Kepikiran

2204 Kata
Nando bangun pagi itu dengan perasaan kacau. Di sampingnya seorang perempuan tengah meringkuk seperti bayi. Apa yang terjadi semalam masih mendominasi pikirannya pagi ini. Lagi pula mereka hanya melakukannya sekali. Eh… atau berkali-kali?! Nando kemungkinan besar mabuk. Karena tidak mungkin jika dalam keadaan tanpa alkohol dia berselera dengan selain Isabella. Namun yang paling penting sekarang adalah dirinya melakukan hubungan badan dengan orang lain. Tapi hanya wajah Isabella yang ada dalam bayangannya ketika pagi menyapa. Rasanya Nando jadi merasa bersalah pada perempuan di sampingnya ini. Dia keterlaluan─mungkin. “Hari ini kerja?” tanyanya Nando mengangguk sebagai jawaban, “Ya.” Kemudian mendesah lelah. Dia masih kepikiran dengan pertengkarannya dengan Isabella kemarin. Mata perempuan itu bahkan memperlihatkan sorot mata kecewa. Apa perkataan Nando terlalu kasar pada Isabella? “Masih kepikiran dengan Isabella?” “Masih,” jawab Nando tanpa berniat berbohong. Perempuan one night stand itu terkekeh. Lalu mengusap bahu Nando perlahan. “Dia pasti akan baik-baik saja. Tidak ada hak bagi Isabella buat marah. Itu memang pekerjaan kami. Kepuasaan berada di nomor urut satu,” Nando melengos mendapati perempuan itu tengah menatap kearahnya. “Lebih baik tidak usah ikut campur soal masalah gue. Bonus yang gue tawarkan juga nggak akan hangus kok, Rea.” “Nando bisakah setiap datang ke klub kamu hanya menatapku dan melupakan Isabellamu, itu?” pintanya memohon agar dikabulkan “Kenapa aku harus?” ujar Nando dengan nada dingin “Aku akan memberikanmu service terbaik yang aku punya. Tapi kamu harus membantuku karena aku sedang dalam masa-masa sulit sekarang.” Rea mengadu masalahnya pada Nando. Dia cukup tahu bahwa hanya beberapa perempuan terpilih saja yang diinginkan Nando. Meski dia cantik dan punya pengalaman memuaskan itu tidak mesti akan gampang memikat Nando. Nando hanya menyukai Isabella. Padahal kata teman-temannya di klub perempuan itu sama sekali tidak punya pengalaman dalam memuaskan laki-laki. Tapi banyak laki-laki mau mengantri untuk ditemani minum. “Aku tidak melulu datang ke klub hanya untuk tidur dengan kalian. Aku hanya mencari kesenangan saja.” ujar Nando agar Rea tidak berharap kepadanya. Nando hanya butuh Rea semalam saja karena dia terlibat pertengkaran dengan Isabella. Tidak ada niatan membuat perempuan satu ini lepas dari masalahnya. Toh, itu bukan hak Nando juga. Memangnya apa hubungan antara Nando dan Rea, tidak ada. Kecuali jika itu menyangkut Isabella maka Nando akan dengan senang hati turun tangan. “Tapi kamu terus saja mencari Isabella dimana-mana.” “Isabella milikku…” jawab Nando tegas “Kalian nggak terikat hubungan apa-apa. Sementara setiap kamu tidak ke klub dia asik bercinta dengan laki-laki manapun. Isabella tidak setia denganmu, Nando. Dia hanya ingin uangmu saja. Lihatlah fakta itu.” Nando merasa kepalanya akan meledak. Semua informasi buruk soal kelakuan Isabella selalu Nando dapatkan dari Rea. Tapi Nando tidak pernah memintanya sendiri. Perempuan ini saja yang tiba-tiba datang kepadanya menawarkan diri untuk bercerita. Setelah mendapatkan sejumlah uang dia langsung pergi untuk bersenang-senang. Kalau begini caranya Nando jadi berpikiran bahwa Rea sengaja melakukan untuk membuatnya marah kepada Isabella. “Zaman sekarang tidak perlu terikat status hubungan hanya karena menyukai orang lain.” Rea bersandar di bahu Nando. Dia cukup tahu soal apa yang dikatakan oleh Nando. Jika menyukai seseorang tidak perlu terikat jalinan status. Yang paling penting adalah nyaman dan tahu untuk siapa hati kita sebenarnya. “Kamu mencintai Isabella?” “Aku tidak harus menjawab untuk yang satu ini bukan?” Nando menegaskan pertanyaannya. Lagipula untuk apa juga Rea ikut campur dalam hidupnya. Dia bukan siapa-siapa. Teman bukan, saudara bukan. Keluarga juga bukan. “Aku ingin tahu, Nando.” Nando berdecak kesal berupaya melepas tangan Rea yang bergelayut di lehernya. “Gue malas jika lo terus begini, Rea. Sudahlah gue harus kerja.” “Nando, please. Aku cinta banget sama kamu.” Rea memohon pada Nando Jika boleh jujur Nando ingin membanting tubuh Rea sekarang juga. Perempuan satu ini benar-benar sangat merepotkan. Nando jadi menyesal menidurinya. Dia terlalu nglunjak untuk ukuran perempuan malam berbeda jauh dengan Isabella. Nando meraih dompet tebalnya dan membuang puluhan lembar uang seratus ribuan kearah Rea, “Ambil dan segera enyah dari hadapanku. Uang itu hanya sebagai bonus. Bayaranmu sudah ku transfer ke rekeningmu,” Nando berlalu keluar kamar. Meninggalkan Rea sendirian di kamarnya. Membuat Rea mengamuk dan memungut uang pemberian Nando tengah misuh-misuh. “Lihat saja Isabella gue bakal ngebuat Nando membenci elo dengan cerita murahan itu. Tunggu tanggal mainnya.” ___________________________________ Isabella membuka matanya dengan sangat terpaksa. Sedari tadi ponselnya terus berdering padahal ini sudah pukul delapan. Mata Isabella membelalak. Dia mengucek matanya beberapa kali mencoba memastikan bahwa memang jam di ponselnya tidak salah. Lalu matanya mengedar ke seluruh penjuru ruangan menemukan jam dinding yang terpasang juga menunjukkan hal yang sama. “Shittt, gue telat!” Isabella bangkit ke kamar mandi sesegar mungkin tidak perduli ponselnya kembali berdering Isabella menggosok gigi, berkumur, dan mencuci muka dengan secepat kilat. Tidak cukup waktu baginya untuk mandi. Hari ini ada agenda mengumpulkan tugas. Dia sudah membuat syal yang cocok untuk musim dingin sebagai bahan ujian praktek miliknya. Isabella tidur di rumah Om Warsono dan orang tua itu sama sekali tidak membangunkannya. Apa dia tidak tahu jadwal Isabella adalah masuk pagi. Perasaan Isabella sudah mengatakannya ke orang itu sebelum Isabella tidur. Isabella meraih tas mungil, tas laptop, juga papper bag dengan isi syal rajutannya. Kemudian keluar rumah dengan terburu-buru tanpa mengindahkan panggilan dari bibi yang menyuruhnya untuk sarapan. Mata Isabella ingin meloncat begitu melihat seorang Beryl sudah berdiri santai di depan mobilnya. “Iler lo,” komentarnya seolah tahu Isabella tidak mandi tapi dia memakai minyak wangi hampir setengah botol Isabella menyentuh pipinya sendiri. Lalu menatap sinis pada orang dihadapannya, “Ngapain lo pagi-pagi nggak ada kerjaan apelin Om Warsono?” Beryl memainkan kunci mobil di tangannya. “Kerjaan gue emang tiap hari apelin Prof.Warsono pagi, siang, sore, malam.” Isabella menyadari kebodohannya. Jelas saja Beryl selalu rutin menemui Om Warsono karena posisi laki-laki itu adalah asistennya. Beberapa kali Isabella mengumpati kebodohannya Isabella mengacuhkan keberadaan Beryl. Dia memainkan ponselnya guna menghubungi salah satu temannya untuk memintai jemputan. Namun gerakan itu kalah cepat karena Beryl lebih dulu meraih tas laptop dan paper bag miliknya untuk dimasukkan ke kursi penumpang belakang. “Masuk. Gue udah nungguin elo dari jam setengah tujuh.” Isabella tidak ingin mengatakan banyak penolakan. Dia butuh tumpangan untuk sekarang. Dengan segera masuk ke mobil Beryl dan duduk anteng. “Gue telat…” ujarnya seolah mengatakan kepada Beryl agar tidak memperlambat laju mobilnya Beryl mengangguk paham Hampir dua puluh menit perjalanan dan kini mobil Beryl sudah masuk area kampus. Begitu sampai di depan gedung jurusan Isabella. Perempuan itu segera berlalu meninggalkan Beryl tanpa mengucapkan terima kasih. Benar-benar khas Isabella sekali. Si sombong yang sulit luluh. Beryl ingat sesuatu. Matanya menoleh ke kursi belakang. Dan benar saja dugaannya jika kecerobohan Isabella adalah hal yang merepotkannya─selalu. “Sekali aja nggak jadi cewek ruwet bisa nggak, sih!” tangan Beryl meraih tas Isabella “Dasar pikun,” _________________________________________ “Bella, lo hampir telat.” ujar Sherly sahabatnya dengan kehebohan yang khas “Belum datang kan bu Anjarnya?” tanya Isabella panik “Belum.” jawabnya Sherly menunjukkan syal buatannya yang berwarna biru─warna favoritnya Bahu Isabella lemas. Tas laptop beserta syal buatannya tertinggal di mobil Beryl. “Kenapa sih lo pikun begini, Bella.” Isabella ngedumel ingin mencari kontak nomor telepon Beryl tapi nihil dia juga melupakan fakta bahwa mereka selama ini tidak pernah saling bertukar nomor ponsel. Bolehkan sekarang Isabella merutuki kebodohannya. “Shell…” Isabella ingin menangis rasanya namun tidak ada gunannya dia mewek karena tidak mungkin menyelesaikan masalah juga Sherly yang melihat Isabella duduk lemas di kursi seketika melongo kebingungan. “Kenapa, Bella?” Tangan Isabella menunjuk pada syal buatan Sherly, “Syal gue ketinggalan…” adunya sembari sesenggukan “Lah, kok bisa?” tanyanya heboh Dhea datang dan tidak berani bertanya. Dia mengelus bahu Isabella untuk menguatkan temannya ini. “Mau ambil, nggak, gue temenin?” Isabella menggeleng jelas saja tidak cukup waktunya untuk mengambil. Lagipula apakah Beryl berada di kampus atau dimana Isabella juga kebingungan mencarinya nanti. “Gue takut ngulang gais…” ujarnya Jesika datang bersidekap tangan siap dengan kata-kata kasarnya. “Makanya waktunya ngampus ya jangan sibuk ngerokin daki om-om,” “Kalau nggak ngerjain tugas ya bilang aja yang jujur. Nggak usah pakai acara drama segala bilang ketinggalan. Macam bocah SMA deh lo, Bell.” “Heh, lo kalau ada orang kesusahan empati dikit kek. Sumpah ya nggak guna banget lo hidup.” Sherly jadi merasa kesal begini melihat tingkah Jesika benar-benar mirip setan “Gue bilang yang sebenarnya ya, udik. Lo mending diam aja, deh. Nggak usah ikut lebay.” “Woy, emak lo dulu pas hamil nyidam sempak apa gimana sih. Kenapa pas lahir bentukannya kayak begini banget.” Dhea mengatakan kalimat sefrontal itu juga disebabkan Jesika terlalu menyebalkan di mata orang-orang. “Ngomong apaan, sih. Kribo…” Jesika berkata sengit “Heh, Jes mending lo belajar attitude dulu deh. Dimana-mana orang kalau lihat orang lagi kesulitan kena musibah itu ya jangan dinyinyirin. Kena karma baru tahu rasa deh lo.” Dhea mengatakan dengan lantang “Amiinnn…” ujar Sherly terang-terangan. Lagian di kelas juga siapa yang mau berteman dengan Jesika, hanya beberapa gelintir orang dan itu juga terlihat sangat terpaksa “Lo nggak guna banget bagi nusa dan bangsa. Sumpah ya bikin malu.” “Kenapa harus malu?” “Ya tingkah lo sama sekali nggak punya etika.” “Udah berhenti semua. Nggak ada gunanya juga kalian ladeni nini lampir ini.” Isabella melerai. Dia harus segera menemukan cara untuk bisa mengambil tugas kuliahnya yang tertinggal di mobil Beryl. “Ada yang tahu nomor ponselnya Beryl?” “Siapa?” Dhea menimpali Sherly menutup mulutnya. Namun tidak berani bersuara dan akan menanyakan kebenarannya pada Isabella nanti setelah keadaan tenang. Kalau diutarakan sekarang yang ada malah jadi perang dunia ketiga karena Jesika bisa tahu. “Eh, bentar deh. Kayaknya gue ada teman anak hukum.” Sherly segera menempelkan ponsel di telinga guna menghubungi temannya untuk meminta nomor Beryl. “Hallo, Ndro. Lo kenal Beryl anak hukum?” “…” “Iya itu yang ganteng banget. Gue