Vartan duduk di dalam mobilnya dengan tatapan kosong, kata-katanya sendiri terus terngiang-ngiang di kepalanya, “Kalau aku nggak bisa menepati janjiku padamu, maka kamu boleh pergi selamanya dariku.” Ia menunduk, kedua tangannya menggenggam erat setir mobil, jemarinya memutih karena tekanan. “Bo-doh! Kenapa aku ucapkan kata itu tadi? Bagaimana bila aku nggak bisa nepatin janjiku?” desisnya lirih. Ia bahkan tak berani membayangkan akibatnya. Kata-kata itu seperti pisau yang ia arahkan ke dadanya sendiri. Bayangan tanggal pernikahan yang hanya tinggal beberapa minggu lagi menghantam pikirannya, membuat dadanya sesak, seolah ada beban berat yang menghimpit dan tak bisa dilepaskan. “Bagaimana aku bisa terjebak di situasi ini?” gumamnya lirih, suara penuh getir. Bukan hanya penderitaan kare