Kebiasaannya masih sama

1097 Kata
Kening Dante langsung mengerut, nyaris menautkan kedua alisnya. Benar, Dante memang membencinya, tapi tidak sebenci yang tergambar di kepala Jena Saraswati. Nyaris 5 tahun dia hidup dengan banyak asumsi tak berdasar. Menerka nerka alasan sang kekasih yang pergi begitu saja tanpa penjelasan. Dia hampir gila, mencari Jena dengan susah payah. Namun begitu ia menemukannya, wanita itu dengan gampangnya bicara jika dia telah jatuh cinta pada pria lain dan akan menikah dengannya. Brengsek sekali kan? Semudah itu Jena menistakan cinta dan perasaan Dante dulu. Dante sempat menghela napas panjang, lalu membalik semua pertanyaan Jena. “Menurutmu, apa alasan di balik tawaranku?” Selangkah demi selangkah dia mendekat, membuat membuat Jena mundur dan terpojok pada dinding besi di dalam lift. “Kalau menurutmu itu nggak sebanding, gimana kalau kita bicarakan hal yang sebanding aja?” Hingga jarak sekelumit di antara mereka hanya menyisakan satu jengkal, Dante meneruskan kalimatnya, “Seperti pemikiran mu sebelum ini, bagaimana jika diganti dengan layanan ranjang? Kayaknya, itu sudah cukup setimpal kan?” DEGH Jawaban Dante seketika membuat Jena tertegun, diam, tidak mampu mengelak. Agaknya, pertanyaan yang ia ajukan sudah menjerumuskan dirinya sendiri ke dalam lubang neraka. Langsung membuatnya diam tak berdaya. Seolah kehabisan kata-kata untuk menyangkal. Melihat Jena tak lagi berbicara, Dante mundur selangkah, kemudian melipat kedua tangannya ke d**a. “Aku memberimu sesuatu yang mudah, malah dibilang nggak sebanding.” Jika dibilang tidak sebanding, ya, memang agak kurang sebanding juga. Belum apa-apa, Jena sudah menghabiskan lebih dari 15 juta hanya untuk membeli ponsel dan satu set baju. Setelah ini, mungkin akan menghabiskan lebih banyak lagi. Bila dibandingkan gaji pembantu yang pekerjaannya begitu begitu saja, jelas tidak sebanding. Jena jadi segan jika ingin melakukan sesuatu. Tapi kalau sampai membayarnya dengan layanan ranjang … dia juga akan menolak mentah-mentah. Memang semurah apa dirinya, terlebih pria itu sudah beristri. “Aku … cuma penasaran alasanmu,” jawab Jena sambil menundukkan kepalanya, tidak berani menatap wajah Dante. “Alasan, ya? Kenapa para wanita selalu meributkan itu? Saat mencampakanku dulu, kau juga tidak memberiku alasan, kan?” Jena menengadah, menatap Dante dengan mata berkaca-kaca, lalu berbicara dengan nada sedikit naik 1 oktaf, “Jadi, kamu berniat balas dendam, begitu!” Kedua pelupuk matanya penuh, air matanya nyaris meluap, tapi Jena langsung membuang muka dan menyekanya. Entah mengapa, hati Dante mendadak tak nyaman. Napasnya jadi berat. Seakan terperangkap dalam ruangan sempit, tanpa ada jendela ataupun ventilasi udara. Sekali lagi keningnya berkerut, matanya menyipit, tajam menatap Jena yang langsung membuang muka. TING Suara pintu lift yang terbuka membuyarkan pembicaraan serta ketegangan yang sempat mencuat. Juga, rasa engap yang mendera Dante. Buru-buru melangkah keluar lebih dulu, Dante mengambil napas dalam-dalam, mengurai sesak dalam d**a yang sempat menyiksa. Begitu melihat Jena keluar, barulah ia melanjutkan langkah kakinya, diikuti Jena di belakang. Unit apartemen Dante berada di paling sudut, dan terlihat lebih lebar dari unit lain. “21412. Ingat kodenya baik-baik,” desis Dante sambil menekan kode pada smart key. Jena hanya mengangguk singkat. Lalu mulai fokus memperhatikan bagian dalam rumah begitu pintu terbuka. Sederhana dan bersih. Adalah dua kesan yang pertama terlintas dalam pikiran Jena. Dari tempatnya berdiri, Jena bisa melihat dua pintu kamar yang letaknya tidak bersebelahan. Ada juga dapur, meja makan, dan ruang bersantai. Tidak ada banyak barang disana. Bingkai foto super besar, vas mahal atau bahkan sofa mewah, tidak ada yang seperti itu. Semua perabotannya terkesan sederhana, penataannya pun demikian. Sangat jauh berbanding terbalik dengan apartemen Dante di ibu kota. “Kamar mu disana, istirahatlah.” Dante menunjuk ke arah kamar utama, tepat di sebelah kabinet televisi. Jena mengangguk singkat, lalu buru-buru masuk ke dalam kamar. Segera menyembunyikan dirinya dibalik daun pintu yang baru saja ditutup. Sejak pembicaraannya di dalam lift, perasaan Jena sedikit kacau. Ada rasa segan yang tiba-tiba tercipta saat harus berhadapan dengan Dante. Padahal pria itu sejak tadi bersikap biasa saja, masih sama dingin dan sedikit acuh. Seolah pembicaraan tadi tidak pernah terjadi. “Ah! Dasar, pria jahat!” umpatnya lirih. Tiba-tiba mata dan hatinya terasa amat pedih. Sangat pedih sampai air matanya tumpah, terjun bebas tanpa kendali. Sudah lebih dari seminggu sejak dia sadar dan berhadapan dengan Dante. Sejak itu pula dia berusaha menahan diri untuk tidak menangis atau lemah di depan pria itu. Menata hati dan perasaan yang mendadak carut marut. Berhadapan kembali dengan cinta masa lalunya memang tidak mudah, tapi wanita itu bisa mengatasi ya dengan baik. Namun begitu Dante menyindir alasan Jena mencampakan dirinya, pertahanan wanita itu langsung luluh lantah begitu saja. “Memang karena siapa aku pergi! Dasar, dasar berengsek! Kamu sama menyebalkannya dengan dia!” Jena jatuh terduduk bersandar daun pintu. Tenggelam, dalam kemelut sesal tak berujung. Cinta yang sudah dia kubur susah payah, kini memberontak dan merangkak naik, muncul ke permukaan. Bersumpah demi apapun, Jena belum sepenuhnya melupakan Dante. Segala tentang pria itu, juga cinta yang dia punya, masih utuh tak berkurang sedikitpun. Lucu bukan, padahal dulu mati-matian mencampakkannya. Setelah puas mengurai sakit hatinya, Jena perlahan bangkit berdiri. Matanya mengedar perlahan, hendak mencari tisu atau apapun yang bisa mengusap ingusnya. Dilihatnya dekorasi kamar juga sederhana. Ranjang yang tidak terlalu besar, mini walk in closet yang bersebelahan dengan kamar mandi. Sangat rapi dan … wangi. Jena mengendus sedikit. Ada wangi musk yang bercampur dengan woody, samar-samar menyapa indra penciumannya. Rasa penasaran membawanya ke dalam walk in closet. Tepat di depan lemari pakaian. Entah kenapa, tangannya tiba-tiba bergerak membuka lemari. Wangi semerbaknya langsung menguar, menyapa kenangan lama. Di sana, Jena bisa melihat sederet kemeja tergantung rapi, diurutkan dari warna gelap ke terang. Salah satu kebiasaan Dante yang masih Jena ingat. Ah … air matanya kembali menetes. Jena menunduk, kemudian tertawa sumbang, menertawakan dirinya sendiri. Bagaimana bisa nasib mempertemukan mereka lagi dalam keadaan yang lebih rumit dari sebelumnya? “Dan, kamu nggak tau seberapa kerasnya aku melupakanmu? Bahkan sampai sekarang — ah, sakit sekali rasanya.” Dia menggigit bibir bawahnya, menutup pintu lemari dengan kasar, lalu segera merebahkan dirinya di atas ranjang. Mau disesali sampai menangis darah juga percuma, takdir memang kadang seenaknya mempermainkan seseorang. “Tempat ini penuh dengan bau nya.” Jena menutup mata dengan lengannya, “Pintar sekali kamu menyiksaku, Dan.” TING Hela napas Jena terdengar singkat dan kasar. Dia menoleh sedikit melihat pesan yang baru masuk. Satu nama muncul di layar pop-it beserta pesannya. “Aku ada urusan, pesan makan di bawah kalau lapar.” Urusan mendadak. Jena berdecak singkat. “Pergi ketemu istri ya. Pergi aja, kenapa pakai laporan.” Lalu dia kembali menutup mata dengan lengannya. Entah seberapa banyak dia menangis tadi, matanya terasa bengkak juga berat. Niatnya hanya menutup mata sejenak, kemudian memesan makanan. Entah mengapa, dia langsung tenggelam dalam alam mimpi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN