Langkah Melinda bergema pelan di koridor menuju ruang tamu. Hatinya berdegup kencang, jari-jarinya menggenggam erat sisi gaun tidurnya. Dalam benaknya hanya ada satu nama—Zico. Namun begitu ia tiba di ruang tamu, matanya membelalak kaget. Sosok yang berdiri di sana sama sekali bukan Zico. “Reiner…” bisiknya tak percaya. Ya, lelaki itu berdiri tegak di hadapannya, wajahnya penuh kegelisahan, mata sayu seperti tak tidur semalaman. Begitu Melinda masuk, Reiner refleks bangkit dari duduknya, menatap mantan tunangannya itu dengan tatapan penuh penyesalan. Melinda menyipitkan mata, senyum sinis terbit di wajahnya. “Untuk apa kamu ke sini? Bukankah sudah jelas semua selesai, Rei?” Reiner melangkah satu kali mendekat, suaranya bergetar. “Aku… aku minta maaf, Mel. Aku khilaf… aku bodoh. Semua

