“Dia cowok lo?”
Pertanyaan barusan membuat Isabella dan Beryl saling pandang. Dua orang itu bahkan terdiam membisu tanpa tahu harus menjawab apa. Isabella rasanya ingin mengatakan pada Beryl untuk menjauhinya sekarang juga. Tapi mengingat ada Jesika dihadapannya dia tidak mungkin membuat musuhnya ini menang satu langkah di depan. Isabella harus sedikit bermain-main dengan memanfaatkan keberadaan Beryl.
“Emang kenapa sih. Apa urusannya sama elo?” Belum juga Isabella memulai sandiwaranya Beryl sudah paham saja soal isi otaknya. Mungkin efek kepintaran laki-laki itu.
Isabella menatap tangan Beryl yang merangkul bahunya tanpa repot bertanya. Kalau bukan karena ada Jesika sudah dipastikan Beryl akan masuk rumah sakit dengan luka yang lebih parah dari serangannya tadi pagi. Ngomong-ngomong soal luka kenapa Beryl terlihat baik-baik saja meski satu tangannya diperban. Oh, Isabella jadi merasa bersalah─sedikit. Mungkin malah tidak sama sekali. Apa yang dia lakukan juga karena Beryl sudah bersikap kurang ajar dengan berani membuka ponsel miliknya. Padahal disana terdapat privasi yang tidak boleh dilihat orang.
“Lo yakin mau pacaran sama bekas om-om?” Jesika mendekati Beryl kemudian menarik tangan laki-laki itu hingga rangkulan di bahu Isabella terlepas. Sungguh tipikal pelakor dunia nyata. Dia akan merebut secara terang-terangan di depan pemiliknya sendiri. Eh, tapikan Beryl bukan miliknya ya.
Beryl jelas merasa ogah-ogahan. Dia melepas paksa tangannya dari pegangan Jesika. “Mau apa lo?” tanyanya dengan nada dingin.
Mimik wajah Jesika juga berubah takut. Dia tidak pernah menghadapi laki-laki dengan modelan seperti Beryl karena setahu Isabella seorang Jesika hanya akan didekati oleh mereka yang langsung nyosor tanpa intro. Benar-benar sangat murahan
“Tuh, lihat. Beryl aja pengen jaga jarak sama elo,” ujar Isabella dengan mimik wajah meremehkan. Sudah biasa juga dia dihadapkan pada posisi begini. Tapi ini pertama kalinya laki-laki yang membantunya adalah si Beryl.
“Sialan, lo.” Jesika menatap Isabella dengan murka.
Jesika menoleh pada Beryl sedikit terkagum karena ternyata dalam jarak sedekat ini laki-laki yang menjadi incaran banyak mahasiswi di kampus punya wajah memikat. Tidak salah banyak yang menggilai. Jesika jadi berpikiran lebih, jika saja dia bisa merebut perhatian Beryl tentu saja Isabella akan kalah telak.
“Gue rasa lo salah pilih. Dia terlalu busuk untuk bisa bersanding sama manusia sepintar elo, Beryl?”
“Lo kenal gue?” tanya Beryl kelewat polos
Beryl bodoh, untuk apa juga dia repot-repot menanyakan soal apakah Jesika mengenalnya atau tidak. Karena jelas saja banyak mahasiswa di kampus akan mengenal siapa laki-laki itu. Apa dia tidak sadar wajahnya sering muncul di i********: cogan kampus. Lama-lama Isabella gedeg sendiri menyadari betapa bodohnya seorang Beryl.
“Menurut lo?” Jesika memberikan senyuman termanis yang dia punya. Senjata ampuh yang biasanya dipakai untuk menggoda laki-laki yang kebetulan menjadi pelanggannya.
Beryl menatap Jesika cukup lama hingga Isabella menangkap musuhnya itu merona dibuatnya.
“Tapi gue sama sekali nggak kenal elo,”
Yah, Jesika kecewa. Dia cemberut namun percikan detik berikutnya perempuan itu sudah sumringah lagi seolah jawaban Beryl bukan apa-apa.
“Malu, woy…” teriak Isabella
Jesika mundur satu langkah menjauhi Beryl. “Nama gue Jesika. Bisa lo panggil Jesi atau Sika. Dan gue masih single. Kalau lo butuh teman bisa kontak gue, ya. Gue follow kok i********: elo.” Katanya sebelum berlalu pergi meninggalkan Isabella yang melotot kaget beserta Beryl yang menampilkan muka cengo
***
“Dia teman elo?” Beryl memperhatikan Isabella yang fokus pada ponsel miliknya padahal mereka sedang dalam satu mobil.
Rasanya Beryl merasa sikapnya jadi seperti pacar yang posesif. Tidak mau diabaikan dan ingin Isabella hanya melihat kearahanya. Sungguh pikiran gila
“Siapa?” Isabella menoleh pada Beryl
“Yang tadi namanya Jesika.” Beryl menunjukkan Instagramnya yang difollow oleh perempuan aneh tadi. Respon yang ditunjukan Isabella hanya acuh tak acuh seolah dia tidak perduli
“Bell…”
“Kenapa, sih?” nada suara Isabella terlihat kesal setengah mati. Ya memang pada kenyataannya Isabella kesal bahkan lebih daripada itu. Isabella menyesal harus dipertemukan dengan orang sekepo Beryl.
“Maaf soal apa yang gue lakuin. Gue tahu itu privasi dan gue sangat bodoh.”
“Lo emang bodoh, Beryl. Baru paham sekarang?” tembakan Isabella telak. Kalimatnya sukses membuat Beryl membisu di tempat
Isabella menyadari ucapannya kelewatan, tapi dia juga tidak mau meminta maaf. Baginya ini semua adalah kesalahan Beryl. Dia pantas mendapatkan ganjarannya. Isabella tidak boleh menumbuhkan rasa iba berlebihan pada Beryl. Itu berbahaya serta punya resiko besar. Semua rencananya bisa gagal total jika begini caranya.
Isabella hendak membuka pintu mobil Beryl. Dia tidak boleh sampai pulang bersama Beryl. Isabella juga tidak boleh kembali bertemu atau perduli apapun yang dilakukan oleh laki-laki di sampingnya.
Beryl terlihat membuang nafas lemah, “Maaf Isabella. Gue nggak tahu kalau itu membuat lo sangat tidak nyaman.”
“Ya. Bagus. Gitu dong sadar diri.” Isabella tidak bisa untuk tidak ngegas ketika berinteraksi dengan Beryl. Mungkin sudah bawaannya dia emosian jika melihat Beryl dalam jarak sedekat ini.
“Gue berhenti, Bell.”
Cup
Isabella tidak tahu apa yang barusan terjadi adalah nyata atau tidak. Beryl mencium keningnya. Apa-apaan ini?! Dengan segera Isabella keluar dari mobil Beryl tanpa sepatah katapun. Sungguh pikirannya blank seketika.
Begitu mobil Beryl melaju meninggalkannya, Isabella masih mematung di tempat. Tangannya bergerak menyentuh keningnya sendiri. Lalu mengusapnya agar bekas ciuman Beryl menghilang. “Lo benar-benar nggak waras, Beryl. Bakal dipecat secara tidak hormat lo sama Om Warsono karena udah berani-beraninya nyentuh ponakan tersayangnya.”
Isabella memberhentikan taksi yang lewat kemudian segera masuk ke dalamnya. Dia enggan memesan taksi online karena itu pastinya butuh waktu yang tidak sebentar. Mengingat ketika dia di kampus tadi bahkan tidak ada satu taksi pun yang segera datang. Paling lama dua puluh menit.
“Kemana mbak?” sopir taksi tersebut bertanya tujuan Isabella.
Isabella menggigit bibirnya, bingung juga harus kearah mana. “Kompleks perumahan semanggi, pak.”
“Baik, mbak.”
Isabella memilih tujuan ke rumah Om Warsono karena dia harus meluruskan suatu hal. Termasuk soal uang bulanan yang selama ini rutin dikirimkan oleh Prof.Warsono. Ini mungkin menjadi hal sepele untuk orang tua itu. Tapi bagi Isabella itu adalah hal yang penting. Isabella tidak mungkin terlalu lama lagi merepotkan dan mengandalkannya terus. Dia harus sesegera mungkin memaksa untuk menyudahi. Setidaknya gaji Isabella masih cukup jika digunakan untuk membayar kuliah dan biaya makannya.
Paling tidak selama Isabella masih menempel pada Nando dan Kenand hidupnya akan baik-baik saja. Mereka bisa memberikan Isabella hidup layak asal dirinya selalu punya waktu.
Isabella sudah memikirkan ini baik-baik keputusannya. Dia harus mandiri
***
“Kamu yakin mau berhenti, Beryl?” Prof.Warsono menyerahkan satu botol minuman kopi pada Beryl. Salah satu mahasiswa yang sangat dia banggakan
Beryl menerimanya dengan pikiran kalut, “Iya Prof. Saya berhenti…” ujarnya meski keraguan nampak jelas di mata Beryl.
