Sudah terhitung tiga hari sejak operasi pertamanya selesai. Jena juga sudah membuka matanya beberapa kali, tapi hanya sebentar, itu juga tidak lebih dari dua sampai lima menit. Meski hanya sebentar, Prof Erga menjelaskan jika itu bukan situasi yang buruk.
Respon tubuh seseorang memang berbeda-beda usai operasi, apalagi yang dilakukan Jena termasuk operasi besar. Dante juga paham dengan kondisi ini, karena itu, dia tidak panik saat Jena tidak menyadari keberadaannya.
Meski begitu, Dante tetap menunggu kesadarannya pulih sepenuhnya. Seperti yang sudah-sudah, Dante duduk di kursi, tepat di samping bed. Sorot matanya lurus menatap tubuh mantan kekasihnya yang terbaring di sana.
“Lihat, ninggalin aku gitu aja, harusnya kamu hidup bahagia kan? Tapi apa, kau malah datang memamerkan kondisimu yang sekarat itu padaku. Mentang-mentang aku ini seorang dokter, hah?!”
Dante ingin mengumpat Jena sebenarnya, mumpung dia masih belum sadar. Namun sisi kemanusiaan melarangnya. Hati nuraninya masih utuh, belum dilempar untuk makanan anjing. Padahal dia sedang berhadapan dengan masa lalunya.
HUH! Dante menghela napas kasar.
Kenangan lama tiba-tiba terlintas sesaat dalam memori. Diingat-ingat Jena dulu cukup cantik saat menjadi mahasiswa baru di kampus. Tubuhnya padat berisi, tidak over. Cukup ideal dengan tingginya.
Rambutnya yang kecoklatan pun begitu, sehat berkilau layaknya bintang iklan shampo. Serta kulit putihnya yang selalu terlihat bercahaya di bawah sinar mentari. Sungguh, dia cantik di mata siapapun yang melihat.
Namun apa yang Dante lihat sekarang berbanding terbalik.
Dalam lamunan singkatnya, Dante melihat mata Jena perlahan terbuka. Dia mengerjap, berusaha menetralkan mata yang baru terbias cahaya lampu.
Melihat Jena sadar, Dante sempat tersenyum. Hanya sesaat, sebelum akhirnya dia merubah garis sudut bibirnya dan bangkit berdiri.
“Kau bangun?” Ini adalah kalimat sama yang selalu diucapkan Dante tiap kali Jena membuka mata. Meski dia tahu jika ada kemungkinan jika itu hanya kesadaran sesaat.
Tapi kali ini berbeda. Jena benar-benar sadar. Otak dan pikirannya langsung berfungsi begitu ia membuka mata.
Alih-alih merasakan nyeri berdenyut di bekas jahitan, Jena justru terfokus pada sosok pria di sampingnya. Pria itu duduk dengan tenang, otot-ototnya menyembul dibalik kaos hitam yang dia kenakan.
Dia tertegun, kaget pasti. Sama seperti Dante yang juga kaget melihatnya terbaring tak berdaya bersimbah darah beberapa hari lalu.
Jena sudah membuka mulutnya sedikit, hendak mengatakan sesuatu. Namun kondisinya yang lemah, serta pikirannya yang kacau membuat tenggorokannya cekat sampai susah berkata-kata.
Sudah sadar sepenuhnya ternyata.
Hela napas Dante terdengar, sebelum akhirnya ia mengambil segelas air. Kemudian menaikkan bed bagian atas dan membantu Jena minum.
“Kamu ada di rumah sakit,” katanya menjelaskan tanpa menunggu ditanya.
“Rumah sakit?”
“Ada yang menemukanmu tergeletak di pinggir jalan.”
Tertegun, Jena mencoba mengingat apa yang sudah terjadi padanya. Kepingan ingatan pun muncul, menyatu menjadi ingatan utuh tanpa ada yang terpotong. Jantung Jena langsung bergemuruh begitu ingat apa yang sudah dilakukan sang suami pada dirinya.
“Sudah ingat?”
Pertanyaan dari mulut Dante membuyarkan emosi sesaatnya. Jena menoleh, menatap pria yang kembali duduk di kursi. Bersumpah demi apapun, pikirannya kacau saat itu.
Terjebak diantara ingatan perlakuan sang suami, keberadaannya di rumah sakit, dan kini … dengan pria masa lalu yang pernah dia tinggalkan.
Bagaimana bisa dia bertemu dengannya disini, dengan kondisi seperti ini?
Jena bertanya-tanya dalam hati, tapi tak kunjung mendapatkan jawaban. Atensinya malah teralihkan pada Dante, terutama perubahan pada fisik dan tatapannya.
Meski sudah lima tahun tidak bertemu, Jena ingat betul seperti apa sosok Dante. Bentuk tubuhnya, tatapan teduhnya, gaya bicaranya yang terkesan dingin tapi penuh perhatian. Jena ingat betul.
Tapi yang ada di hadapannya seperti orang lain, bukan Dante.
Semakin lama menatap sorot mata tajam nan dingin pria itu, jiwa Jena seolah tenggelam dalam rasa takut. Tubuhnya tiba-tiba meremang, entah karena takut atau ada alasan lain. Tapi tubuhnya yang reflek membuang pandangannya seakan memperingatkan dirinya untuk berjaga-jaga.
“Aku jatuh,” jawabnya singkat.
Menyerngit, Dante menatap kebohongan yang tercetak jelas di wajah Jena. Dia bangkit dari duduknya, mendekat ke arah Jena. Lalu menundukkan sedikit tubuhnya, dan berbisik dengan suara bariton sedikit berat, “Kau masih sama seperti dulu, ya. Penuh dusta!”
Setelah mengatakan itu, dia menegakkan kembali tubuhnya, menatap Jena yang terlihat tenang. Iya, benar-benar tenang, padahal Dante sudah menyindirnya seperti itu.
“Pendarahan di kepala, dua tulang rusuk patah, dan urat tendon putus.” Dante menjeda ucapannya sejenak, menatap dua manik mata Jena yang membola.
“Kamu kira sekedar jatuh bisa dapat luka sefatal itu? Kau hampir mati di meja operasi, tahu nggak!” Nada Dante meninggi, emosinya sedikit tersulut.
Bisa-bisanya dia berbohong menutupi kondisinya yang separah itu pada seorang dokter, bukankah dia mengejekku secara terang-terangan?
Melihat reaksi Jena yang se-kaget itu, Dante sedikit mengendur. Mungkin Jena sendiri tidak sadar keadaannya bisa separah itu, begitu pikirnya. Apa lagi, Jena tidak mengatakan apapun begitu tahu dia hampir mati.
Hela napas panjang Dante terdengar samar. Kemudian ia merogoh saku mengambil ponsel dan melemparkannya ke ranjang, “Hubungi suamimu! Kau butuh wali.”
Setelah berkata ketus seperti itu, dia pergi, membiarkan Jena sendirian di kamar. Niatnya hanya pergi sebentar memanggil perawat, lalu membeli secangkir kopi dan menenangkan diri sejenak. Dante benar-benar jengkel sepertinya.
Namun begitu ia kembali usai membeli kopi, telinganya justru menangkap pembicaraan para ners yang menyebut nama Jena.
“Apa? Siapa?” Dante buru-buru mendekat.
“Oh, ini dok.” Salah satu ners langsung menyodorkan ponselnya.
“Dua hari lalu suaminya melapor, katanya istrinya hilang. Hari ini polisi mengumumkan kabar perampokan dan pembunuhan,” jelasnya kemudian.
“Tapi spekulasi aku sih, dia dibunuh suaminya sendiri. Terus mayatnya dibuang entah kemana. Kasus kayak gini tuh ….”
Dante sibuk membaca, tidak mempedulikan omongan mereka. Bahkan spekulasi yang kemungkinan benar itu juga diabaikan. Manik matanya terus menatap ponsel, membaca nama yang tertera disana.
- - Jena Saraswati, perempuan berumur 27 tahun itu dinyatakan hilang, sesuai dengan pengakuan dan laporan dari suaminya, Abimayu. - -
Menghilang apanya, jelas-jelas wanita itu ditemukan dipinggir jalan dengan keadaan sekarat.
Netra mata Dante melebar, firasatnya mendadak buruk. Lalu tanpa banyak kata, dia buru-buru berlari kembali ke kamar. Disana, televisi sudah menyala dan tengah menyiarkan sebuah berita. Sedangkan Jena terlihat berdiri di ujung jendela dibantu dengan dua tongkat penyangga.
“Bodoh! Apa yang kau lakukan?”