boleh nggak bagi nomornya. Urgent banget nih.” “…” “Eh, bukan gue. Tapi teman gue ada something. Bukan modus loh ya.” “…” “Gue tunggu. Thanks, yak.” Sherly segera mengirimkan nomor ponsel Beryl kepada Isabella. “Makasih, ya, Sher…” kata Isabella tulus Jesika mendesis lalu menjauhi gerombolan Isabella. Dia hanya memperhatikan Isabella yang terus ngedumel lalu menempelkan ponsel di telinganya beberapa kali. Jika Isabella tidak berhasil menghubungi Beryl seorang Jesika akan bisa langsung tertawa terbahak sebagai wujud ejekan. Isabella sekarang benar-benar menangis. Dia hendak keluar kelas namun langkahnya terhenti melihat Beryl ada dihadapannya dengan paper bag dan tas laptop miliknya. Isabella menatap raut muka dingin Beryl. Tahu jika pemuda itu pasti sudah mengumpatinya dengan banyak kata umpatan. “Maksih, Ber. Maaf merepotkan.” Isabella menerima paperr bag dan tas laptop dari tangan Beryl Semua pasang matta yang berada di kelas Isabella melongo takjub. Beberapa diantara mereka mulai mempercayai rumor bahwa Isabella dan Beryl memang menjalin kasih. Dan sebagian lagi mendesah kecewa karena cogan di kampus mereka sudah ketahuan memiliki pacar. Apalagi perempuan itu adalah Isabella. Bagaimana cara mengalahkannya?! Isabella si perfect. “Kalau udah ngerasa ngrepotin baru makasih?” Ibu jari Beryl terulur mengusap sudut bibir Isabella Isabella membeku di tempat dengan perlakuan Beryl. “Lipstik lo kemana-mana.” ____________________________________ Isabella menyerahkan tugas kuliahnya ke salah satu penanggung jawab mata kuliah. Setelah Beryl pergi teman-teman di kelasnya langsung menyodorkan banyak kalimat selamat, pujian, dan terharu karena Isabella berhasil meluluhkan seorang Beryl yang mereka ketahui tidak pernah dekat dengan perempuan. Isabella tidak tahu harus mengatakan apa. Dia hanya diam sembari terus memikirkan perlakuan Beryl kepadanya hari ini. Mulai dari mengantar Isabella ke kampus, lalu keikhlasannya mengantar tugas miliknya sampai ke kelas, kemudian dia mengelap lipstik Isabella yang merembet kemana-mana. Padahal tadi Isabella sempat berpikiran jika ilernya memang masih ada seperti ucapan Beryl tadi pagi. Sialan, Isabella bahkan tidak fokus mengerjakan laporan untuk tugas kelompoknya. Hampir setengah jam dia melamun dan hanya ada Beryl di kepalanya. Tentu saja tidak lupa ciuman mereka kemarin. Isabella sering mencium banyak laki-laki tapi kenapa kali ini berbeda. Isabella bahkan terus menerus memikirkannya. Sungguh ini tidak pernah terjadi dalam hidupnya. Dia berciuman panas dengan Nando saja Isabella terlihat biasa saja setelahnya. Kenapa dengan otaknya ini?! “Bell. Lo melamun apaan sih?” tanya Sherly begitu mendapati layar laptop Isabella sudah berubah menjadi gelap dan pemiliknya hanya menatapnya dalam diam tanpa melakukan apapun Dhea ikut menoleh menatap Isabella. Memang setelah kedatangan Beryl untuk mengantar tugas Isabella. Temannya ini jadi sangat aneh. Melamun seolah pikirannya memang tidak berada disini. “Lo kangen sama Beryl?” “Tadi kan udah ketemu, Bella.” Yuvi ikutan menjawab lalu kembali fokus pada keybordnya. Kebetulan mereka tengah berada di perpustakaan setelah mengumpulkan tugas lalu melanjutkan proposal guna presentasi tugas selanjutnya “Halah, kayak lo nggak pernah aja habis ketemuan malah tambah kangen.” Dhea menyidir Emilly dan dia hanya meringis menampilkan dua ibu jarinya “Tapi lo beneran sama Beryl, Bell?” tanya Emilly penasaran “Sejak kapan?! Kok nggak ada pajak jadian, sih.” Sherly mulai kepo “Menurut lo gue jadian sama Beryl?” “IYA…” jawab semua teman Isabella Hah, memang teman sepengertian itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN