Neva menunduk sepanjang perjalanan, membiarkan air matanya jatuh satu per satu tanpa usaha untuk menghapusnya. Pikirannya penuh dengan api amarah, kecemburuan, dan rasa dikhianati yang menusuk. Nama Diana terus bergema di kepalanya, membuat hatinya semakin teriris. Sementara itu, Vartan hanya bisa memegang erat kemudi tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Kesunyian di dalam mobil terasa mencekik, menekan da-da mereka berdua. Setibanya di depan paviliun Neva, mobil berhenti perlahan. Tanpa menunggu mesin benar-benar mati, Neva langsung membuka pintu dan turun dengan cepat. Pintu mobil ia tutup keras hingga dentumannya menggema di halaman. Langkahnya panjang dan tergesa, seolah ingin menjauh sejauh mungkin dari Vartan. “Neva, tunggu!” Vartan buru-buru keluar, berlari mengejar. Namun Neva s