengikuti Isabella. Namun bedanya dia tidak lagi menampakkan diri secara terang-terangan. Beryl hanya akan muncul semisal Isabella dalam keadaan butuh bantuan atau bertindak terlalu jauh. Seperti hari ini misalnya.
“Lo masih ngikutin gue, ya?” Isabella mulai curiga mendengar jawaban Beryl
“Gue udah mulai sibuk. Prof.Warsono jarang ada di kampus. Dia lebih sering wira wiri jadi bikin jadwal gue tambah padat.”
“Ngomong-ngomong jangan bawa gue ke rumah Prof.Warsono.” pinta Isabella dengan raut wajah memelas
“Kenapa?” Beryl fokus menyetir dengan tetap berinteraksi bersama Isabella
“Entah…gue cuma nggak mampu melihat dia kecewa dengan kondisi gue sekarang ini.” Isabella mengeluh. Takut juga akan didamprat oleh Prof.Warsono
“Terus kemana?”
“Rumah..”
________________________________
Plakkk…
Satu tamparan mendarat sempurna di pipi Isabella begitu masuk ke dalam rumahnya. Tubuhnya di dorong hingga membentur dinding.
“Do…” Isabella meringis merasakan nyeri diarea pipinya. Nando menamparnya tepat setelah Isabella masuk ke dalam rumah. Biasanya laki-laki ini tidak pernah melakukan kekerasan fisik namun entah mengapa hari ini Nando melakukannya. “Kamu kenapa, sih?”
“Kenapa kamu bilang, heh?” Nando merasa tidak percaya Isabella justru melemparkan pertanyaan unfaedah disaat Isabella seharusnya mengetahui dimana letak kesalahannya. “Kamu jalan sama cowok itu disaat aku lagi sibuk kerja, Bella!”
“Siapa?” Isabella masih belum mengerti. Dia jalan dengan siapa hey?! Dia pergi sendirian hari ini.
Oh, Shittt… apa Nando marah karena dirinya pulang diantar oleh Beryl. Sunguh kekanak-kanakan sekali kalau memang benar.
“Karena aku dianterin sama Beryl terus kamu mikir aku selingkuh, begitu?” Isabella melemparkan pertanyaan
Nando menatap jengah kekasihnya, “Kalau bukan selingkuh itu namanya apa?” Nando menggeleng takjub, tak habis pikir soal sikap Isabella yang jelas merasa tidak punya salah.
“Dan siapa tadi. Beryl?! Nama selingkuhan kamu Beryl?”
Plakkkk..
Kali ini Isabella yang menampar pipi Nando. Kesal juga dituduh selingkuh sementara dia dan Beryl saja belum bisa dikatakan punya hubungan meski itu hanya sebatas pertemanan.
“Aku nggak selingkuh sama siapa pun, Nando!” Isabella meluruskan pikiran Nando namun sepertinya juga sia-sia
“Aku bilang diam di rumah dan bodyguard aku bakal jagain kamu kemanapun kamu pergi, Bella.” Nada bicara Nando sudah tidak ngegas seperti tadi. Sayangnya Isabella sudah kemanakan emosi
“Buat apa bodyguard segala, sialannn?” sungguh Isabella tidak tahu akan semenderita ini menjadi kekasih Nando. Rasanya seperti di neraka saja.
“Buat jagain kamu, Bella. Kenapa jadi lola gini, sih.” Nando mulai kesal lagi
Isabella menarik nafas panjang dan membuangnya perlahan melalui mulut. Sabar Bella, sabarkah dirimu. “Nggak perlu kamu sewa bodyguard segala. Aku bisa kemana-mana sendiri, Nando.”
“Aku nggak mau kamu kenapa-napa, Bella.” Nando sungguh enggan kehilangan Isabella
“Kalau nggak mau aku kenapa-napa bukankah seharusnya kamu kasih aku space buat menjalani hari-hariku dengan normal?”
“Rasanya kamu jadi over banget, sumpah.”
Nando memegang bahu Isabella lembut, “Maafin aku. Aku janji nggak main tangan lagi.”
Nando menarik Isabella ke dalam pelukannya. Membuat Isabella semakin stress saja akibat perlakuan Nando. Sebenarnya Isabella sudah tidak tahan bersandiwara terus tapi mau bagaimana lagi. Hubungan mereka baru berjalan satu bulan. Tidak mungkin juga Isabella akan meminta putus dengan alasan ingin menjebloskan Nando ke penjara atau paling banter membunuh Nando dengan tangannya sendiri.
“Sayang kamu begitu… sempurna.”
_____________________________
“Sampai kapan elo mau berpura-pura, Ber?” kalimat pembuka begitu Beryl kembali ke klub malam karena Danis dan Azlio menunggunya untuk memecahkan masalahnya
Beryl menjatuhkan tubuhnya di sofa. Membuka jaket levis dengan rasa tidak sabaran sampai Azlio gerah sendiri dan berniat ingin membantu namun dia urungkan.
“Gue nggak suka sama Isabella.” kata Beryl yang sangat jelas berbanding terbalik dengan tindaknnya
“Lo yakin nggak ada rasa apapun sama dia?” Danis mengulang pertanyaannya
Beryl mengangguk pasrah. Ya memang dia merasa tidak menyukai Isabella sama sekali.
“Kalau gue suka sama Isabella bukannya akan sangat sakit melihat dia jadian sama Nando.”
“Cowok sok keren itu namanya Nando?” Azlio bertanya tanpa melihat sikon membuat Danis gatal sekali ingin menjitak
“Eh, sorry. Gue cuma nanya. Nggak usah dijawab Ber.”
“Emang pertayaan elo nggak banget buat dijawab.” Danis mencibir teman barunya itu
Azlio mengumpat meluapkan kekesalan. “Lagian elo kenapa mesti mempersulit diri sih, Ber?”
“Yang mana yang lo bilang mempersulit, Zli?” Danis menimpali
Azlio mengkode Danis untuk diam namun tidak dimengerti.
“Gue nggak mungkin suka sama Isabella, kan?” tanya Beryl dengan raut wajah memprihatinkan. Membuat Danis dan Azlio saling berpandangan. Ingin tertawa namun karena wajah nelangsa Beryl membuat keduannya memilih menunda aksi bercanda.
“Menurut gue lo perlu mencari tahu kebenaran soal bagaimana perasaan elo ke Isabella, deh, Ber.” Danis mengusulkan dan dibalas anggukan setuju Azlio
“Karena nggak semua rasa suka bisa langsung disebut jatuh cinta. Kadang kala itu cuma perasaan sesaat karena emang penasaran aja.” ujar Azlio sok bijak padahal masalah cintanya saja belum bisa ditangani sendiri
Beryl mengusap pangkal hidungnya. Pening sendiri merasakan keruwetan ini.
“Lo beneran biasa aja pas melihat Isabella jalan sama Nando?” Danis kembali melontarkan peratnyaan
“Iya. Rasanya nggak gimana-gimana gitu. Biasa aja.”
Danis dan Azlio saling berpandangan. Kedua orang itu mendesah lelah. Berharap kerumitan percintaan yang dirasakan Beryl segera usai.
“Gue keluar bentaran.” Azlio izin keluar karena mendapat panggilan masuk dari papanya
Sepeninggal Azlio, Danis, mendekati Beryl. Dia seperti harus mencari tahu jawaban dari pertanyaan yang sedari tadi bersarang di otaknya.
“Kalau elo nggak suka sama Isabella terus kenapa kepikiran terus?” Danis bertanya secara hati-hati agar tidak menyinggung Beryl. Pasalnya orang yang jatuh cinta rentan terhadap sindiran sekecil apapun itu.
Beryl menyisir rambutnya dengan jemari. Terlihat jelas bahwa laki-laki yang biasanya acuh tak acuh ini sedang mengalami dilema hebat. “Gue udah ciuman sama Isabella…”
“Wah… udah gue duga.” kata Danis prihatin
“Dan itu terjadi lebih dari sekali.” ujar Beryl sangat nelangsa
Danis hanya bisa melongo dan memilih berpindah posisi menjauhi Beryl. “Sungguh mengenaskan,” komentarnya