Entah sudah berapa lama Neva larut dalam tangisnya, ia tak lagi tahu. Matanya perih, bengkak, dan kering, seakan semua air mata telah habis ia tumpahkan. Sunyi malam membungkus sekelilingnya, sampai akhirnya dentang bel terdengar memecah keheningan—duabelas kali, panjang dan berat. “Jam… dua belas malam?” pekinya kaget, suaranya serak karena tangis. Kesadarannya seperti terhantam oleh kenyataan pahit yang belum juga hilang. Dengan langkah gontai, Neva bangkit dari lantai. Kakinya gemetar, tubuhnya dingin laksana es, dingin yang bukan hanya karena udara malam, tapi juga karena hati yang membeku oleh luka. Ia berjalan menuju tempat tidur, lalu merebahkan diri dengan lelah yang nyaris tak tertahankan. Dipeluknya bantal dengan erat, seolah di situlah ia bisa menumpahkan semua rindu dan kecew