“IOCA! Detak jantung pasien berhenti!”
“CPR!” teriak Erga lantang. “Kompresi 30 kali. Siapkan AED (automated external defibrillator) setting 150 joule.”
Hanya dalam sepersekian detik, suasana berubah tegang. Para Tim Ok berjibaku mencoba mengembalikan detak jantung Jena yang sempat terhenti.
Erga mengambil pedal, asisten disebelah cekatan menuang jelly ke dua sisinya. Lalu menggosokkan kedua panelnya sambil memberi instruksi. “Stop kompresi, semua lepas tangan!”
“I’m clear. Everybody clear?” Erga berteriak. Tangannya memegang alat kejut jantung yang siap di tempel ke d**a Jena. Membuat semua orang kompak menjauh dari pasien.
“Clear!” jawab mereka kompak.
Begitu defibrilator dengan daya 150 joule di tempelkan, tubuh Jena kontan terlonjak. Seorang asisten langsung mendekat, mengecek denyut nadi. Sayang, kondisinya masih belum membaik.
“Kompresi 30, 5 siklus!”
Pemandangan kacau di depan Dante kontan membuat matanya membulat penuh. Perasaannya seketika kacau, mirip dengan situasi di ruang OK saat itu. Jantungnya berdegup tak beraturan, perasaannya tidak enak.
Sudah lebih dari 2 menit Dante menatap para Tim OK yang bergantian melakukan kompresi juga defibrilasi, tapi sudah selama itu perubahan belum terlihat.
Namun Dante tidak putus asa dan pasrah begitu saja. Segera ia mendekat ke ranjang, menggantikan ners yang sejak tadi melakukan kompresi.
“Saya ambil alih!” katanya.
“Kompresi 30, 5 siklus.” Sambil mengunci kedua tangannya di atas d**a, Dante mulai menekan d**a secara teratur.
“Nggak, kamu nggak boleh mati! Nggak boleh!” gumamnya lirih.
Disisi lain, fokus Rehan masih terpaut pada luka pada organ dalam yang menjadi sumber pendarahan. Dia langsung menjahitnya begitu dapat, dan pendarahan berhasil ditangani. Namun sayang, keadaan Jena belum juga membaik.
“Naikan 200 joule!” Erga berteriak sambil memegang pedal defibrillator. “Stop RJP. Semua menjauh!” Instruksinya lantang.
“I’m Clear. Everybody clear?” Mereka semua menjauh dari bed, membiarkan Erga yang mengambil alih.
“Clear,” sahut mereka kompak.
Tubuh Jena kembali terlonjak keras saat alat kejut jantung sekali lagi mendarat di tempat yang sama. Salah seorang asisten mencoba memeriksa denyut nadi di leher, tapi belum terasa apapun. Nihil.
Beberapa dari mereka mulai saling pandang sambil menggelengkan kepala, tapi Dante masih belum menyerah. Sekali lagi pria itu naik ke atas bed, berusaha mengembalikan detak jantung.
“Cukup, Dan,” ucap Erga berusaha menghentikan.
Namun Dante menggeleng, menolak perintah Erga selaku kepala Tim OK. Saat itu keinginannya hanya mengembalikan detak jantung jena. Membuat wanita itu tetap hidup, agar dia bisa menuntut pertanggung jawaban padanya .
“Bangun, berjuanglah bodoh. Kau masih berhutang penjelasan padaku, aku masih belum balas dendam padamu! Bangun!”
“JENA SARASWATI!”
-
-
-
-
BIB … BIB …
Tiba-tiba terdengar perubahan suara di monitor. Garis yang semula lurus menunjukkan fungsi jantung telah berhenti berdetak, tiba-tiba menunjukkan perubahan.
Bersamaan dengan itu, sinus pada layar juga menunjukkan pergerakan naik turun, iramanya stabil, menandakan Jena telah kembali. Sekali lagi, dia berhasil kembali dari ambang kematian.
Seorang asisten buru-buru mengecek denyut nadi di leher Jena, hentakannya terasa pelan dan lemah.
“ROSC! Dia kembali! Dia kembali!”
Berhasil. Akhirnya usaha mereka mengembalikan denyut jantung Jena membuahkan hasil. Ini semua juga tak lepas dari keras kepala Dante yang sempat menolak menghentikan RJP.
Suasana di ruang OK yang sempat tegang seketika berubah. Wajah panik mereka berganti dengan saling melempar senyum lega. Rehan selaku dokter bedah thorax langsung mengambil alih begitu detak jantungnya kembali, memanfaatkan waktu yang tersisa untuk mengurus tulang rusuk Jena yang patah.
Sedangkan dokter Erga membawa Dante yang terkulai lemas dengan napas tak beraturan itu ke sudut ruangan. Memastikan pria itu mengatur napas dan ekspresinya dengan baik.
“Selesai. Kita jadwalkan operasi kedua setelah kondisinya stabil.” Regan mengangkat kedua tangannya sejajar dengan pundak, menandakan operasi telah selesai.
Mendengar itu, semua orang di ruang OK kompak menghela napas lega, tapi anehnya Dante tidak melakukannya. Entah apa yang membuatnya begitu. Tanpa bicara apapun, dia keluar lebih dulu. Pergi ke toilet untuk membasuh muka.
“b******k! Sialan!” Emosinya tiba-tiba meluap. Matanya nyalang menatap cermin, rahangnya mengeras sampai urat lehernya terlihat jelas.
Bayang-bayang sosok Jena yang terbaring di atas brankar dengan tubuh kurus kering nyaris seperti tengkorak hidup, terus menghantuinya. Wajah dengan pipi tirus dan mata cekung yang dia lihat tadi ... sungguh, siapapun yang melihat Jena pasti mengira wanita itu kekurangan gizi. Sama, Dante pun berpikir demikian tadi.
“Padahal kamu mencampakanku dengan kejam. Lebih memilih pria lain daripada aku, bukankah seharusnya hidupmu enak. Tapi kenapa! Kenapa kamu datang dengan tubuh yang tidak terawat seperti itu!”
Dante sangat ingin berteriak, mengeluarkan sesak dalam d**a, menyalurkan emosi yang mengganggu akal sehatnya. Namun dia menahannya, dan hanya bisa meninju tembok sebagai gantinya.
“Harusnya kau bahagia! Harusnya kau hidup dengan baik, sialan!”