“Bodoh, apa yang kau lakukan?”
Mendengar suara Dante, Jena buru-buru menyeka air matanya. Lalu berbalik, menatap Dante berdiri di ambang pintu dengan napas terengah-engah. Belum sempat merespon apapun, Dante lebih dulu mendatanginya. Dengan cepat menarik tangan Jena, menjauhkannya dari jendela.
“Susah payah membuatmu tetap hidup, tapi kau malah ingin mengakhirinya!”
Jena tertegun, bingung mencerna perkataan Dante. Mengakhiri apa? Dia hanya berniat menghirup udara segar agar isi pikirannya tak semrawut. Iya, hanya itu saja. Tapi siapa yang menduga jika tindakannya disalah artikan.
“A-apa?” tanya Jena heran. Agak gugup juga tentunya, apalagi saat dia tak sengaja menatap mata tajam pria itu. “Aku cuma cari udara segar aja, kok,” jelasnya.
Satu alis Dante kontan terangkat, manik matanya terfokus pada infus yang masih menancap di tangan Jena.
Bodoh. Bisa-bisanya Dante berpikir Jena ingin bunuh diri.
Buru-buru ia melepas tangan Jena. Agak canggung lantaran sudah salah paham. Tapi pria itu enggan mengakuinya, dan mencoba mengalihkan topik.
“Kamu baru aja sadarkan diri, nggak boleh jalan tanpa pendamping.” Begitu alasan yang didengar Jena.
“Aku dibantu perawat. Dia juga yang bantu nyalain televisi. Katanya takut aku bosan.” Jena mengalihkan manik manik matanya ke tempat lain. Seakan segan menatapnya.
Ternyata setelah Dante pergi, seorang perawat datang untuk memeriksa keadaannya. Entah mengapa, Jena yang penasaran mendadak menanyakan alasan keberadaan Dante.
“Dokter Dante ya. Kebetulan beliau yang merujuk Kakak ke sini. Oh … beliau juga ikut masuk ke ruang operasi loh, Kak. Dengar-dengar sih, peran beliau di sana cukup penting.”
Begitulah jawaban dari suster beberapa menit lalu, yang terus terngiang di kepala Jena. Entah mengapa, setelah mendengar jawaban itu, pikirannya jadi makin kacau.
Disaat sakit hatinya atas perlakuan Abi masih menghujam perasaannya, kini, dia malah berurusan dengan pria masa lalu yang paling tidak ingin ia temui. Bahkan pria itu berperan besar dalam operasinya.
Agak lucu menurutnya, rupanya takdir benar-benar ingin mempermainkan dirinya sampai di titik terendahnya. Jena sampai tidak punya muka berhadapan dengan Dante.
Malu, dia yang sejak dulu menjunjung tinggi harga dirinya merasa sedang di permalukan secara tidak langsung.
Keadaan hening sejenak, menyisakan suara berita di televisi yang samar-samar masuk telinga keduanya. Sampai, suara seorang pria di televisi yang menyebut nama lengkap Jena dan membuat atensi keduanya teralihkan.
“Benar, kami menemukan adanya indikasi perampokan dalam kasus ini. Sejauh ini penyelidikan masih berlanjut, jika benar mengarah ke pembunuhan kita akan konfirmasi. Yang penting menemukan korban JS lebih dulu.”
Tak lama setelah pihak kepolisian menjelaskan, kamera terarah pada seorang pria. Benar, itu adalah Abi, yang sekarang sedang diwawancarai bak artis.
“Saya tidak tahu bagaimana. Saat itu saya sedang keluar kota mengambil job kerja, istri saya di rumah sendiri. Malamnya saya coba hubungi, tapi tidak ada jawaban. Besoknya juga. Entah feeling atau apa, saya memutuskan pulang. Tapi begitu sampai di rumah … rumah sudah … dia sudah tidak ada.”
Mendengar suaminya mengatakan itu, jantung Jena langsung bergemuruh. Dadanya panas, seolah ada api yang berkobar di dalamnya.
Iblis macam apa yang dia nikahi selama satu tahun ini? Hebat sekali pria itu bersandiwara di depan publik sambil memamerkan wajah sedihnya. Padahal dunia dan isinya tahu, dialah dalang dibalik menghilangnya sang istri.
Napas Jena semakin lama semakin sesak. Hatinya sakit, seluruh tubuhnya juga. Bahkan bekas jahitan di d**a dan kepalanya ikut-ikutan berdenyut nyeri, menambah deritanya.
Sambil menahan emosinya yang hampir mencapai ubun-ubun, Jena mencoba mengambil napas dalam. Tangannya reflek memegangi bekas jahitan di d**a. Sayangnya, pada batas itu pertahannya luruh. Air matanya tumpah tanpa bisa dikendalikan.
Melihat Jena yang sejak dulu selalu menjunjung tinggi harga dirinya sedang diri menangis tersedu-sedu, di depan pria yang pernah dia campakan, Dante seakan bisa menebak alur permasalahan tanpa bertanya.
Dan atas dasar kesimpulan singkatnya itu, Dante tiba-tiba bicara, “Mau balas dendam? Aku bisa bantu kamu!” Se-enteng itu mulutnya terbuka, sampai tidak peduli Jena sedang menangis sesenggukan.
Tak heran jika Jena sampai kaget dan langsung melemparkan tatapan nyalang pada Dante. “Wah, kamu lagi ngejek aku?” sergahnya kemudian.
“Enggak. Aku lagi nawarin kamu,” jawab Dante masih dengan nada se-enteng sebelumnya.
“Kutebak … kamu juga ada niat balas dendam. Luka mu cukup parah, bahkan nyaris meregang nyawa di meja operasi. Mana mungkin nggak —”
“Gak perlu!” potong Jena sebelum Dante meneruskan kalimatnya.
Mendengar Dante menawarkan bantuan seperti itu dengan gampangnya, Jena seakan sedang di olok-olok secara tidak langsung.
Bagaimana tidak, Jena pernah mencampakannya dengan kejam, bahkan dirinya tahu jika Dante begitu membencinya. Lantas, alasan apa yang Dante punya untuk membantunya balas dendam?
Bukankah dia sedang meledek jika ‘Jena baru saja mendapat karma’ atas perbuatannya dulu. Dan kini, dia dicampakan dan dibunuh suaminya sendiri, sampai se-menyedihkan itu.
“Gak perlu buru-buru jawab,” celetuk Dante. “Aku cuman mau bilang, kamu gak akan menemukan alasan selain menerima tawaranku.”
Dante tiba-tiba menyipitkan mata, lalu menarik garis bibirnya samar. Benar-benar senyuman samar, tapi entah mengapa Jena mendadak bergidik ngeri.
“Jena Saraswati dinyatakan hilang, walaupun kembali, belum tentu polisi percaya dengan laporanmu. Bisa saja suami bodohmu itu bermain sandiwara seperti tadi, benar kan?”
Tercekat. Jena sampai tidak bisa berkata-kata lagi. Dante memang peka dan pandai menilai situasi sejak dulu. Hanya mendengar berita dan melihat luka-luka di tubuh Jena saja, dia langsung menarik kesimpulan yang nyaris benar.
“Katakan, apa imbalannya. Di dunia ini gak ada bantuan yang gratis!” tegas Jena.
“Jadi pacar kontrakku. Anggap itu sebagai balasan atas jasaku membantumu.”
Lagi-lagi mulut Dante enteng sekali terbuka. Netra mata Jena sampai membola dibuatnya. Antara kaget, juga heran. Kenapa, apa alasannya sampai harus menjadi ‘pacar kontrak’, bukankah pria itu membencinya?
Belum sempat Jena memikirkan alasan dibalik tawaran Dante dengan kepala dingin, pria itu sudah lebih dulu membuka mulut, “Ngak masalah juga kalau ngak mau. Kebetulan namamu belum terdaftar sebagai pasien. Biar aku daftarkan sekalian telpon polisi!”
“Oke!” jawab Jena tanpa pikir panjang. “Oke, aku mau. Bantu aku balas dendam padanya!”
Terdesak, Jena tidak punya waktu berpikir lebih lama lagi, juga tidak punya pilihan lain selain menerima tawarannya. Persetan soal harga diri yang dijunjung setinggi langit, persetan juga dengan konsekuensi yang akan dia hadapi nanti.
Baginya, balas dendamnya pada Abi dan selingkuhannya lebih penting dari apapun. Rasa sakit yang dia rasakan juga perlu dituntut balik, dan tawaran Dante datang disaat yang tepat.
“Bagus,” ucap Dante kemudian.
“Masalah proses balas dendamnya, aku mau atur sendiri gimana caranya,” ungkap Jena tanpa basa basi.
“Nggak masalah.”
“Baiklah, berhubung kita sudah sepakat, tolong amankan salah satu barang bukti juga.”
Mendengar adanya barang bukti, atensi Dante langsung berpindah. Telinganya seketika di tajamnya, berusaha mendengarkan dengan baik tanpa melewatkan apapun.
“Dari tempatku ditemukan … mungkin sekitar dua kilometer. Ada belokan tajam ke kanan, sisi satunya tebing tinggi, dan satu sisi lagi jurang. Jurangnya gak terlalu curam, sedikit landai.” Jena menjelaskan titik dimana dia dibuang sejauh yang ia bisa ingat.
“Disana, tolong cari koper besar. Lalu bungkus rapi agar sidik jarinya tidak hilang.”