Mimpi Buruk Menyakitkan

1120 Kata
Disisi lain. Dante yang ditinggal Jena masuk ke kamar begitu saja, sempat menghela napas panjang. Lalu meletakkan beberapa barang di atas meja dan pergi. Tujuannya hanya pergi membeli makan, kemudian mengambil sisa barang di mobil yang sengaja ditinggal. Namun, sebuah panggilan masuk membuat niatnya terurungkan. “Iya, tunggu sebentar. Dua puluh menit lagi, aku sampai.” Begitulah akhirnya Dante mengetik pesan untuk Jena agar dia memesan makan di bawah. Tapi dia tidak tahu, Jena justru mengabaikan pesannya, tidak membuka, hanya membaca sekilas, dan langsung lelap dalam alam mimpi. Dante tidak berpikir Jena akan tidur dan mengira sudah memesan makanan. Bagaimana pun, dia masih ingat, Jena tidak akan betah menahan lapar. Wanita itu, pasti sudah memesan makanannya sendiri. Toh, Dante juga sudah mengisi dompet digital di ponsel Jena. Jadi, tidak akan masalah jika dia meninggalkannya sebentar. Iya, sebentar. Namun tak disangka, urusannya baru selesai saat malam menjelang. Nyaris pukul 8 malam dia baru sampai di apartemen. “Dia, pasti udah makan kan?” Dante mencoba menghubungi Jena, tapi sudah 3 kali panggilannya tak di jawab. Begitu keluar dari lift, dia melihat beberapa lampu koridor milik tetangganya sudah menyala, tapi di tempatnya belum menyala. Sedikit jengkel, dia mempercepat langkahnya. “Kalau nggak tahu saklar lampu, harusnya tanya. Ini pesan nggak dibales, telpon juga nggak —” Begitu membuka pintu, gumamnya terhenti. Tidak hanya lampu koridor yang belum menyala, bahkan lampu di dalam pun belum menyala. Kening Dante langsung mengerut, matanya tajam menelisik sekitar. Rumahnya masih rapi, tidak ada yang berubah, bahkan barang-barangnya masih ada di atas meja. “Hah, wanita ini.” Dante masih berdiri, mengurai kesal sambil menghela napas beberapa kali. Saat dia berjalan hendak menyalakan lampu, jeritan terdengar dari kamar utama. Buru-buru dia menerobos masuk tanpa mengetuk, beruntung kamarnya tidak dikunci. Manik matanya langsung terfokus pada Jena yang duduk di ranjang dengan keringat mengucur, nyaris membasahi blouse putih yang dikenakan. Tubuhnya gemetar, dan satu tangannya memegang bekas jahitan di dekat d**a. “Je—” “Dan ….” Suaranya terdengar lemah, nyaris tak terdengar. Jena menoleh ke ambang pintu, begitu melihat sosok Dante, tangisnya pecah. Meraung seolah sedang kesakitan, memamerkan air mata yang selama ini selalu dia sembunyikan. Dante tak berdaya, melihat wanita yang pernah dia cintai begitu hebat menangis tergugu sampai seperti itu. Pertahanannya runtuh seketika. Buru-buru dia mendekat dan langsung memeluk Jena. “It’s oke. Aku disini, aku disini.” Tanpa sungkan, Jena meneruskan tangisnya, seperti seorang anak kecil yang meraung-raung. Entah apa sebabnya, dia meninggalkan gengsinya, mengesampingkan harga diri yang selama ini dijunjung tinggi. Dante juga tidak bertanya apapun. Hanya fokus mengusap punggung Jena, membiarkannya mengeluarkan semua rasa yang membuatnya mengesampingkan gengsi dan rasa malunya. Setelah keadaan Jena membaik. Napasnya mulai teratur, keningnya tak lagi berkeringat, serta tubuhnya berhenti gemetar. Dia melepaskan perlahan tubuh Dante, dengan malu membuang muka. “So-sorry, bajumu jadi —” “Lukamu nggak sesakit itu sampai ditangisi,” sarkas Dante kontan membuat Jena menelan salivanya. Tanpa melihat seberapa kacaunya wajah Jena, pria itu bangkit berdiri, hendak mengambil kotak emergency di kabinet televisi. Melihat Dante berjalan keluar, Jena buru-buru mengambil tisu, membuang semua ingus dan mengusap matanya. Saat Dante kembali, wajah Jena sudah terkondisikan, tidak se-kacau sebelumnya. Pipi dan hidung yang semula basah sudah kering, hanya tinggal matanya yang masih bengkak. “Buka!” pinta Dante sambil menunjuk blouse dengan dagu. “Ke-kenapa?” “Kenapa? Kamu pikir aku buta, nggak lihat kamu dari tadi pegangin bekas jahitan.” Terdengar ketus, padahal sikapnya saat memeluk dan menenangkan Jena tadi penuh perhatian. Jena tidak mampu berkutik. Kenyataannya memang seperti itu, setelah tersentak bangun dari tidurnya, luka di bekas jahitannya mendadak berdenyut nyeri. Saking sakitnya sampai berteriak dan reflek memegangi lukanya. Pada akhirnya, dengan patuh Jena membuka satu sisi blouse yang dia kenakan. Memperlihatkan bekas jahitan yang masih terbungkus perban. Dilihat dari luar, perbannya memang tidak merembes, artinya tidak lukanya tidak terbuka. Namun Dante masih ingin memastikan. Setelah mengoles kasa yang sudah dibasahi alkohol, dia membuka perban dengan hati-hati. “Aagh. Pelan dikit, dong.” Si pemilik luka protes. Kontras dengan dua mata Dante yang menyipit. Setelah perban dibuka, jahitannya nampak baik-baik saja. Justru bekasnya sudah mengering, hanya tinggal melepas jahitannya. Tapi kali ini, Dante memilih mengganti perbannya saja. “Kamu nggak minum obat, makannya sakit!” gerutu Dante sibuk memasang perban baru. “Sudah makan?” Jena mengeleng malu-malu. Jangankan makan, dia saja tidak tahu sudah berapa lama tidur dan terjebak dalam mimpi buruk. Saat bangun, keringat nyaris membasahi blouse, tubuhnya gemetar, serta bekas jahitannya berdenyut nyeri. “Bagus. Pinter banget ya kamu!” “Aku lelah. Niat cuma tidur sebentar, nggak tau jadi selama itu.” Dante mengernyit, “Jadi kamu tidur sejak aku pergi? Nggak baca pesanku?” Jena menggeleng pelan. Bohong sekali, dia sudah membacanya, meski lewat pop-it singkat di notifikasi dan tidak membukanya langsung. Hela napas panjang Dante terdengar jelas. Dia bangkit berdiri, mengambil ponsel di dalam saku, kemudian menghubungi seseorang untuk memesan dua bungkus nasi goreng. Setelahnya, dia menoleh ke arah Jena. “Aku mau mandi sebentar. Tolong terima pesanannya kalau sudah sampai!” “Iya.” Jena duduk terdiam. Melihat punggung Dante perlahan meninggalkan kamar. Debar jantungnya sudah tidak menentu sejak tadi. Tepatnya sejak dia sadar sudah dipeluk dan di usap-usap Dante. “Ya ampun, aku bener-bener udah gila! Bisa-bisanya sih Jen, meluk-meluk suami orang begitu,” desisnya lirih. Setelah mengganti baju, dia memutuskan menunggu di ruang tengah. Jena langsung menyambar remot televisi. Niatnya sih, ingin menonton drama, tapi begitu menyala, yang terpampang justru berita tentang dirinya. Sudah terhitung 10 hari sejak dia dimasukkan ke dalam koper dan dibuang. Sudah selama itu, tapi polisi belum juga menemukan jejak apapun yang mengarah ke pembunuhan. Karena itu, mereka mengubahnya menjadi kasus perampokan biasa. Sedangkan untuk Jena, dia dinyatakan pergi dari rumah. Marah. Gurat emosi terlihat jelas di wajahnya. Tangannya mencengkeram remot kuat-kuat, hampir membuatnya patah. Jika bukan suara ketukan di pintu, mungkin remote nya sudah patah jadi dua bagian. Seorang anak kecil berumur 8 tahun berdiri di depan pintu sambil menenteng kantong kresek. Kulitnya sangat putih, begitu juga alis dan rambutnya, tak heran jika Jena terperangah kaget melihat anak perempuan itu begitu membuka pintu. “Wah, ada pacarnya Om Dokter ya. Pantas saja beli dua bungkus.” Gadis kecil itu terkekeh pelan, mengulas senyum yang begitu cantik. Jena yang kaget dengan kulit putihnya, jadi makin tertegun lagi mendengar ucapan gamblangnya. Pacar katanya. Anak sekecil itu sudah mengerti tentang pacar? “Dek, aduh. Kamu salah, aku bu—” “Nada, ya.” Suara Dante membuat perkataan Jena terjeda, lalu menoleh ke sumber suara. Begitu juga gadis kecil itu, yang ikut mengintip di balik tubuh Jena. “Om Dokter, kok nggak bilang ada pacarnya sih? Tau gitu kan, aku bisa bilang ayah, biar di bikinin jus sekalian.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN