Suami Dakjal
“Aku menyukaimu, lebih dari siapapun, Sayang.” Suara berat seorang pria terdengar menggema di dalam kamar. Tak lama kemudian, desah kasar mengiringi pertanyaan seorang wanita.
“Sungguh? Bahkan istrimu sendiri?”
“Istri? Hah … jangan sebut-sebut dia saat kita sedang bercinta. Mood ku bisa berantakan!” tegas pria bernama Abimayu yang sibuk menindih wanita di bawahnya.
“Gimana kalau aku gak bisa muasin kamu gara-gara moodku berantakan?”
Lalu wanita yang sejak tadi sibuk mendesah frontal tanpa malu menjawab, “Oke, kalau gitu katakan aku yang terbaik, aku yang paling kamu cinta. Hanya aku, Indira.”
Seringai puas terbit di wajah Abi, dia sempat menguyar rambutnya ke belakang, lalu menjawab. “Kamu yang terbaik, Sayang. Kamu yang paling luar biasa, kamu yang paling cantik dan mempesona. Dan hanya kamu, wanita yang paling aku cintai.”
DEGH
Jena meremang, tubuhnya langsung terpaku di ujung anak tangga usai mendengar percakapan suaminya dengan wanita lain. Dia baru saja pulang dari bekerja, masih lelah, tubuhnya bahkan sudah tidak sehat sejak pagi.
Niatnya pulang lebih awal agar ia bisa istirahat lebih awal, tapi apa yang dia dengar ketika menaiki tangga menuju kamarnya?
Dengan jantung yang bergemuruh, serta tubuh yang juga gemetaran Jena mendekat, mengintip dari celah pintu yang terbuka. Bayangan dua orang sedang beradu mesra terpantul dari nyala lampu temaram di sudut kamar. Saling mencumbu, mengecup, membagi rasa puas dalam menuntaskan hasrat.
Panas, menggairahkan dan begitu intim. Peluh keduanya tak henti-hentinya menetes, membasahi tubuh yang saling bertumbuk mesra. Tanpa memperdulikan sekitar, mereka bergerak berirama dalam hentakan nikmat yang perlahan mengantar sampai ke puncak.
“Aku mencintaimu, Sayang. Sangat.”
“Agh, A-abi. Pe-pelan sedikit, dong.”
Alunan desah yang lolos dari bibir keduanya, bagaikan guntur yang tiba-tiba muncul di tengah angin dan api. Ketika Jena tersadar, suara desahan keduanya sudah terngiang-ngiang di kepala.
Jantung dan hatinya seketika mendapat serangan dari berbagai arah. Suara kecup mesra yang pecah di keheningan malam laksana anak panah yang dilesatkan tanpa aba-aba, langsung mengenai jantung dan menancap kuat di sana.
Air mata Jena berderai jatuh tanpa kendali, kepalan tangannya mengandung emosi yang panas membara. Hatinya sakit, amat sangat sakit. Pernikahan yang ia jaga selama ini. Cinta dari seorang Abimayu yang selalu ia harapkan lebih dari setahun lamanya. Mimpi-mimpi indah tentang sebuah rumah tangga harmonis penuh cinta, seketika hancur lebur tak bersisa.
Dia tak lagi dalam kendali yang nyata, langkahnya gontai menerobos masuk tanpa permisi. Lalu dengan mengerahkan seluruh kekuatannya, ia menjambak rambut Indira dan menyeretnya keluar hingga wanita tanpa busana itu berjalan terseok-seok mengikuti langkah Jena.
“p*****r, wanita murahan.” Emosinya terpampang nyata dalam kilat mata yang basah tergenang air.
Mimpi buruk apa Jena semalam, sampai harus menyaksikan kejadian yang menyalakan api emosinya. Karma apa yang sedang berlaku padanya, sampai rasa kecewa mengoyak akal sehatnya sedemikian rupa?
Selama satu tahun menikah, Jena selalu patuh, tidak pernah membantah perkataan sang suami. Bahkan dia rela bekerja dan mengurus rumah, serta mengurus ibu mertuanya yang sering sakit-sakitan.
Tapi pria bernama Abimayu itu, malah membalasnya dengan perselingkuhan, bahkan sampai tidur dengan wanita lain. b******n bukan?
Jena yang sudah gelap mata, tak lagi memperdulikan teriakan Indira yang memekik telinganya. Dia terus berjalan keluar kamar, hendak mengusirnya begitu saja tanpa membiarkan wanita itu memakai bajunya.
“A-abi … Bi, istrimu gila!” Indira berteriak, meminta tolong pada sosok pria yang masih diam terpaku melihat kedatangan istrinya.
Sepersekian detik saat ia mendengar Indira memanggilnya, pria itu mulai bergerak, menyambar celana pendek, buru-buru memakainya. Kemudian menyusul Indira yang terseok-seok tanpa sehelai benang mengikuti langkah sang istri.
“Kemari! Tunjukkan juga pesona jalangmu pada semua orang di luar. Jangan hanya di depan suamiku saja!” lantang Jena tanpa peduli apapun.
Namun langkah Abi cukup gesit. Begitu ia meraih tangan Indira, mereka sudah sampai di ujung anak tangga. Lalu tanpa peduli resiko apapun, Abi menarik tangan Indira dan langsung mendekap tubuhnya dengan lembut, seolah wanita itu lebih berharga bagai porselen mahal.
“Hentikan tindakan bodohmu!” seru Abi kasar.
“Kamu membela si Penggoda tidak tahu diri —”
PLAK
Tamparan keras mendarat sempurna di pipi kiri Jena. Mengecap rona merah merona yang cukup perih terasa. Sakit, menyakitkan. Tapi tidak lebih sakit dari hatinya.
“Dia lebih segalanya darimu, bahkan ujung rambutnya aja gak sebanding denganmu!”
Mata Jena membulat. Antara kaget mendengar perkataan suaminya, juga kesal karena jerih payahnya tidak dianggap selama ini. Dia menunduk, air matanya kembali terjun bebas. Setelah mengambil napas panjang, dia mendongak.
“Terus kenapa kau menikahiku? Kenapa!” Jena berteriak. Memukul d**a Abi, melampiaskan rasa kecewa, kesal serta sakit hatinya. Namun Abi yang enggan disentuh menepis tangannya dengan kuat.
Tak nyana, Jena yang sejak tadi gemetaran langsung hilang keseimbangan. Tubuh kurusnya berguling di tangga beberapa kali, kepalanya juga terbentur sudut anak tangga. Hingga saat sampai di dasar, darah segarnya langsung mengalir.
Entah di sebelah mana Jena terluka, dia hanya merasa kepala dan tubuhnya terasa berat. Jangankan bangun, menggerakkan jari saja cukup sulit. Lalu dengan mata yang perlahan memburam, dia melihat wajah dua orang di atas sana.
“Sial! Kenapa jatuh segala!” Abi mengumpat kesal.
“Bi, i-ini gimana? Dia berdarah, aku nggak mau di penjara, Bi. Gak mau!”