“Kenapa?” Prof.Warsono menatap Beryl dengan seksama. Terlihat jelas ada raut kekecewaan disana dan Beryl tidak bisa untuk menyerah melihat tatapan itu.
“Saya rasa tugas untuk memata-matai Isabella terlalu berat, Prof.” jawab Beryl mengatakan alasannya. Memang benar bukan dia merasa menyesal mengawasi Isabella.Yang ada bukannya Beryl mendapat titik terang malahan dia yang lebih sering kena teror aneh belakang ini. Bisa saja Isabella yang melakukan semua itu karena merasa marah atas tindakan Beryl telah ikut campur dalam masalahnya.
Prof.Warsono mengangguk mengerti. Memang bukan perkara mudah ketika dia menyuruh orang kepercayaannya untuk memata-matai keponakannya. Beryl bukan orang pertama yang menyerah soal tugas ini. Sebelum ini Prof.Warsono meminta bantuan Beryl, dia lebih dulu menggunakan orang lain untuk memata-matai Isabella. Jadi jika sekarang Beryl menyerah di tengah jalan itu sudah lumrah.
“Saya tahu ini merupakan tugas yang berat, Beryl. Karena sebelum kamu sudah ada beberapa orang yang menyerah di tengah jalan soal untuk menangani masalah ini.”
Beryl terkejut atas ungkapan Prof.Warsono dia kira hanya dirinya yang mendapat tawaran seperti ini. Ternyata orang lain juga sudah pernah dan itu gagal.
“Namun yang membuat saya keheranan kenapa Isabella begitu gigih untuk terus berupaya membunuh Nando. Padahal dia cukup pintar untuk tahu konsekuensi yang diterima jika sampai berani menyentuh putra kesayangan keluarga kaya itu.” Prof.Warsono berkata sembari menerawang jauh
“Isabella sangat percaya diri soal apa yang dia lihat. Dia sudah mengklaim bahwa Diana meninggal karena dibunuh oleh Nando.”
Beryl pernah mendengar Isabella menyebut nama Diana dan Nando terus menerus saat dia mabuk. Kemungkinan itu juga berkiatan dengan masalah ini. Tapi kenapa Isabella sangat yakin pelakunya adalah Nando. Sementara orang bernama Nando itu begitu mudah lolos dari jeratan hukuman seolah memang dia tidak bersalah.
“Tapi Prof.Warsono bukannya sudah berupaya menjebloskan Nando ke penjara?” pertanyaan itu akhirnya keluar.
Nampak jelas jika Beryl sebenarnya masih mau memata-matai Isabella tapi melihat respon Isabella tadi membuatnya menyerah tanpa tahu harus melakukan apa. Bodohnya lagi tindakan frontalnya mencium kening Isabella. Beryl tidak tahu lagi akan bersikap seperti apa jika nnati berhadapan dengan Isabella. Dia ingin menyembunyikan wajahnya saja.
Prof.Warsono terkekeh, “Saya tahu kamu masih berminat dengan tugas khusus ini, Beryl. Tapi kamu merasa ragu untuk melanjutkan karena Isabella terus mendesakmu untuk menyerah bukan?”
Tepat sekali dugaan Prof.Warsono memang Isabella tidak pernah absen untuk memintanya berhenti memata-matai perempuan itu. Bahkan Beryl sudah terkena gigitan dan tamparan berkali-kali akibat terus membandel karena mengikuti kemanapun Isabella pergi. Lama-lama Beryl merasa dia persis seperti penguntit.
“Saya tidak tahu, Prof.” Jawab beryl sesopan mungkin
Prof.Warsono menenggak minumannya, “Saya tahu Beryl. Kita cukup dekat bukan. Hanya mungkin kamu masih merasa asing dan sungkan dengan saya karena faktor saya ini dosen kamu, begitu?”
Beryl mengangguk membenarkan, dia tidak mungkin juga membangkang Prof.Warsono yang ada nanti nilainya menjadi taruhan. Beryl tidak mau membuat nilainya dalam keadaan terancam meski sebelum ini Prof.Warsono sudah berkali-kali mengatakan jika tugas khusus sama seklai tidak ada kaitannya dengan nilai perkuliahan.
“Saya kan sudah bilang kamu tidak usah risua soal nilai kamu. Itu sudah menjadi tanggung jawab saya. Ini mungkin akan membuat kamu punya banyak pengalaman.”
