Kondisi Memprihatinkan

790 Kata
Demi mewujudkan balas dendamnya, Jena mencoba bertahan dengan cara apapun. Seperti merobek kemeja dan membalut luka di kepala, agar darah tidak terus keluar. Meski tidak sepenuhnya berhenti, setidaknya itu bisa mengurangi banyaknya darah yang keluar. Setelah memastikan lukanya aman, matanya mulai mengedar, mencari apapun untuk naik ke atas. Beruntung, jurangnya cukup landai. Meski kedalamannya lebih dari 10 meter, Jena masih bisa memanfaatkan ranting pohon untuk merangkak naik. Sayangnya, usaha Jena untuk bertahan tidak berakhir sampai — keluar dari jurang saja. Dia masih harus mencari bantuan atau rumah sakit terdekat. Sungguh, keadaannya tidak baik-baik saja saat itu. Selain luka di kepalanya, nyeri pada d**a yang cukup menghujam juga jadi masalah. Begitu pula lututnya, Jena sampai kesusahan berjalan karena rasa ngilunya. “Gak. Gak boleh nyerah. Aku harus hidup dan balas dendam, mereka juga perlu merasakan gimana rasanya dimasukkan ke dalam koper dan dibuang.” Melihat sekeliling, Jena tidak menemukan apapun selain jalanan sepi dengan lampu temaram di sepanjang jalan. “Ah, sial!” umpatnya sambil menahan rasa sakit. Jena masih belum menyerah. Usai memutuskan jalan mana yang akan dia lalui, Jena mulai bergerak dengan langkah terseok-seok. Terus menyusuri jalanan sepi sambil terus berharap dirinya akan selamat. Namun sayangnya, pertahanan wanita itu berakhir. Dia ambruk begitu saja di tepi jalan. Di bawah cahaya lampu temaram, Jena menutup mata dan tak sadarkan diri. Siapapun, aku mohon. Tolong, aku masih ingin hidup. — — — — “Telpon … telpon Dokter Dante!” Suara bariton menggema di Unit Gawat Darurat rumah sakit Pelita. Kebetulan saat itu sedang sepi, sama sekali tidak ada pasien. Sehingga atensi kedua perawat yang sedang berjaga langsung terarah pria paruh baya yang tergopoh-gopoh masuk sambil menggotong seorang wanita. “Kenapa ini, Pak? Tabrakan?” tanya Vino sambil membantu menggotong tubuh wanita itu dan membawanya ke bed resusitasi. Hanya melihat darah di kepala saja, Vino sudah tahu jika pasien membutuhkan tindakan cepat. “Aku nggak tahu, Vin. Tadi lihat dia nggak sadarkan diri di pinggir jalan. Mungkin iya, tabrak lari,” jelasnya. Sudah jadi rutinitas bagi pria berumur 50 tahun itu berkeliling setiap malam di desa belakang rumah sakit. Dan tidak jarang juga Tino membawakan kopi atau camilan titipan para Ners atau dokter yang sedang dinas malam. Mungkin keberuntungan berpihak pada Jena. Malam ini Tino berangkat lebih awal untuk berkeliling. Saat hendak masuk ke jalan desa, mata tuanya melihat seorang wanita tergeletak di bawah lampu. Tanpa banyak pertimbangan, Tino langsung membawanya ke Pelita. “Vin, ukur tekanan darah dan saturasi oksigen. Ditia pasang line infus, ambil sampel darah. Oh, hubungi dokter Dante lebih dulu.” Dokter Julian yang baru saja tiba di IGD langsung memberi perintah. “Berapa tekanan darahnya?” tanyanya setelah Vino selesai mengukur. “70 per 50, Dok. Denyut nadinya lemah.” Julian, pria dewasa berusia 35 tahun segera mengarahkan senter pada mata Jena. Di waktu yang bersamaan, Ners bernama Ditia berteriak, “Dokter Dante on the way, 3 menit katanya.” Julian mengangguk sekilas, lalu menoleh pada Vino, “Cek stok darah, ambil darah lengkap sekalian. Bilang pada mereka kita butuh hasil segera!” Di bawah perintah Julian, mereka mulai bergerak menangani pasien. Ditia, ners wanita yang baru saja memasang infusan langsung pergi mengambil peralatan jahit. Sedangkan Vino bergegas menyerahkan sampel darah untuk diperiksa. “Oke, pendarahan di luar sudah aman.” Julian baru selesai menjahit, baru saja meletakkan jarum. Ditia yang sejak tadi membantu tiba-tiba terfokus pada perut Jena. Ada luka lebam membiru di d**a bagian bawah. “Dok, ada lebam di d**a,” katanya kemudian. Ekor mata Julian melihat kemeja yang dibuka Ditia, lebam di perut atas sisi kiri langsung terlihat cukup jelas. Dia memeriksanya sebentar, sebelum akhirnya fokus matanya teralihkan pada lutut bagian kiri. Kening Julian langsung berkerut, kedua alisnya hampir menyatu. “Dit, kita butuh MRI,” ucap Julian pada Ditia kemudian. Ners muda itu belum sempat menjawab, tiba-tiba suara bariton terdengar dari arah pintu, “Sefatal apa sampai perlu MRI?” Seorang pria tinggi semampai berjalan mendekat. Sebelum pergi menghampiri bed, ia sempat melepas jaket, lalu mengambil hand sanitizer, mengusapnya ke seluruh permukaan tangan. “Cedera kepala, anterior cruciate ligament, sepertinya, ada tulang rusuk yang patah juga.” Sambil memakai handscoon, Dante mengangguk sejenak, lalu berjalan mendekati bed resusitasi hendak melihat kondisi pasien. Betapa terkejutnya Dante saat melihat Jena terbaring tak berdaya di atas brankar. Tubuhnya kurus kering, matanya cekung dengan lingkaran hitam di sekelilingnya. Atensi dante terarah pada baju Jena yang penuh darah, serta luka di kepala yang baru saja selesai di jahit. Seperti baru saja mendapat serangan dadakan, manik coklatnya langsung membulat, tubuhnya gemetar hebat sampai seluruh sendinya lemas. Dante hilang keseimbangan, tubuhnya terhuyung ke belakang, nyaris saja jatuh. Beruntung Vino cukup cekatan, langkahnya panjang menghampiri Dante dan langsung menahannya. “Dok, nggak papa?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN