Upaya Penyelamatan

952 Kata
Dante menggeleng, seakan mengatakan jika dirinya baik-baik saja. Padahal kenyataannya tidak. Melihat wanita yang pernah mengisi hatinya selama beberapa tahun terbaring dengan kondisi memperhatikan, hatinya mendadak sakit. Dalam diam, Dante mencoba berspekulasi sendiri atas apa yang terjadi pada Jena. Sungguh, dirinya tak habis pikir. Jena dulu terlihat terawat, tubuhnya berisi dan – bisa dibilang cukup sexy, tapi tubuh yang terbaring di sana hanya menyisakan tulang dan kulit. “Kondisi pasien menurun!” teriakan Ditia kontan membuyarkan lamunannya. Tak lama kemudian, bunyi ‘TIIT’ beruntun dari alarm yang menyala terdengar nyaring memecah keheningan. Gelombang mirip gigi hiu berlarian cepat tergambar di layar monitor Elektrokardiogram. “Kadar oksigennya turun, Dok!” Kehebohan yang terjadi membuat Dante buru-buru menyadarkan pikirannya. Setelah mengerjap, dia berlari mengambil laringoskop, mendongakkan kepala Jena ke atas, bersiap untuk melakukan intubasi. “Vin, transfusi darah dua kantong, pasang satu line di tangan kanan juga.” Julian menginterupsi. Setelah mendapatkan transfusi darah dan beberapa obat penunjang, keadaan Jena mulai stabil. Tekanan darah dan nadinya sudah berada di batas ambang stabil, begitu juga saturasi oksigennya yang sempat turun. Meski kondisinya sudah sedikit membaik, Jena tetap harus mendapatkan penanganan segera. Cedera di kepalanya terbilang cukup parah, belum lagi ada indikasi tulang rusuknya patah. “Dia nggak bisa ditangani di sini. Alat kita gak memadai.” Julian mencoba bernegosiasi dengan Dante terkait kondisi rumah sakit mereka. Dante tahu. Rumah Sakit Pelita bukan rumah sakit besar, alat medis disini tidak cukup lengkap untuk menangani Jena. Mau tidak mau, mereka harus merujuk ke rumah sakit terdekat. “Masalahnya, kondisi dia nggak begitu stabil. Aku nggak yakin kalau dibawa ke Royal Novena, dia bisa bertahan.” Dante tertegun sejenak, memaksa otaknya yang sudah lelah bekerja seharian kembali berpikir. Sampai akhirnya, satu nama muncul dalam kepalanya. Erga Rahardan. Profesor sekaligus dokter profesional yang pernah mengajaknya bergabung sebagai dokter tetap di rumah sakit JCI, dulu. “Dit, telpon JCI. Rujuk pasien ke sana.” Dante menoleh sekilas pada Ditia. “Siapkan hasil medisnya juga, aku akan menghubungi seseorang.” Demi bisa menyerahkan Jena pada orang yang tepat, Dante rela mengulum rasa malunya. Menghubungi seorang pria paruh baya yang dulu pernah dia tolak dengan tegas, Erga Rahardan. “Prof, saya tahu ini tiba-tiba, tapi saya ingin meminta bantuan Anda,” ucap Dante tanpa basa basi. “Tolong, pimpin operasi pasien dengan suspect head injury, MCL dan ACL, serta fraktur iga, yang kemungkinan ada pendarahan juga.” “Bukan hal sulit, tapi beri aku satu alasan masuk akal, kenapa aku harus melakukan itu,” tegas Erga. Dante tak banyak berpikir dan langsung menjawab, “Saya ingin dia hidup. Dia … berhutang penjelasan pada saya.” Hening, Erga tak langsung memberi jawaban. Namun sepersekian detik kemudian, demi rasa kemanusiaan, dia setuju dan menyuruh Dante segera membawanya. Betapa leganya dia, usai mendengar Erga menyanggupi permintaannya. Tanpa mengulur waktu, Dante di temani Vino segera membawa Jena ke JCI begitu berkas siap. Di dalam ambulan, Vino sesekali melirik, memperhatikan gurat kekhawatiran yang tidak pernah diperlihatkan Dante. Bertahun-tahun mereka saling mengenal, Dante selalu mengatur ekspresinya, tapi kali ini dia seolah lupa caranya berpura-pura. Tak heran hal itu menarik perhatian Vino sampai membuatnya bertanya, “Dokter kenal ya?” Dante mengangguk, tangannya terulur membetulkan selimut yang melorot. Gurat sedih nampak nyata di wajah tampannya, bercampur dengan emosi samar. Setelah mendapatkan jawaban, Vino tidak bertanya lagi. Menggulung semua rasa penasaran dan menyimpannya rapat-rapat. - Mobil ambulance yang mereka naiki belum berhenti sempurna, tapi para petugas medis sudah berdiri di depan pintu IGD. Sepertinya Profesor Erga sudah memerintah mereka untuk bersiap. Begitu brankar diturunkan perlahan dari ambulan, mereka langsung membawa Jena untuk pemeriksaan lanjutan. “Dok, hasilnya sudah ada.” Suara perawat membuat tim OK yang dibentuk dadakan, juga Erga dan Dante langsung berkumpul mengitari layar monitor untuk melihat hasil pemeriksaan. “Cedera kepalanya cukup berat, ada pendarahan, tapi tidak fatal. Justru ….” Erga menunjuk bagian d**a dengan penanya. “Ini … dua tulang rusuknya patah, pendarahan juga. Kaki kiri ACL dan MCL.” Seorang dokter bedah tulang dan saraf menjawab, “Selesaikan tulang rusuk lebih dulu. ACL dan MCL bisa di jadwalkan pada operasi kedua setelah keadaannya stabil.” Erga menganggukan kepalanya. “Oke, kita selesaikan pendarahan di kepala, setelah itu baru urus tulang rusuknya,” ucap Erga mengambil keputusan. Tidak mau membuang banyak waktu, para Tim OK langsung bersiap begitu Jena selesai di bius. Sesuai skema penyelamatan sebelumnya, yang pertama mereka urus adalah luka di kepala. Hampir dua jam lamanya mereka berjibaku, semua berjalan dengan lancar tanpa kendali. Namun saat tindakan kedua diambil oleh dokter bedah thorax, situasi menjadi tegang. “Pendarahan di area perut lebih banyak daripada kepala. Ada kemungkinan pasien mengalami shock, jadi bersiaplah!” Rehan mengintruksi sambil melirik dua asisten yang memegang alat hisap. “Oke, ayo mulai!” Tangannya menengadah, meminta pisau bedah. “Mess!” Lalu mulai menyayat bagian bawah d**a sebelah kiri, membentuk garis horisontal sepanjang 8 centi. “Suction!” teriaknya sedikit lantang saat darah menyembur deras berasal dari sayatan. Rehan dan asisten serta ners langsung sibuk menyedot darah yang menyembur. Sialnya, hal yang ditakutkan Rehan benar-benar terjadi. Kondisi Jena mulai menurun, nyaris diambang batas aman. Satu-satunya yang bisa ia lakukan hanya bergerak secepat mungkin, jika tidak ingin kondisi pasiennya lebih fatal lagi. “Peras kantong darahnya!” Rehan kembali memerintah sambil terus fokus mencari sumber pendarahan. “Tambah alat sedotnya, juga!” “Rafli, bantu pakai kasa. Pakai yang banyak!” “60 per 50, nadi melambat, Dok!” teriak asisten. Rehan tak menjawab, tangannya sibuk melihat titik pendarahan yang terjadi akibat patahan tulang rusuk melukai organ dalam. Hanya saja, kondisi Jena yang semakin turun membuat fokus nya sedikit terbagi. Sampai bunyi BIB panjang menggema. “IOCA! Detak jantung pasien berhenti!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN