Sebuah perlawanan

2153 Kata
Pagi itu Isabella bangun dengan kepala sedikit berdenyut akibat kurang jatah tidur. Sementara posisi tidurnya juga membuat badannya terasa pegal-pegal. Matanya menatap Beryl yang masih terlelap damai di sofa ruang tamunya. Sungguh hal yang tidak pernah Isabella pikirkan bisa kuat bertahan bersama Beryl tanpa mengamuk. Padahal selama ini pertemuan diantara mereka lebih cenderung pada pertengkaran konyol. Isabella juga menyadari dia bukan tipe perempuan pendiam dengan sejuta yang dimiliki. Dia hanya Isabella si perempuan gila ambisi untuk membunuh Nando. “Lo ngapain bangun?” kata Isabella begitu mendapati Beryl menatapnya sedari tadi tanpa berkedip. Masalahnya adalah posisi Isabella memang duduk di lantai sementara kepalanya bertumpu pada sofa yang digunakan Beryl tidur. Lagipula meskipun dirinya bisa membawa Beryl masuk ke kamar itu tidak akan pernah Isabella lakukan. Suatu pantangan untuk melakukan itu. Memangnya sebaik apa dirinya ini harus repot-repot melakukan itu. Beryl memutar bola mata malas, “Lo pikir gue harus merem terus kayak mayat, gitu?” “Lo mau jadi mayat hidup?” Isabella membalas perkataan Beryl. Sungguh menjadi suatu hal aneh jika pertemuan mereka tidak didasari dengan amukan “Lagian lo sakit ngrepotin banget, sih. Lo tahu gue kesusahan bawa lo pulang, hah?” semburan Isabella dengan wajah memerah menahan amarah jika mengingat kejadian semalam. Lagian gara-gara Beryl Isabella jadi tidak punya jatah uang. Dia kehilangan ATM berjalan seperti Kenand dan juga Nando. “Dan juga gara-gara elo mesin ATM gue kabur. Sementara gue sangat butuh pemasukan buat hidup,” “Masih ada Prof.Warsono yang akan selalu siap sedia bantuin elo buat menjamin kehidupan yang lebih layak dari ini,” Isabella membuang nafas kasar, dongkol setengah mati berdebat dengan Beryl. “Gitu?” tanyanya seolah menantang Beryl Beryl mengangguk patuh. “Ya. Memang begitu.” “Nggak semua hal yang berkaitan dengan keuangan harus ditanggung sama orang tua itu, Beryl.” “Karena dia wali lo dan merasa sanggup jadi kenapa nggak?” “Pikiran lo pendek banget, sih.” Beryl bangkit dari posisi tidurannya dan ikut menggelesot duduk di lantai bersama Isabella, “Memang nggak semuannya harus ditanggung sama Prof.War tapi salah satu kebutuhan elo dicukupi sama dia, kan?” Beryl menatap Isabella dari samping terlihat jelas jika perempuan itu sebentar lagi akan mengamuknya. Biar saja toh setidaknya Beryl berhasil membawa Isabella keluar dari klub malam untuk tidak lagi menjual tubuhnya pada laki-laki hidung belang. Meski hanya satu malam ini. Beryl cukup tahu juga bahwa meskipun beberapa kali dia membuat Isabella kehilangan pelanggannya tapi tetap saja masih banyak celah yang bisa perempuan itu lakukan untuk mendapatakan uang. Isabella dan segudang pesonannya. Serta rentetan laki-laki tengah mengantri untuk menjamah tubuhnya. Bukankah begitu?! “Lo sengaja bukan pura-pura sakit supaya gue nggak kerja?” Isabella menembak Beryl lewat pertanyaan mematikan. Matanya melotot kesal “Maksudnya?” Beryl menampakan wajah kebingungan. Meski semalam dia bersandiwara tetap saja kepusingan di kepalanya adalah sebuah kebenaran. Beryl tidak mengada-ada soal rasa sakitnya. “Lo berpura-pura pusing sampai pingsan biar gue nggak melayani mereka.” Isabella berupaya menjelaskan “Nggak,” Beryl menggeleng cepat. Dia tidak sengaja melakukan sandiwara itu. Kepalanya memang berdenyut-denyut dan hampi pecah karena kurang istirahat beberapa hari ini. Juga kesibukan untuk mengawasi Isabella. Sungguh perempuan di dekatnya ini tidak sama sekali punya rasa empati. “Gue udah tahu soal rencana nggak berbobot yang tengah lo lakuin, Ber. Sungguh nggak banget, deh.” Ujar Isabella sembari menggeleng merasa tak percaya seorang Beryl mau melakukan hal yang tentu saja itu kelewat konyol. “Terserah deh lo mau bilang apa. Soal gue sakit memang nggak ada yang tengah gue manipulasi sama sekali. Kepala gue sangat pusing karena kurang tidur. Dan…btw makasih udah rawat gue.” Beryl tahu Isabella merawatnya dengan cukup baik meski tentu saja perempuan itu akan selalu mengumpat dengan apa yang dilakukan. Mengingat bagaimana seorang Isabella selalu mengamuknya disetiap perjumpaan mereka. DUARRR… “Auwh…” Suara petir mengagetkan dua orang yang sedari tadi berdebat tanpa berkesudahan. Hari masih sangat pagi namun sepertinya di luar mendung gelap. Keduannya sama-sama terdiam beberapa detik. Sebelum akhirnya Isabella melepas kedua tangan yang menutup telinganya kemudian memandang Beryl dengan tatapan polos. “Lo nggak tutup kuping?” tanya dengan mimik wajah keheranan Kening Beryl berkerut, “Buat apaan?” tanyanya balik. Isabella meskipun wajahnya cantik tapi sepertinya dia bego “Petir,” jawabnya langsung Beryl mencibir, “Lo nya aja yang takut.” DUARRR… Petir kembali terdengar dan Isabella duduk bergeser mendekati Beryl. Persis bocah kecil yang tengah mencari perlindungan. “Takut?” Isabella tidak menjawab tapi diamnya sudah menjadi jawaban untuk Beryl. “Kalau semisal petir dan lo di rumah sendirian terus gimana?” Pasalnya tidak mungkin juga bukan petir tidak mungkin tidak ada disetiap hujan begini “Ya nggak gimana-gimana. Intinya gue diam aja sambil berdoa biar hujan reda,” Beryl terkekeh entah keberania darimana tangannya malah spontan mengusap kepala Isabella. Jujur Beryl juga merasa gemas bersamaan. “Ber…” panggilan Isabella membuat tangan Beryl terhenti karena sadar aksi spontannya akan membuat Isabella murka. Apa-apaan “Sorry spontan.” Kata Beryl ingin meralat ucapannya sendiri “Gue belum keramas.” Ujar Isabella dan membuat Beryl melotot tajam kearahnya kemudian teralih pada tangannya sendiri “Jorok lo,” ______________________________ Beryl duduk di sofa sembari memainkan kursor laptop milik Isabella. Entah untuk alasan apa perempuan itu dengan berbaik hati meminjami Beryl laptop ketika dirinya sibuk menscroll email masuk lewat ponselnya. “Mau pakai laptop milik gue?” katanya melirik Beryl dan layar ponselnya bergantian. Sepertinya memang wajah bruwet Beryl tidak bisa selalu ditunjukkan. Buktinya tanpa laptop dia keketeran begini. “Boleh?” tanyanya dan langsung mendapat persetujuan dari sang empu Beryl sekarang tengah sibuk menyatukan beberapa file yang akan dia kirim kepada Prof.Warsono karena tugas salah satu mata kuliah angkatan di bawahnya sudah terkumpul semua. Untung saja Beryl selalu terhubung dengan mata penanggung jawab mata kuliah sehingga membuatnya tidak kesulitan mengatur. Tak lupa Beryl mengirimkan email kepada Aida tentang contoh proposal penelitian yang akan mereka gunakan. Sebenarnya Beryl tidak melulu menggunakan email sebagai saranan komunikasi tapi karena sudah terbiasa maka dia tidak bisa melepaskan itu. “Nih…” Isabella menyodorkan dua nasi goreng beserta telur ceplok diatasnya membuat Beryl mengernyitkan kening. Tapi dia tidak berani bertanya yang berujung pada amukan perempuan itu. “Makasih,” kata Beryl dengan mata kembali fokus pada layar laptop “Lo jam segini kenapa udah sibuk aja, sih?” Isabella melongok layar laptopnya “Ada kuliah pagi?” Bolehkah jika Beryl deskripsikan Isabella sangat kepo “Jadwal gue kosong,” tangan Beryl menari-nari di atas keybord mengetikkan sesuatu “Makan dulu. Masakan gue emang nggak seenak restoran sih tapi layak kok masuk perut.” Isabella menyuapkan satu sendok nasi goreng kemulutnya, “Asin…” komentarnya pada masakan sendiri Tidak ingin membuat Isabella sakit hati atas perkataannya maka Beryl ikut-ikutan memakan nasi goreng buatan Isabella. Benar apa yang dikatakan perempuan itu bahwa masakannya memang asin. Meski begitu sebagai wujud menghargai dia tetap saja makan dengan lahap. “Gue ambilin minum dulu,” Isabella bangkit meninggalkan Beryl sendirian sementara Beryl tetap fokus pada makanannya Ting…tong… Suara bel berbunyi padahal ini masih setengah enam kurang. Di luar juga masih sangat gelap karena mendung. Dan Beryl sudah makan pagi bersama Isabella. Bahkan dirinya baru sadar jika semalam dia bersama Isabella tidur di atap yang sama meski tidak terjadi hal apapun diantara mereka. Beryl meletakkan piringnya yang sudah kosong tandas tanpa sisa. Meski masakan Isabella asin tapi jika perut kosong maka tetap saja dia doyan. Beryl membuka pintu dan mendapati bapak-bapak berdiri di depan pintu Isabella. Beryl juga melihat taksi ada di depan rumah Isabella. “Selamat pagi, Pak. Maaf mengganggu waktunya. Saya mau mengembalikan KTP istri bapak yang sepertinya terjatuh ketika naik taksi saya tadi malam.” Beryl kikuk kebingungan tapi tetap saja dia menerima KTP itu, “Terima kasih bapak. Semoga sehat selalu,” Sungguh di zaman seperti sekarang ini jarang ada orang yang mau perduli pada kepentingan orang lain. Apalagi harus merugikan diri sendiri untuk mengantar KTP yang bukan kepunyaannya. “Baik. Kalau begitu saya permisi dulu pak. Karena saya harus mengantar anak saya ke sekolah.” Beryl hanya mengiyakan dan berdoa dalam hati semoga rezeki bapak tersebut lancar. Setidaknya itu yang bisa Beryl berikan selain ucapan terima kasih. Karena ketika Beryl hendak masuk untuk mengambil uang sebagai tanda terima kasih orang tersebut sudah pergi duluan. Mungkin lain kali ketika dia naik taksi itu akan diberikan bayaran lebih. “Siapa. Ber?” Isabella terlihat sehabis menyeduh teh terbukti dua gelas minuman itu sudah bertengger manis di atas meja juga tak lupa dua botol air mineral Beryl menyerahkan KTP di tangannya kepada Isabella, “Punya lo.” Isabella menatap pemberian Beryl, “Kok bisa?” “Tadi ada bapak-bapak sopir taksi yang balikin.” Beryl kembali duduk lalu fokus pada layar laptop milik Isabella. Isabella hanya mengangguk patuh lalu ikut duduk disamping Beryl guna memainkan ponsel miliknya. Keningnya berkerut begitu mendapati pesan Nando masuk namun dengan tanda sudah terbaca. Pasalnya Isabella merasa dia sama sekali belum melihatnya. Apa semalam dia terbangun lalu mengecek ponsel dan kembali tertidur. Tapi dia segera mengeyahkan pikirannya lalu membuka video kiriman dari Nando. Matanya seketika membulat melihat isi video tersebut. Tidak menyangka laki-laki itu merekam semua yang pernah mereka lakukan. Sialan Beryl melirik Isabella yang sedari tadi diam dengan mata fokus ke ponsel. Matanya melirik pada video yang tengah disetel. “Harusnya lo lebih berhat-hati dalam bertindak,” komentarnya pada video yang tengah menyala Isabella melengos menatap pada Beryl, “Lo yang buka pesan dari cowok gue, hah?” semburnya tak terima. Masalahnya video yang dikirimkan Nando adalah tentang hubungan badan diantara mereka. Dan Beryl sudah melihatnya?! Oh, s**t. “Iya. Gue emang yang buka. Lagipula ponsel lo bunyi terus bikin kepala gue tambah sakit semalam.” “Lo nggak tahu privasi punya orang, ya?” teriak Isabella murka. Walaupun dia melakukan hubungan badan dengan Nando tapi jika melihat video dirinya sendiri rasanya juga sangat memalukan. Terlebih Beryl juga menontonnya tanpa permisi. “Gue nggak bakal bocorin soal masalah itu.” Plak… Seperti biasa tamparan untuk pertemuan mereka. Mungin penggambaran yang lebih ideal bahwa tamparan adalah suatu hal yang lumrah disetiap perjumpaan keduannya. Faktanya Beryl belum pernah berjumpa Isabella tanpa berakhir dengan nyeri diarea pipinya. Sungguh suatu fakta yang menyakitkan. “BERHENTI BUAT IKUT CAMPUR SOAL MASALAH GUE, b******k…” Brakkk… Isabella membuang laptop miliknya di depan Beryl. Dia sudah sangat murka dengan keberadaan laki-laki dihadapannya ini. “LO BIKIN GUE MALU DAN NGGAK PUNYA HARGA DIRI BERSAMAAN. MINGGAT LO DARI RUMAH GUE SEKARANG JUGA!!!!” Beryl menatap laptop milik Isabella. Dia yakin laptop itu tidak akan selamat. Sungguh seharusnya Beryl tahu resiko apa yang akan dia peroleh dari setiap tindakan yang dia lakukan pada Isabella. “Bell…” “Jangan pernah muncul lagi dihadapan gue, sialan.” “Bell… Maafin gue.” Beryl mendekati Isabella tapi yang ada perempuan itu malah melemparinya dengan pot bunga kecil hingga membuat jemari tangannya tergores mengeluarkan darah segar “Gue Cuma bantuin lo aja. Nggak ada niatan buruk sama seklai, Bella.” “Lo nggak pernah sama sama sekali bantuin gue, Beryl. Lo perusak. Lo ngerusak apapun yang udah jadi rencana gue. Semuannya!!!” Beryl menutup matanya. Dia tidak tahu lagi harus membuat Isabella percaya padanya dengan cara apalagi. Pasalnya setiap Beryl bergerak satu langkah Isabella akan mundur seratus langkah. “Belll…” panggil Beryl memelas “Pulang lo!” usirnya dengan wajah memerah. Juga tangisan yang tidak bisa dia tahan lagi. Isabella sangat malu sekarang. Greppp… Beryl mendekati Isabella dan membuat perempuan itu mundur beberapa langkah ke belakang. Beryl memeluknya sangat erat dan sangat tahu setelah ini kemungkinan hal buruk akan menimpanya. Darah dijemarinya juga terus menetes akibat goresan sisi tajam pot bunga. “Gue nggak pernah berusaha buat lo semakin menderita karena masalah ini, Bella. Gue benar-benar pengen bantuin elo.” Beryl mengusap kepala Isabella dengan lembut dan terdengar isak tangis yang semakin pecah. “Nangis kalau itu buat perasaan lo lega.” “Gue nggak pernah berniat buruk, Bella… Auwhhh…” Beryl menahan sakit mati-matian karena Isabella menggigit lehernya dengan sangat keras. Beryl menutup matanya menahan sakit yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya. Meski tidak terpikirkan seorang Isabella akan melakukan hal segila ini tapi Beryl cukup paham bahwa Isabella dan kelakuan anehnya adalah hal yang normal untuknya. Dan ini hanya hanya dilakukan kepadanya. Kenapa otak Beryl berpikiran sedimikian gila juga dikarenakan semua orang menganggap Isabella adalah manusia dengan kesempurnaan penuh tanpa melihat bagaimana sikap asli perempuan ini. Dia lebih brutal dari apapun. Isabella menyudahi aksi menggigit leher Beryl karena dia baru sadar kalau Beryl tidak melakukan perlawanan apapun kecuali diam dengan elusan di tangan yang sepertinya semakin pelan. “Kenapa lo nggak melawan, sialan?” Beryl menggeleng tidak ada gunanya juga dia melawan karena setiap perlawanannya akan dibalas Isabella dengan hal yang lebih gila. “Lawan. Ayo gigit balik gue.” Isabella menunjukkan lehernya pada Beryl dan memaksa laki-laki itu untuk menggigit baliknya. Apa Isabella masih waras meminta Beryl melakukan hal gila seperti itu. “Lo bisa jadi perempuan waras nggak sih, Bell?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN