Belum sempat Dante bereaksi, gadis kecil bernama Nada itu menatap dan berbicara pada Jena. “Kakak Cantik, mau jus apa?”
Jena menatap keduanya bergantian dengan wajah heran. Sebelum Dante menjelaskan, gadis itu kembali berkata, “Oh, Om Dokter nggak bilang ke Kakak ya. Ayahku bilang, kalau Om Dokter bisa bawa pacar ke sini, pacarnya bakal di kasih jus gratis tiap hari.”
Jena kontan menaikkan alisnya. Pacar apa, jelas sekali bukan seperti itu. Berharap Dante bisa memberikan penjelasan pada gadis polos itu, tapi Dante justru terkekeh. Seakan tidak peduli meski di salah pahami begitu.
“Nanti kalau ayahmu kasih jus gratis tiap hari, bakalan rugi loh. Terus, Nada nggak bisa beli kinder joy lagi deh.”
Manik mata Nada langsung membulat. “Wah, iya juga. Kok Nada nggak kepikiran? Kalau gitu Om jangan ngomong ke ayah kalau bawa pacar. Nada juga nggak akan bilang, deh.”
Seulas senyum lembut terukir di wajahnya, “Janji. Tapi kalau ditanya, kenapa om beli dua bungkus, gimana ya?”
“Om Dokter lagi kelaparan abis kerja keras bagai kuda ….” Nada langsung berlari, kabur setelah bicara seperti itu. Diiringi dengan kekehan Dante. Lucu, begitu cara Dante melihat tingkah Nada.
Namun Jena sama sekali tidak merasa begitu. Tingkah polos seorang anak kecil memang selalu terlihat lucu. Tapi bukan berarti bisa dibohongi dan ditipu dengan mudah. Tidak, Jena tidak terima.
“Kenapa malah bohong? Itu anak kecil?” Jena menatap nanar ke arah Dante yang sedang menutup pintu.
“Siapa bohong, aku?” Dante menunjuk dirinya sendiri.
“Iya, kamu! Memang ada orang lain lagi disini yang bohong sama anak kecil!” Jena nyolot, menatap Dante dengan nyalang.
Lain halnya dengan tatapan Jena yang sekelebat terlintas api amarah. Dante justru tenang, sama sekali tak terpancing. Lalu dia melangkah, mendekati Jena. “Dibagian mana?” tanyanya.
Selangkah demi selangkah dipangkas perlahan, sambil bicara “Pacar? Aku nggak merasa pernah bilang kamu pacarku, tuh.”
DEGH
“Coba ingat lagi.”
DEGH
Sampai tanpa terasa, jarak diantara mereka terpangkas sepenuhnya. “Dibagian mana, aku menyebut —”
Dante memegang dagu Jena, lalu meneruskan kalimatnya, “Kamu sebagai pacar, hem?”
BOOM.
Debar jantung Jena mencapai ritme tercepat. Dia tidak lagi bisa menalar akal sehatnya, jatuh dalam pesona mantan pacar yang kini ada di depannya.
Takut terjatuh semakin dalam oleh pesona Dante, Jena buru-buru menepis tangan yang sejak tadi memegang dagunya, lalu mendorong tubuh pria itu.
“Ya- ya, memang nggak ada. Tapi secara harfiah, itu mengarah ke sana.”
Jena menyingkir, secepat mungkin pergi dari hadapan pria itu. Berusaha menormalkan debaran jantung yang tiba-tiba terpacu. Berhadapan dengan pria masa lalu yang masih ia cintai, memang cukup menguji adrenalin batin dan juga imannya.
“Dijelasin juga bakal percuma, malah tambah panjang urusannya. Mereka bakal datang karena penasaran.”
Terdiam. Setelah dipikir-pikir, perkataan Dante memang ada benarnya. Andai jika pria itu membiarkan Nada menceritakan dirinya sebagai pacar Dante, pasti orang-orang disekitar bakal penasaran. Mungkin, ini juga yang menjadi alasan Dante merahasiakan status pernikahannya.
Apapun alasannya, Jena tidak mau peduli untuk saat ini. Dia lebih memilih duduk dan menikmati makan malamnya.
“Anak itu tadi … kenapa?” Jena membuka topik lain saat Dante sibuk mengambil sendok.
“Namanya Albinisme. Tubuhnya nggak bisa memproduksi melanin. Jadi kulitnya nggak berpigmen.” Dante membantu membuka pepper lunch, lalu menyerahkannya pada Jena.
Satu bungkus nasi goreng tanpa bawang goreng, dan dua bungkus acar. Melihatnya saja, Jena langsung tahu kalau itu makanan kesukaannya. Tapi dia tidak mau membahas alasan Dante masih ingat apa yang dia suka dan tidak, Jena justru membahas yang lain.
“Kalian akrab banget ya? Sampai ayahnya kasih jus gratis kalau kamu berhasil bawa pacar.” Jena mulai mengaduknya ke sisi kiri dan kanan agar panasnya cepat menguar.
Dante terdiam sejenak, mengambil napas panjang lebih dulu. “Nggak begitu. Kita cuma akrab layaknya pelanggan dan penjual saja.”
Jena mengangguk singkat, tapi belum juga menyendok makanan di depannya. Dari dulu, dia tidak suka makan apapun yang terlalu panas. Jadi dia mengaduknya sebentar agar uap panasnya menghilang.
“Kamu masih aja sama. Nggak baik mendiamkan makanan terlalu lama,” protes Dante.
“Meniup makanan juga nggak baik.” Jena mencelos. “Setelah ini ada waktu nggak? Aku mau obrolin soal kesepakatan — maksudnya balas dendamnya.”
Dante yang fokus dengan ponsel tiba-tiba mendongak, menatap wajah Jena. “Kenapa buru-buru? Luka aja belum sembuh, kesepakatannya kan ‘tunggu lukamu sembuh dulu’ minimal sampai jahitan lukamu dilepas, baru eksekusi.”
“Iya, gak masalah sih. Cuma bahas rencana aja, eksekusinya setelah lepas jahitan. Aku gak enak lama-lama numpang sama kamu.”
“Aku nggak keberatan,” tegas Dante.
“Tapi aku iya.”
Mengernyit, menatap tajam pada Dante, sedangkan pria itu hanya menghela napas kasar lalu bangkit berdiri hendak mengambil minum. Dante tidak bermaksud menghindar, hanya berpikir jika hal itu tidak seharusnya dibicarakan sekarang.
Tidak, saat kondisi Jena masih belum pulih sepenuhnya.
“Makan, minum obat, terus istirahat. Next time kita omongin,” katanya.
Namun Jena tidak mau menundanya lagi. Semakin lama dia tinggal disana, semakin kacau pula hati dan perasaannya. Jika Dante masih lajang, mungkin Jena bisa saja mentolerir perasaannya yang belum berubah sama sekali.
Atau, semisal ada kecelakaan di antara mereka pun, dia tidak akan menjadi pihak ketiga, karena Dante lajang. Tentunya karena dia tidak mau disamakan dengan Indira yang menjadi perusak.
Hanya dalam satu gerakan, dia meraih tangan Dante, membuat pria itu seketika menoleh ke arahnya.
“Aku maunya sekarang. Nggak bisa nunggu lama lagi. Kamu nggak tau berita di luar seperti apa?”
Tatapan Jena yang semula nyalang berubah sedikit sendu, “Keadaannya berubah, kejadian itu hanya dinyatakan sebagai perampokan biasa, bukan pembunuhan. Dan … aku, aku ….”
Penglihatan Jena memburam. Saat sadar, air matanya sudah membumbung di pelupuk. Dengan emosi yang mendadak tersulut, dia meneruskan, “ … mereka bilang aku kabur, kabur, Dan!”
Dadanya bergemuruh, sakit hatinya semakin terasa nyata. “Aku pengen mereka semua tahu. Aku di bunuh, aku dimasukan ke dalam koper dengan kondisi sekarat. Aku juga masih sadar saat di lem —”
DEG … DEG … DEG
Sadar bahwa ia baru saja menyingkap sebuah rahasia, Jena langsung menutup mulutnya. Diam, terpaku tanpa bisa meneruskan ucapannya. Hanya menatap nanar ke arah Dante yang mengernyit.
Air matanya menetes jatuh, perasaannya carut marut tak karuan. Sungguh, awalnya Jena hanya berniat menjelaskan rencananya saja. Tapi tidak tahu kenapa, dia malah terbawa perasaan saat teringat gosip yang beredar.
Dante masih diam, menatap Jena sesenggukan tanpa bisa meneruskan kalimatnya.
Entah apa yang ada dipikiran Dante saat itu. Dia hanya mengerutkan alis sebentar, lalu menarik tangan Jena hingga tubuh kecilnya terhuyung jatuh dalam dekapannya. Dan tanpa ada jeda, dia mendaratkan bibirnya pada bibir Jena.
Iya, niatnya hanya mendarat sebentar. Tapi hasrat malah membuat Dante mengabaikan niat awalnya. Lalu perlahan membuka mulut dan menerobos masuk tanpa permisi.
Jena sendiri juga tak berdaya … ah, bukan. Tapi dia juga terbuai dalam hasrat sesaat, mengikuti gerakan lidah tak bertulang yang semakin intim bergerak dalam mulutnya.
Lembut, hangat, dan memabukkan. Rasa yang nyaris 5 tahun ini tidak pernah ia lupakan dan selalu dirindukan.
Ya, begitulah memang kalau berurusan dengan hasrat. Jangankan akal sehat, ego pun akan kalah telak.
Tapi, apakah hal ini wajar bagi Jena yang masih berstatus sebagai istri orang?