“Kenapa kamu harus menunggu mereka datang? Bukankah harusnya kamu bisa menaklukkan mereka dengan mudah dan menguasai wilayah mereka?” Jennifer memberi saran.
“Aku tidak mau memulai perang, Jen.” Igor berkata tegas. Itu adalah prinsip yang ia pegang sejak dulu. Jika ia tak diusik, maka ia takkan mengusik.
“Tapi mereka yang memulai, Igor. Bukannya mereka sudah menyiapkan bala tentara?”
“Itu benar. Dan jika aku menyerang orang-orang mereka sekarang, perang akan meletus. Meski aku yakin aku pasti akan memenangkan perang itu, tapi akan terus bermunculan serangan berikutnya. Dan seyakin apapun aku dengan kekuatanku, aku tidak mau memulai perang yang tidak penting.”
Jen terdiam sejenak. Tampak kilat keterkejutan di wajahnya atas ucapan Igor yang terdengar cukup bijaksana. Namun ia segera memperbaiki ekspresi.
“Tapi kamu tidak perlu menyerang orang-orang mereka.” Jennifer berkata lagi.
“Apa maksudmu?”
“Kamu bisa menyerang mereka langsung di markas mereka, Igor. Langsung ke pimpinan mereka dan memberi peringatan telak. Mikhail bilang kelompok mereka suka mengadu domba antara Onyx dan Bratva kan? Kenapa kamu tidak memberi mereka pelajaran telak? Dengan kamu menyerang langsung ke tempat pimpinan mereka berada, mereka tahu kalau kamu tidak bisa diremehkan.” Jennifer menjelaskan dengan sedikit berapi-api.
Igor masih mengernyit, mendengarkan dengan seksama penjelasan Jennifer. Ia terdiam, menatap wanita di sampingnya lekat.
“Kenapa kamu bisa punya pemikiran seperti itu, Jen? Itu pemikiran strategis orang yang terbiasa berada dalam situasi seperti ini.” Igor berkata pelan, suara rendahnya terdengar waspada. “Siapa kamu sebenarnya?”
Jennifer tertegun. Ia tak menyangka Igor akan merespons demikian. Namun kurang dari satu detik, Jennifer telah berhasil memperbaiki ekspresinya.
“Apa maksudmu? Bukannya kamu pasti sudah mengulik semua informasi tentangku? Harusnya kamu tahu siapa aku kan?”
“Itu benar.” Igor menatap Jennifer semakin lekat dan tajam. “Menurutmu, intelku tidak salah mengumpulkan informasi tentangmu kan?”
Nafas Jennifer tertahan sekilas. Tapi lagi-lagi, hanya butuh sepersekian detik bagi Jennifer untuk mengubah ekspresi terkejutnya. “Kamu meragukan intelmu sendiri? Meragukan orang terbaik yang kamu pilih sebagai mata-mata?”
Kalimat itu menusuk d**a Igor telak. Ia tak suka kemampuannya dan orang-orangnya diragukan. Ia menggeram kesal. “Tentu saja tidak.”
“Nah, sekarang berhenti bertanya pertanyaan konyol soal siapa aku. Kamu tahu siapa aku, Igor. Bahkan mungkin kamu tahu siapa saja orang-orang yang dekat denganku, benar?”
Igor menyeringai tipis. “Betul sekali. Aku mendapat semua informasimu dengan sangat lengkap. Karena itu aku mengurungmu di sini, di kamarku, di bawah pengawasanku langsung.”
Jennifer ikut tersenyum, entah apa arti senyum itu. “Jadi bagaimana soal usulku?”
Wajah Igor berubah serius lagi. Ia beralih menatap Mikhail. “Bagaimana menurutmu, Mikhail?”
Mikhail berdehem pelan. “Menurutku itu cukup efektif untuk memperingatkan mereka untuk tidak main-main dengan kita lagi.”
Igor mengangguk-angguk. “Baiklah. Siapkan tim khusus untuk ikut denganku malam ini. Siapkan semua peralatan untuk keperluan penyusupan, cari tahu titik koordinat paling akurat tempat pimpinan The Viper berada. Dua jam lagi, kembali ke sini dan aku mau semuanya sudah siap,” ucapnya tegas dan mantap. Tatapannya tajam dan penuh tekad.
Mikhail berdiri dan mengangguk mantap. “Aku akan melakukannya kurang dari dua jam.”
“Bagus. Aku tahu aku selalu bisa mengandalkanmu, Mikhail.”
Selepas kepergian Mikhail dari kamar Igor, pria itu kembali menatap Jennifer. Tatapannya masih sama tajamnya, tapi ada sedikit, amat sangat sedikit kelembutan di sana. Jennifer bahkan tak menyadari perubahan tatapan Igor itu.
“Kamu, Jen, kamu akan tetap berada di kamarku selama aku pergi. Aku mau aku kembali ke sini dan menemukanmu masih ada di kamarku, kamu mengerti?”
Jennifer tersenyum dan mengangguk. “Aku tidak akan ke mana-mana.”
***
Dua jam kemudian, Mikhail benar-benar datang kembali ke kamar Igor. Tangan kanan Igor itu sudah memakai pakaian taktis, wajahnya tampak sedikit tegang.
“Semua sudah siap, Bos.” Mikhail melaporkan.
Igor mengangguk. “Beri aku waktu lima menit, semuanya tunggu di lobi.”
Mikhail mengangguk dan segera berpamitan. Sementara Igor kembali ke dalam kamar, menghampiri Jennifer.
“Hei, aku akan pergi sekarang. Ingat, tetaplah di kamar ini. Kamar ini adalah tempat paling aman buatmu. Kamu mengerti, Jen?” ucap Igor mantap. Matanya menatap lurus ke manik mata Jennifer.
Dokter jantung itu mengangguk. “Jangan khawatirkan aku dan cepatlah pulang.”
Entah Jennifer sadar atau tidak saat mengatakan itu, tapi kalimatnya jelas memberi efek pada Igor. Rasa hangat menjalari d**a Igor saat mendengar Jennifer memintanya untuk cepat pulang. Ia menyeringai, menangkup belakang kepala Jennifer dan menariknya cepat sebelum melumat bibir Jennifer dengan sedikit kasar.
Jennifer terkesiap, terkejut akan tindakan Igor yang tak diduga itu. Namun ia segera membalas ciuman itu, menggerakkan bibirnya selaras dengan gerakan bibir tipis milik Igor.
Saat akhirnya bibir mereka terlepas, Igor membelai wajah Jennifer lembut. “Tunggu aku di sini,” bisiknya pelan.
Jennifer hanya mengangguk dan menatap Igor saat pria itu beranjak dan mulai bersiap-siap. Mengenakan pakaian taktis serba hitam, menyelipkan berbagai jenis senjata di pakaian itu, membuat Igor tampak jauh lebih gagah dari biasanya. Dan pemandangan itu membuat Jennifer sama sekali tak bisa mengalihkan tatapannya dari sang pria. Sesuatu dalam dirinya menggelegak gelisah.
Igor memberikan satu ciuman dalam dan panas sebelum pergi meninggalkan Jennifer sendirian di dalam kamar tidurnya.
Sepuluh orang berpakaian taktis sudah menunggu Igor di lobi gedung markas milik The Onyx itu. Tanpa banyak bicara, mereka semua saling melempar tatap dan mengangguk. Membiarkan Igor berjalan di depan mereka dan memimpin tim elit milik The Onyx yang dilatih dan dikomandani langsung oleh Igor.
Menurut penyelidikan intel The Onyx, Anatoli, pimpinan The Viper itu berada di markas mereka yang terletak di dekat pelabuhan. Dan ke sanalah tujuan mereka sekarang. Menggunakan jalur bawah tanah, menembus pertahanan The Viper.
Igor mengangkat tangannya yang terkepal saat mereka tiba di pintu belakang markas itu, mengisyaratkan untuk yang lain menunggu sementara Igor berusaha mematikan sistem keamanan markas itu dengan sebuah alat canggih di tangannya. Ia menempelkan alat itu di dinding, berkedip pelan, sebelum sebuah lampu indikator di sisi kanannya menyala hijau. Pertanda sistem keamanan The Viper telah berhasil dilumpuhkan.
Maka dengan cepat, Igor dan sepuluh anak buah terbaiknya melesat masuk ke dalam markas itu. Dengan gerakan terlatih dan presisi, tanpa menimbulkan suara, satu persatu dari mereka menumbangkan anak buah Anatoli di pintu masuk. Sebelas orang itu terus merangsek naik, menuju lantai empat di mana intel Igor berhasil mendeteksi keberadaan Anatoli.
Saat sembilan anak buah Igor melumpuhkan satu persatu orang-orang The Viper di lantai empat, Mikhail dan Igor bergerak dalam diam menuju sebuah pintu di ujung ruangan.
“Aku yakin di sana tempatnya,” bisik Mikhail mantap.
Igor mengangguk, cengkramannya pada gagang pistol mengerat saat mereka berdiri di depan pintu itu. Igor dan Mikhail saling tatap sejenak, mengangguk, isyarat bahwa mereka siap menghadapi apapun yang ada di balik pintu itu.
Mikhail mencengkram gagang pintu erat, siap memutarnya. Sementara Igor sudah menarik pelatuk pistolnya, siap memuntahkan peluru.
Dan dalam sepersekian detik, pintu itu terbuka berdebam. Tembakan meletus di udara saat pistol Igor mengarah pada seorang pengawal Anatoli. Dalam sekejap, aroma pertempuran membumbung tinggi di ruangan itu. Suara tembakan, suara erangan kesakitan, suara tubuh berdebam jatuh ke lantai, memenuhi langit-langit ruangan.
Kurang dari lima menit, semua orang di ruangan itu berhasil dilumpuhkan.
Igor berdiri tegak di depan Anatoli. Pistolnya menekan pelipis pria itu kuat. “Tarik semua orang-orangmu!” perintah Igor tegas, suaranya kental penuh peringatan.
“Apa maksudmu, Igor?” Anatoli masih pura-pura tak mengerti.
Igor menekan pistolnya lebih kuat ke pelipis Anatoli, menarik pelatuk, siap melepaskan tembakan. “Kamu pikir aku tidak soal alat berat dan orang-orang yang kau tempatkan di dekat markas dan gudangku? Tarik semua sekarang atau kuledakkan kepalamu!”
“Easy, Bro.” Anatoli terkekeh.
Igor menyipitkan mata. Ia tak mengerti mengapa Anatoli masih bisa bersikap santai dalam situasi ini. Anatoli harusnya tahu bahwa Igor tak pernah main-main dengan ucapannya. Jika ia berkata akan meledakkan kepala seseorang, maka ia akan benar-benar melakukannya.
“Tarik orang-orangmu sekarang!” Igor mengulangi perintahnya sambil menggertakkan gigi. Ia mulai kehabisan kesabaran.
Anatoli kembali tertawa dan mengambil ponselnya. “Oke, oke. Aku akan melakukannya.”
“Lakukan di depanku!”
“Baik, Bos,” ucap Anatoli setengah mengejek. Ia menempelkan ponsel ke telinga, tampak seperti sedang menelpon seseorang. Namun tiba-tiba, sebuah seringai lebar terbit di wajahnya.
Igor mengernyit bingung. “Apa yang membuatmu tersenyum, hah?! Kau sedang melihat kematianmu di tanganku?!”
Bukannya takut, Anatoli justru menyengir dan terkekeh senang. “Karena anak buahku berhasil menemukan sesuatu yang berharga di kamar tidurmu.”