Bolehkan Beryl mengumpat untuk ucapan Prof.Warsono kali ini. Bagaimana tidak dia selalu mengatakan bahwa tindaknnya akan membuat perubahan dalam hidup Beryl. Benar, memang hidup Beryl berubah tapi malah kearah buruk. Dia jadi jarang tidur cukup dan sering bergadang di klub malam guna menunggui seorang Isabella bekerja menemani laki-laki hidung belang minum.
“Pikirkan baik-baik, Beryl. Saya masih menganggap kamu asisten terbaik yang saya miliki. Jika ada masalah kamu bisa menceritakan apapun ke saya. Anggap saja saya ini teman, sahabat, atau orang tua kamu.”
“Saya juga ingin sekali-kali mendengar kamu menolak untuk menggantikan saya mengajar karena ada jadwal kencan bersama pacarmu,” guraunya dan dibalas senyuman sungkan oleh Beryl
“Apa kamu punya pacar, Beryl?”
Oh tidak, apakah Beryl perlu menjawab untuk pertanyaan yang satu ini?!
Prof.Warsono tertawa melihat Beryl menggeleng sebagai respon dari pertanyaannya. Memang muka Beryl ini gampang sekali dibaca, ya.
“Baiklah…Ehkhemm, apa kamu tidak meyukai keponakan saya yang cantik itu?”
Beryl mulai berpikir keras. Tentu saja dia tahu jawabannya bahwa orang yang dimaksud Prof.Warsono adalah Isabella. Tapi mungkin Beryl tidak akan menjawab untuk pertanyaan yang satu ini.
“Bagaimana Beryl?”
***
“Beryl…” Isabella berhenti di depan pintu begitu mendapati Beryl keluar dari rumah Om Warsono dengan menggendong ransel di punggungnya
“Lo ngapain kesini?” tanyanya curiga
Beryl diam tidak menjawab. Dia nyelonong begitu saja melewati Isabella.
Isabella yang dicuekin Beryl menjadi kikuk dan malu bersamaan. Apakah Beryl marah padanya?! Bukankah disini yang seharusnya marah adalah Isabella?! Sungguh laki-laki memang meribetkan saja.
Isabella mengacuhkan Beryl lalu memilih masuk ke rumah Om Warsono tanpa permisi.
“Non, Bella mau ketemu tuan?” Bi Ima yang sudah bekerja bertahun-tahun di rumah Om Warsono masih mengenalinya. Masih juga menyambutnya dengan ramah. Padahal dulu Isabella ingat pernah mengata-ngatai asisten rumah tangga ini dengan berbagai umpatan karena tidak membiarkan Isabella keluar malam.
“Om Warsono ada?” tanyanya pada sang pembantu
Belum sempat Bi Ima menjawab orang yang Isabella cari sudah muncul duluan.
“Ada apa, Isabella?” Om Warsono bertanya dengan membawa gulungan koran di tangan kanannya. Sepertinya Isabella mengganggu waktu bersantai Om nya itu
“Saya mau bicara…”
Om Warsono duduk dan meminta Bi Ima menyiapkan jus untuk Isabella, “Ya. Mau bicara apa?”
“Saya minta Om warsono berhenti buat ngurusin saya. Berhenti buat transferin uang kuliah, uang bulanan, dan uang jajan ke saya. Karena saya sudah bekerja dan merasa sudah enggak membutuhkan itu,”
“Lalu?”
“Lalu saya juga minta tolong pecat Beryl karena saya enggak nyaman ketika dia terus saja mengawasi setiap pergerakan saya. Saya jadi merasa nggak bebas, Om. Privasi saya terganggu.”
“Kamu merasa seperti itu?”
Isabella mengiyakan. Dia terganggu dan seharusnya tidak usah dideskripsikan lagi, bukan?!
“Tepat sekali. Karena Beryl memang baru saja mnegundurkan diri dari tugasnya memata-matai kamu.”
“Apa?” Isabella tidak tahu jika apa yang tadi sempat Beryl katakan adalah sebuah kebenaran. Dia akhirnya mengundurkan diri. Apakah ini yang disebut membahagiakan?!
“Bagaimana?! Apa kamu puas, Bella?!”
“Hah?” Isabella tidak mengerti maksud ucapan Om nya
“Kamu membuatnya pergi sementara dia melakukan itu bukan atas dasar perintah saya.”
“Dia menggunakan hatinya,”