Beryl melajukan mobilnya menuju gedung jurusannya sendiri. Dia ada tugas dari Prof.Warsono untuk mengisi kelas. Lebih tepatnya bukan mengisi namun memberikan info bahwa hari ini kelas Prof.Warsono kosong dan diisi dengan melanjutkan tugas minggu lalu.
Tatapannya teralih pada ponsel yang sedari tadi bergetar. Beryl agak malas meladeni apalagi ini adalah panggilan masuk dari Jesika.
“Hallo…” ujar Beryl begitu menggeser tombol hijau pada layar ponsel miliknya
Tidak ada jawaban dari Jesika. Namun Beryl bisa mendengar samar-samar suara orang bertengkar. Beryl ingin tahu lebih. Dengan segera dia menyalakan tombol loudspeaker agar suara menjadi jelas.
Beryl masih belum mengerti. Apalagi diseberang sana seperti ada seseorang yang membahas soal dirinya. Memang sepertinya itu Jesika dan…Isabella.
Brakkk…
Baru saja Beryl menebak suara gebrakan seperti benda jatuh membuatnya mengernyit bingung. Apa disana dua orang perempuan itu tengah tawuran?
“Lo ngomong apa barusan, hah?” suara Jesika yang terdengar sangat marah. Suaranya cukup jelas. Bisa saja posisi Jesika berbicara memang berada tepat di dekat ponsel.
Dan tidak lama berselang ada sahutan dari orang lain. “Tangan elo kotor, cuy.” Kalau ini Beryl sudah bisa menebak. Jelas saja ini suara Isabella. Beryl hafal di luar kepala.
“Nggak usah pakai acara nampar bisa, kan, Neng?” kemungkinan besar teman-teman yang lain mulai datang melerai keduannya
Beryl masih pada posisinya menikmati panggilan dari Jesika. “Nggak usah ikut campur, deh lo, Vio.” Ini suara Jesika, Beryl mulai mengerti meski belum sepenuhnya paham
“Gimana gue nggak mau ikut campur. Bisa-bisa kalian cakar-cakaran disini. Gue jadi kena omel bu Nina, sialannn…”
“Lo bilangin sama teman lo ini. Kalau cemburu gara-gara gue diantar Beryl. Bilanggg sayangggggg...” Beryl mencernah kalimat Jesika. Siapa yang cemburu sebenarnya. Apakah Isabella cemburu karena dirinya sehabis mengantar Jesika tadi pagi?
“Ambil tuh Beryl. Gue nggak butuh!” Beryl merasa ngilu dengan jawaban Isabella. Biasanya Isabella memang mengatakan kalimat menyakitkan untuk didengar. Tapi bagaimana bisa kali ini Beryl merasa tersinggung. Dia seperti tidak terima Isabella mencampakkan dirinya. “Ada apa dengamu, Beryl?”
Terdengar lagi Jesika tertawa sambil mengejek. “Oh iya?! Nggak butuh beneran?” suaranya nampak menantang Isabella
“Nggak!” kata Isabella tegas
“Makasih udah ngelepasin Beryl buat gue!” kata Jesika bangga
Beryl memilih mematikan panggilan yang masih tersambung. Bagaimana bisa dia merasa sakit hati atas kalimat jahat Isabella.
“Isabella dan mulut merconnya adalah lumrah, Beryl. Disini yang nggak normal adalah kenapa elo terlalu baper?”
Beryl segera mengeyahkan pikirannya. Terlalu larut dalam bayangan Isabella membuatnya tidak bisa bertindak seperti orang waras pada umumnya.
_____________________________________
“Gue udah di depan gedung jurusan elo. Please deh, nggak usah minta buat di jemput ke kelas juga. Ngerepotin banget sih jadi cewek.” Beryl segera menutup panggilan yang masih tersambung.
Enak sekali jadi Jesika tinggal menyuruhnya untuk melakukan ini dan itu. Memang dia pikir Beryl pembatu apa. Tinggal jalan kaki dari kelas terus lurus ke jalan raya juga tidak akan membuat kakinya lecet.
Masalahnya Beryl terlalu malas untuk menanggapi teman-teman Jesika yang terus mengatakan soal dirinya dan Jesika sebagai pasangan baru. Beryl enggan menghadapi situasi seperti tadi pagi. Sangat canggung dan mempersulit.
Beryl keluar dari mobil hendak menyusul Jesika ke kelas. Rasanya Beryl bisa gila jika terus dihadapkan pada para perempuan-perenpuan tidak waras begini.
Seseorang berhenti dihadapannya. Menatapnya terus menerus hingga membuat Beryl mau tidak mau ikutan melihatnya.
“Lo jadian sama Jesika?” tanyanya seolah ingin tahu
Beryl tidak tahu harus menjawab apa. “Bukannya elo nggak seperduli itu sama gue?” malah kalimat begini yang terlontar dari mulut Beryl
“Oh, gue kira itu hanya rumor. Tapi ternyata fakta toh…” Isabella memaksakan senyumnya
Beryl ingin memeluk Isabella dan mengatakan bahwa semua yang dilakukannya demi kebaikan perempuan ini. Tapi kakinya kaku untuk digerakkan. “Gue nggak bisa apa-apa. Hanya ini yang bisa gue lakukan.”
“Memang ya, semua laki-laki sama aja. Kalau udah dapat enakk langsung klepek-klepek, deh.” katanya seolah menyidir Beryl. Padahal asal Isabella tahu saja, selama ini Beryl tidak pernah berani menyentuh Jesika. Dia juga tidak mau repot-repot melakukan itu.
“Nggak semua hal harus dikaitkan dengan kemolekann tubuh.” Beryl menatap tepat di bola mata Isabella, “Nggak semua hal yang dilihat sesuai dengan faktanya.”
Beryl melewati Isabella begitu saja. “Karena selain gunai mata. Lo juga perlu gunain telinga buat mendengar.”
“Egois kalau semisal lo cuma pakai salah satunya.” Lanjutnya tanpa dimengerti oleh Isabella
Tubuh Isabella terdorong ke depan. “Nggak usah ganjen deketin Beryl gue!” Jesika muncul dan langsung menyerang rivalnya
Beryl cuma diam dengan tatapan fokus pada Isabella.
Isabella ingin menangis rasanya karena merasa dejavu. Dulu saat pertama kali Beryl bertemu Jesika. Dia begitu membelanya tapi sekarang dalam kondisi yang sama, yang dilakukan Beryl hanya diam tanpa memperdulikannya. Sangat keterluan
Isabella mengikat rambutnya asal-asalan. “Kalau emang dia tulus sama elo tolong dijaga. Tapi kalau dia Cuma berniat mainin hati elo aja. Tolong lo cekik lehernya!”
“Gue udah bisa mnegerti bagaimana cara menangani Beryl. Lo pulang sana. Cowok lo udah nunggu tuh.” Jesika menunjuk kedatangan Nando dengan dagunya
Begitu melihat Nando hal pertama yang dilakukan laki-laki itu adalah memberikan ciuman panass di depan mata Beryl dan Jesika.
“Oh, wow romantis banget ya.” Jesika mengompori
Beryl memalingkan wajahnya. Bagaimana bisa Isabella diam saja dicium di area kampus seperti ini. Apa dia tidak malu banyak orang yang menonton adegan barusan.
“Ayo.” Beryl menggenggam tangan Jesika. Mengajak perempuan itu untuk segera pergi meninggalkan area kampus. Beryl akui suhu udara semakin panas. Tentu saja alasan utamannya karena Isabella dan Nando.
“Siyap sayangggg…” Jesika segera bergelayut seperti monyet di lengan Beryl. Tidak sama sekali ada penolakan. Beryl juga enggan memberikan banyak omongan. Dia terlalu lelah pada drama gila yang harus terjadi hari ini.
“Langsung pulang, kan?” kata Beryl saat mereka sudah masuk ke mobil. Namun faktanya mata Beryl terus saja menatap pada Isabella yang masih asik mengobrol bersama Nando.
“Dia yang membunuh Nando. Tapi dia juga yang kamu cintai, Bella. Seharunya kamu tahu batasan. Itu berbahaya.” Mulut Beryl gatal untuk berbicara
“Iya. Kamu mampir ya.” Pinta Jesika dengan lembut
Beryl mengumpat dalam hati. “Langsung hapus aja video itu dari ponsel elo kenapa, sih?”
Jesika menatapnya terang-terangan. Sampai menyentuh pipi Beryl pelan. “Kita pacaran dan bakalan gue kasih apa yang elo minta.”
“Gue cuma minta lo hapus video Isabella.”
“Oke…” Jesika mengangguk, “Tapi lo berjuang terlalu keras buat Isabella dan dia terlihat nggak perduli sama sekali.”
Jlebbb…
Kata-kata Jesika menohok relung hati Beryl. “Bukan urusan elo.”