Melihat istrinya terbaring di bawah dengan darah yang mengenang. Wajah Abi kontan pucat pasi. Keningnya berkerut, tangannya gemetar hebat. Namun anehnya, pria itu justru menarik garis senyum samar.
“Sayang, kamu tenang dulu, oke. Aku udah mikirin caranya,” paparnya disusul seringai licik di wajahnya. “Sekarang bantu aku, hilangkan jejak kita di sini, anggap hari ini kita nggak ke sini!”
Indira diam terpaku selama beberapa saat, bingung. Matanya nanar terarah pada Abi yang justru terlihat senang. Padahal Indira takut setengah mati melihat Jena sekarat di bawah sana.
Tidak, tidak. Wanita itu tidak takut Jena mati. Dia hanya takut masuk penjara karena insiden tak terduga ini.
“Sayang!” panggil Abi sambil mengguncang tubuh Indira, membuat wanita itu terhenyak dalam lamunan.
Indira dilema, dia tidak mau membusuk di penjara, tapi juga tidak punya pilihan selain mengikuti perintah Abi. Setelah berpikir sejenak, dia segera beranjak dari sana, mulai membersihkan semua jejak keberadaan mereka di rumah itu.
Setelah membereskan ranjang bekas mereka bercinta, serta membersihkan jejak mereka di kamar. Indira turun ke bawah, melihat apa yang sedang di lakukan Abi.
“Bi, kamu gila! Bisa-bisanya ….” Indira bergidik ngeri saat melihat Abi memasukkan tubuh Jena ke dalam koper.
“Aku gak ada pilihan lain,” tangkasnya. “Ini juga udah terlanjur, mau gak mau kita harus melakukan ini. Kamu juga gak mau masuk penjara, kan?”
Mendengar kata ‘penjara’ membuat tenggorokan Indira langsung cekat, sampai kesusahan menelan salivanya. Sudah kepalang tanggung, mau bagaimana lagi. Yang bisa Indira lakukan hanya mengikuti Abi.
Bertarung dengan waktu yang berjalan terasa cepat. Sampai tidak menyadari, awan ke abu-abuan mulai bergerak. Nyala petir beberapa kali memecah kegelapan malam, mengiringi kepergian mobil SUV yang perlahan meninggalkan pekarangan rumah.
Sepanjang perjalanan tangan Abi terlihat gemetar, wajahnya masih pucat. Peluh keringat juga keluar dari kening, dan punggungnya. Dingin, sampai tangannya nyaris membeku.
Saat menemukan lokasi yang pas, Abi menghentikan mobil setelah mengendarainya selama 1 jam lebih. Tepat di jalan menukik tajam yang di sisi kirinya terdapat jurang dan di sisi kanannya tebing tinggi.
“Ayo! Buang di sini saja!” ucap Abi setelah celingukan, memastikan keadaan di sekitar sudah sepi.
“Kamu yakin tempatnya aman, Bi?”
Abi juga tidak yakin sebenarnya, tapi dia tidak punya pilihan lain sekarang. Terlebih, jalanan di sana cukup sepi, jurang di bawah juga lumayan dalam. Dua hal itu dirasa cukup untuk membuang koper berisi tubuh istrinya.
“Buang saja disini. Tempatnya sepi.”
Meski kata-kata yang keluar dari mulut Abi terdengar mantap, percayalah, hatinya tidak begitu. Dia takut, sungguh. Bahkan saat turun dan mengambil koper besar dari dalam bagasi, tangannya tak berhenti bergetar. Apalagi Indira, giginya sampai gemeletuk tak terkendali.
Meski begitu, mereka tidak mengurungkan niat dan segera membuang koper ke jurang sedalam 10 meter. Bahkan mereka sempat menyaksikan koper berwarna merah pekat itu meluncur dan berguling ke bawah, sebelum akhirnya buru-buru pergi dari sana.
“Di-dia … benar-benar mati kan. Iya kan?” Suara gelisah penuh kepanikan Indira memecah kesunyian di dalam mobil.
“Dia pasti mati, Sayang. Kamu lihat darah di kepalanya tadi kan? A-aku juga udah memastikannya, nadinya lemah.”
Indira mengulum bibir, wajahnya masih terlihat pucat pasi. Padahal Abi sudah meyakinkannya begitu, tapi hatinya tidak yakin. Seperti ada yang mengganjal dan mengganggunya.
“Meski dia belum mati, dia nggak mungkin bisa keluar dari sana. Jurang tadi cukup dalam,” tegas Abi cukup yakin atas tindakan dan keputusannya tadi.
- - -
Begitulah akhir dari nasib Jena Saraswati. Dikhianati suaminya sendiri, dan dibuang layaknya sampah. Malang. Sungguh malang sekali nasibnya. Padahal dia masih muda, umurnya bahkan belum genap 28 tahun, tapi sudah mengalami hal tragis seperti itu.
Namun takdir Tuhan, tidak ada yang tahu. Meski kepala Jena sudah berdarah seperti itu, tubuh kecilnya dimasukkan ke dalam koper dan dibuang ke jurang, dia masih bernapas. Wanita yang diharapkan mati justru masih hidup.
Seolah takdir belum mau menerima rohnya, seakan bumi belum siap ditinggalkannya. Tak nyana, sakit hatinya mampu membuatnya bertahan sampai sedemikian rupa. Ajaib bukan?
Kilat petir yang menyambar di langit seakan siap menjadi saksi. Seorang wanita bernama Jena Saraswati baru saja bangkit dari kematian. Merangkak keluar dari dalam koper yang tidak tertutup rapat karena kepanikan si pelaku kejahatan.
“Sekejam ini kamu padaku, Abi. Padahal selama ini aku selalu berbakti padamu, bahkan mencari nafkah harus menjadi tanggung jawabku juga.” Jena mengusap darah yang berlinang di mata yang memancarkan kemarahan.
“Jahat! b******n, k*****t kalian berdua!” sergahnya. “Akan ku balas perbuatan kalian padaku!”
Seringai seram sempat terbit di bibirnya, sebelum akhirnya dia mengucap sumpah lantang dengan tekad membara.
“AKU BERSUMPAH DEMI APAPUN DI DUNIA INI, AKAN MENUNTUT BALAS!
BLAM
Kilat petir menyambar bersahutan seiring dengan sumpah lantang yang diucapkan Jena. Seolah siap menjadi saksi atas sakit hati seorang istri yang dikhianati, dibunuh dan dibuang layaknya sampah.
Entah, apakah langit dan semesta sepakat untuk mengabulkan sumpahnya, atau hanya menjadi saksi belaka. Namun bagi Jena yang sudah diliputi dendam, ini akan menjadi sumpah yang akan ia wujudkan bagaimanapun caranya. Bahkan, jika ia harus menjual nyawanya pada kematian pun, dia akan melakukannya.
“Aku nggak akan mati, Abi. Aku akan hidup!”