Beryl masuk ke kamar pribadi di rumah orang tuanya. Perasaannya teramat dongkol. Apalagi Isabella semakin berada dengan jarak sedekat itu dengannya. Beryl tidak masalah dengan jarak tapi setiap kali mereka berjumpa perempuan itu akan langsung bertingkah tidak waras.
Apa tadi, heh?! Menggodanya dengan cara terus mempertipis jarak mereka, begitu?!
Kenapa tingkahnya sangat murahan sekali. Hampir saja Beryl tergoda dan melupakan fakta soal siapa Isabella dan apa tugas Beryl. Benar-benar keberadaan Isabella cukup membuat was-was.
Setelah kejadian barusan Beryl harus cukup kuat membentengi diri sendiri.
Beryl menghela nafas. Tidak lupa tindakan mengunci kamarnya sendiri lalu berfokus untuk membersihkan diri. Rasanya badanya terasa lengket. Padahal sebelum ke acara perjamuan malam dia juga sudah sempat membersihkan diri. Semua gara-gara Isabella.
____________________________________
Isabella tertunduk menatap penampilannya malam ini. Tadi dia memang bertingkah agak kurang ajar kepada Beryl. Dia juga tidak menyangka respon tubuhnya bisa seaneh ini setiap mereka berdebat satu sama lain. Selalu saja Isabella tidak tahan untuk berjauhan dengan Beryl. Apalagi akhir-akhir ini ciuman yang terjadi cukup mengkhawatirkan. Isabella ketakutan jika suatu kemungkinan bisa saja terjadi diantara dirinya dan Beryl.
“Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Isabella. Tidak ada yang akan terjadi juga diantara kalian.” kalimat semangat untuk menyemangati dirinya sendiri.
Isabella masuk ke rumah Beryl. Sebelumnya orang tua Beryl sempat mengatakan bahwa kamarnya ada di lantai dua. Dia belum memeriksanya sih. Karena Beryl yang seharusnya mengantarkan Isabella. Namun yang terjadi justru laki-laki itu menghilang. Melupakan tanggung jawabnya menjaga Isabella. Sungguh tidak berguna sama sekali.
Isabella mencari keberadaan dapur. Mulutnya kering akibat adu argumen dengan Beryl. Lalu tatapannya tertuju pada sosok yang tengah berdiri di ujung tangga. Hampir saja Isabella berteriak saking terkejutnya. Mengira jika orang itu adalah hantu.
“Kamar lo, disini. Di lantai dua.” Beryl menuruni tangga sembari memperhatikan tingkah Isabella yang lebih mirip ayam hilang.
Isabella menggaruk lehernya yang tidak gatal. Kebingungan juga. Pada akhirnya dia memutuskan untuk mengangguk saja.
“Lo mau ngapain?” nada bicara Beryl sudah tidak ngegas seperti tadi. Kali ini dia lebih santai. Isabella merasa lega mendengarnya. Setidaknya yang sekarang harus Isabella khawatirkan adalah soal bagaimana agar respon tubuhnya tidak membenrontak ingin berdekatan dengan Beryl.
“Minum.” jawab Isabella pelan. Dia butuh air satu gelas sekarang
Beryl menuntun Isabella ke ruangan paling pojok. Sementara yang dilakukan Isabella hanya mengekor saja.
Begitu sampai di dapur mata Isabella dibuat takjub. Ternyata dapurnya begitu besar. Sangat mewah dan berkelas.
Isabella dengan segera mengambil gelas dan membuka kulkas. Dia ingin minum air dingin. Meski di luar sedang gerimis tapi Isabella kepanasan. Sungguh
Mata Beryl terus awas memperhatikan cara Isabella minum. Entahlah dia benar-benar tidak bisa mengontrol matanya sendiri.
Malam ini Isabella mengenakan gaun berwarna kuning cerah. Meski tidak terkesan seksi seperti yang dikenakannya ketika di klub tapi Beryl mengakui Isabella cukup pantas memakainya. Dia terlihat…anggun
Entah bagaimana pikirannya bisa sampai kesana. Tapi dia laki-laki normal. Tidak ada salahnya dengan menganggumi penampilan seseorang, bukan?!
“Hari ini gue resmi jadian sama Nando,” Isabella tiba-tiba saja mengatakan kalimatnya. Padahal sebelumnya mereka sama-sama saling mendebat.
“Bukankah dengan begitu rencana elo akan berhasil?” Beryl ikut mendekat lalu duduk di kursi makan
Isabella mengangguk, dia tidak tahu kenapa melontarkan kalimat soal kemajuan hubungannya dengan Nando. Padahal jelas saja dengan caranya memberitahu Beryl bisa dipastikan semua rencananya akan gagal total.
“Gue nggak tahu kenapa rasanya gue harus ngasih tahu soal ini ke elo.” Isabella menjawabnya meski sebenarnya itu adalah kata hatinya sendiri.
“Gue malah merasa elo yang selama ini lebih banyak tahu soal gue.”
Beryl menggigit bibir dalamnya. Dia ingin tersenyum tapi tidak berani melakukannya terang-terangan. “Jadi, lo bakalan menyerah soal itu?” kali ini Beryl bertanya
“Enggak. Itu adalah tujuan hidup gue semenjak Diana meninggal. Gue nggak bisa untuk tidak memperjuangkannya, Beryl.” Isabella jadi merasa setiap dia dan Beryl bersama laki-laki itu tidak pernah menjahatinya. Tidak sama sekali menatapnya dengan kemesuman seperti yang laki-laki lain lakukan. Beryl malah mungkin tidak bernafsu kepadanya─mungkin
“Ber…”
“Hmmm?” Padahal Beryl sedang sibuk memikirkan jawaban kalimat Isabella tapi perempuan itu lebih dulu membuatnya kehilang fokus karena pertanyaan berikutnya
“Kenapa elo sepertinya nggak bernafsu banget sama gue?”
Beryl bertopang dagu, “Kenapa harus?” katanya pelan
Isabella mendekati Beryl lalu membisikkan sesuatu, “Lo masih normal, kan, Ber?” tanya Isabella mencoba mencari tahu. Pasalnya menurut Isabella ini aneh. Hanya Beryl saja yang sepertinya sangat tidak terobsesi dengan tubuhnya.
“Masih lah.” kata Beryl setengah dongkol. Bagaimana bisa Isabella mempertanyakan soal kenormalannya. Jelas saja dia masih normal plus waras, pisan.
Isabella tertawa pelan. Menunjukkan dua jari sebagai tanda permintaan maaf.
“Soal ambisi elo kayaknya gue menyerah, Bella. Gue cuma berusaha menghentikan dan untuk kelanjutannya itu tetap ada di tangan elo sendiri.”
“Gue orang luar yang kebetulan punya pekerjaan menjaga elo,” Entah bagaimana bisa hati Isabella sakit mengetahui fakta yang dilontarkan Beryl. Padahal tadi dia sudah berharap bahwa setidaknya ada orang yang bisa Isabella percaya. Tapi sepertinya tidak ada. Tidak akan pernah ada juga.
“Gue benci elo, Beryl.” Isabella menangis ketika mengucapkan kalimatnya
“Gue tahu, Bella.” Beryl mengusap air mata Isabella. Sudah beberapa kali Isabella menangis tapi untuk kali ini Beryl merasa ada yang aneh. Dia tidak suka melihat Isabella lemah dan menangis. Lebih baik Isabella mengamuk dan menamparnya saja daripada harus melihatnya menangis sesenggukan begini.
“Buat apa lo menangis karena ngenbenci gue?! Gue rasa memang gue layak dibenci soal pekerjaan gue ini.” Beryl menegaskan
Kalau berada diposisi Isabella tentu saja hal utama yang akan Beryl lakukan adalah membencinya seutuhnya.
Apalagi tindakan yang sudah dilakukan Beryl membuat Isabella kehilangan kebebasannya. Isabella tidak bisa bertingkah normal. Padahal keluar masuk klub malam sudah menjadi hal lumrah untuk orang yang hidupnya memang untuk mencari kesenangan. Tapi sekarang kebebasan Isabella harus dia renggut karena perintah Om Warsono.
“Gue…” Gue capek hidup kayak gini, Beryl.
Ingin rasanya kalimat tersebut Isabella lontarkan. Tapi Isabella tidak bisa. Dia hidup untuk ini. Lalu dia bisa apa selain melakukannya karena dendamnya sangat besar kepada Nando.
Beryl menggenggam jemari Isabella. Membuat perempuan itu mendongak kebingungan namun menurut saja. “Gue anterin ke kamar elo. Udah malam.”
Beryl menggandeng tangan Isabella naik ke lantai dua. Tidak sama sekali melepaskan genggaman tangan mereka. Entah apa yang sebenarnya terjadi hanya mereka berdua yang tahu.
Ceklek…
Beryl membuka kenop pintu. Memencet saklar lampu di samping pintu agar kamar memiliki cahaya terang.
“Ini kamar elo. Kamar ini sering dipakai sama kakak perempuan gue dulu sebelum dia pindah ke Jerman.”
Isabella memperhatikan kamarnya. Sangat luas dan mewah. Lagi-lagi kemewahan selalu saja menjadi hal yang cukup menakjubkan di mata Isabella.
“Lo punya kakak?” rasanya otak Isabella sangat tidak berguna. Padahal baru saja Beryl mengatakan bahwa kakaknya tinggal di Jerman kenapa masih sempat-sempatnya bertanya. Huh, otak. Kamu kenapa, sih, selalu lelet?!
Beryl mengangguk mengiyakan, “Udah menikah. Dan menetap disana.” katanya menjelaskan tanpa ada kemarahan meski Isabella terkesan lola
Isabella memperhatikan genggaman tangan mereka. Membuat Beryl sadar dan akhirnya melepaskan. “Gue balik ke kamar dulu, ya.”
Isabella mengikuti Beryl ke depan pintu kamar. Sebenarnya dia tidak harus menginap tapi mau bagaimana lagi mulutnya kadung ceplas ceplos mengatakan jika dirinya dan Beryl berpacaran di depan orang tuannya.
“Bella, meski lo bakal mengatakan kalau gue bukan cowok normal. Tapi gue nggak perduli.”
“Gue nggak ada niatan buat melecehkan elo sama sekali. Gue pengen menjaga elo meski itu bukan atas permintaan dari Prof.Warsono.”
Beryl mengusap kepala Isabella lembut, “Lo layak buat dijaga bukan terus menerus di rusak, Bella. Lo bisa anggap gue apapun itu. Musuh, orang jahat, orang gila, atau sebutan lainnya. Tapi ingat gue nggak bakal menyerah soal menjaga elo.”
“Apapun itu selama gue masih bisa berdiri di belakang elo pasti bakal gue lakukan buat menyelamatkan elo.”
“Ingat. Lo sangat berharga, Isabella.” Isabella trenyuh mendengar kalimat ini
“Tetaplah pada ambisi itu dan gue bakal tetap di belakang elo. Sampai pada akhirnya memang elo enggak butuh ada gue sama sekali.”
“Selamat malam Isabella…”
Cup…
Beryl mencium pipinya setelah mengucapkan kalimat panjang itu. Dan Isabella tidak tahu harus merespon bagaimana.
Begitu Isabella sadar dengan segera dia masuk kamar dan menguncinya dari dalam. Debaran di hatinya benar-benar menggila.
Tidak tahu bahwa sedari tadi tingkah mereka terus diawasi oleh Elis. Perempuan itu tersenyum kecil. Bersyukur setidaknya Beryl bisa bersikap layaknya laki-laki yang menjaga pasangannya.
___________________________________
Isabella membuka mata pagi itu. Dia melirik sekitarnya. Dia ada dimana dan bersama siapa.
Isabella diam mematung. Dia masih ingat semalam memang diminta menginap oleh orang tua Beryl di rumahnya. Lalu Beryl mengantarnya. Berakhir pada ciuman manis itu.
Tangan Isabella menutup mulutnya sendiri. “Apakah gue barusan memikirkan ciuman Beryl, lagi?!”
“Kenapa kita sering kali berciuman seolah itu adalah hal lumrah. Bahkan gue nggak bisa mengontrol tubuh gue sendiri. Aishhhh…” Isabella bisa stress sendiri lama-lama. Dia segera bangkit dan menuju kamar mandi guna membersihkan diri.
Di tempat lain Beryl sudah duduk anteng di meja makan. Sengaja memang tidak membangunkan Isabella karena pasti perempuan itu masih tidur. Mengingat semalam masih membuat kepala Beryl dipenuhi kejadian itu. Dia terang-terangan mencium Isabella dan tanpa penolakan. Bukan ciuman penuh hasrat tapi ciuman kilat namun terasa lembut dan manis.
“Isabella belum bangun, Nak?” Mama Elis mengolesi roti untuk sarapan suaminya
“Belum,” kata Beryl sembari menggigit sandwich di tangannya
“Kamu suka beneran sama Isabella, Ber?” Papa Ezra menatap putranya dengan tatapan serius.
Beryl mengunyah makanan di mulutnya dengan susah payah. Rasanya ini seperti bongkahan batu koral yang dipaksakan untuk ditelan. Kenapa pagi-pagi papanya harus bertanya seserius ini, sih. Membuat Beryl merasa bersalah karena harus berbohong mengikuti sandiwara Isabella.
“Iya, pa.” ujar Beryl sembari fokus menatap makanannya
“Papa cukup tahu seperti apa Isabellamu, Ber.”
Beryl terkejut. Kepalanya mendongak menatap sang papa. Kalau sudah mengatakan hal seperti itu jelas saja papanya akan lebih tahu banyak. Semoga soal ambisi dan pekerjaan Isabella tidak diketahui oleh papanya.
“Dia anak dosen kamu, ya?”
Beryl mengangguk cepat. “Bukan, pa. Dia keponakan Prof.Warsono dosen Beryl di kampus.”
“Oalah, yang pernah kamu bilang itu, ya. Kamu ditawarin buat jadi asistennya?” tebak mama Elis ikut nimbrung. Sementara Beryl terus saja mengangguk.
“Bagus itu. Dia dari keluarga berpendidikan, sayang, Mama suka banget. Dia juga sopan dan polos begitu.”
Polos katanya, heh?! Beryl bahkan selalu terluka setiap berjumpa Isabella. Ada saja aksi gila Isabella yang membuatnya mengalami luka-luka. Beryl tidak bisa membayangkan berapa orang yang selalu memuji Isabella tentang sikap perempuan itu. Sementara yang Beryl tahu Isabella begitu buas juga tidak sopan sama sekali. Tapi mengenai fakta itu tentu saja tidak bisa Beryl utarakan sembarang. Ini menyangkut harga dirinya juga.
Mama Elis menyodorkan sandwich di piring berserta jus kepada Beryl. “Habiskan sarapanmu lalu kamu antarkan ini ke Isabella. Sepertinya dia nggak bisa tidur semalam sampai belum bangun waktu sarapan.”
“Iya, ma.” Mata Beryl menatap papanya yang terus menatapnya dan mama secara terang-terangan. Firasat Beryl tidak enak. Apa mungkin papanya sudah tahu soal Isabella keseluruhan.
“Papa juga buruan dihabiskan makanannya. Mama buru-buru mau ke butik Jodan, nih.”
Papa Ezra langsung mengangguk dan memakan sarapannya. Beryl jadi was-was begini kalau papanya tidak melontarkan candaan. Seperti menyimpan sesuatu namun tidak bisa secara blak-blakan dikatakan di depan mama Elis.
Beryl bangkit dari kursi, “Beryl antar ke Bella dulu.” katanya berlalu meninggalkan ruang makan. Lagipula Beryl juga tidak kuat diintimidasi dengan tatapan papanya. Akan lebih baik dia menghindar dahulu.
Beryl mengetuk pintu kamar Isabella, “Bell..Isabella…” panggilnya sedikit keras
Tangannya membuka kenop pintu dan tidak dikunci. Apa semalam Isabella memang tidak menguncinya?!
“Bell…” panggil Beryl lagi namun hanya ada suara gemericik air di kamar mandi
Tidak berselang lama Isabella keluar. Dengan baju rumahan milik kak Andin.
“Ber, gue pinjam baju kakak elo, ya. Baju gue kotor.” Sebenarnya Isabella bisa saja memakai gaun semalam tapi masalahnya dia sedang datang bulan dan terdapat noda merah di gaun itu.
“Oke. Pakai aja nggak papa kok. Dia selalu pakai yang baru kalau misal pulang.”
“Lo makan, gih. Setelah itu gue anterin pulang.”
Setelah ditawari makan Isabella lalu ngacir pada makanannya. Jujur saja perutnya tidak enak. Tapi begitu hendak menelan Isabella merasa mual hingga…
“Tadi…”
Hoeekkkk…
Belum sempat Beryl meneruskan kalimatnya bajunya sudah kotor dengan muntahan Isabella. Dan itu tidak sedikit. Entah apa yang semalam Isabella makan.
“Ber…sorry.” Isabella tidak enak sendiri melihat kaos Beryl kotor dengan muntahannya
“Oke. Nggak papa. Istirahat dulu aja kalau nggak enak badan.”
“Gue emang selalu muntah-muntah dihari pertama mens.” Isabella menjelaskan
Beryl tiba-tiba saja membuka kaosnya. Isabella tidak marah karena dia juga paham pasti Beryl merasa kotor dan jijik.
“Isabella, tante buatkan bekal buat kam....”
“Upsss, kalian berdua mau ngapain?” Mama Elis masuk ke kamar Isabella dan nampak sangat syok melihat keadaan di dalamnya.
Beryl yang tanpa memakai baju atasan. Dan Isabella yang duduk di ranjang kasur menghadap ke Beryl.
“Apa mama gangguin, ya?”
Oh, s**t…
Beryl beru menyadari memang posisinya sekarang ini tidak menguntungkan sama sekali. Dia dan Isabella seperti akan melakukan kegiatan yang tidak-tidak.
“Maa, baju Beryl kena muntahan Isabella.” Beryl segera menunjukkan kasonya pada mama Elis dan membuat perempuan itu bernafas lega
Kemudian kembali melotot kearah Isabella dan Beryl. “Kalian berdua…”
“Sudah berapa bulan?” tanyanya yang membuat Beryl maupun Isabella kebingungan. Mereka hanya saling pandang satu sama lain.
“Kamu sudah berapa bulan mengandung?”
Isabella menggeleng cepat. Pertanyaan mama Beryl benar-benar mengkhawatirkan.
“Saya hanya mens, tante. Di hari pertama memang selalu muntah-muntah. Tapi kata dokter nggak papa. Itu normal saja.”
“Maa…Beryl dan Isabella nggak pernah melakukan seperti itu.” Beryl tidak mau mamanya salah paham
“Seperti itu yang bagaimana, Beryl?” tanya mama Elis menggoda anaknya
Beryl melirik kanan dan kiri. Tentu saja mamanya hanya menggodanya saja.
Beryl mendengus kesal. “Mama…”
Mama Elis tertawa sementara Isabella juga tertawa karena melihat sosok kekanak-kanakan Beryl.