Jennifer tak mampu menahan lenguhannya saat ciuman mereka menjadi semakin panas dan liar. Ia ingin menolak, ingin melepaskan diri dari pelukan Igor, tapi tubuhnya bereaksi sebaliknya.
Kedua lengan ramping Jennifer bergerak ke atas, melingkari leher Igor. Membuat Igor mengerang pelan dan mengangkat tubuh Jennifer dalam satu gerakan cepat. Perbedaan tinggi badan mereka yang cukup jauh membuat Igor harus menunduk saat mencium Jennifer. Karena itu, menggendong sang wanita hanya akan memudahkan Igor melanjutkan aksinya.
Satu lengan Igor melingkari pinggul Jennifer, menahan agar ia tidak terjatuh. Sementara tangan lainnya menahan kepala Jennifer dan membimbingnya untuk memperdalam ciuman.
Igor melangkah maju. Dan saat kakinya membentur ranjang, ia segera menurunkan tubuh Jennifer dan mulai menindihnya lembut. Jennifer hanya bisa mendesah pelan saat merasakan tubuh Igor menekan tubuhnya.
“Aku suka pemandangan ini,” ucap Igor saat melihat Jennifer terbaring pasrah di bawahnya.
Jennifer menelan ludah gugup. “Kenapa?”
“Kamu terlihat lebih cantik saat seperti ini.” Igor menunduk, meninggalkan jejak ciuman panas di sepanjang leher Jennifer. “Dan lebih menggoda,” imbuhnya sambil menggigit kecil kulit mulus sang wanita.
Jennifer mencengkram baju Igor erat saat tubuhnya terasa semakin memanas oleh sentuhan pria itu. “Bu-bukannya malam ini kamu harus bersiap akan ada serangan?” Ia mencoba mengalihkan perhatian Igor.
Igor terdiam sesaat, kemudian terkekeh pelan. “Mencoba mengalihkan perhatianku, Sayang?” bisiknya sarkas. “Tidak akan bisa. Kamu sudah menyedot seluruh perhatianku sejak kamu masuk ke kamarku. Terlebih lagi, saat kamu mengenakan gaun tidur ini.”
Tangan Igor mulai menyelip di bawah kain satin itu, meraba di sepanjang paha Jennifer. Membuat wanita itu menggigit bibir menahan erangannya.
“Igor….”
“Hm….” Igor menyeringai senang saat mendengar Jennifer memanggil namanya dengan nafas terengah. “Ya, Sayang?” lirihnya sambil menurunkan satu tali gaun tidur Jennifer. Menyusuri kulit halus sang wanita dengan bibirnya.
“Jangan panggil aku ‘sayang’, aku bukan kekasihmu.” Jennifer protes, tapi dengan nafas terengah dan tubuh bergetar pelan menahan gairah, tentu saja itu tidak terdengar seperti protes.
“Aku tidak peduli.” Igor menyahut santai, meneruskan penjelajahan bibirnya di atas tubuh Jennifer.
Perhatian Jennifer terlalu teralihkan oleh semua sentuhan dan ciuman Igor di seluruh tubuhnya, hingga saat ia tersadar, gaun tidur yang menutupi tubuhnya telah lenyap. Jatuh tergeletak di lantai.
“Katakan padaku, apa ada laki-laki lain yang menyentuhmu setelah malam itu?” tanya Igor sambil melepas kimono tidurnya. Matanya menatap tubuh Jennifer lapar.
Jennifer menelan ludah saat melihat tubuh atletis Igor perlahan-lahan terekspos. Ia menggeleng atas pertanyaan Igor. “Tidak ada.”
Seringai di bibir Igor semakin melebar. “Bagus. Karena kalau ada, aku akan mematahkan tangannya.”
Lantas, tanpa peringatan apapun, Igor kembali menautkan bibir mereka. Kali ini gerakannya lebih ganas dan tergesa. Ia membawa kedua kaki Jennifer melingkari pinggangnya, tujuannya jelas dan tak terbantahkan.
Dalam sekejap, kamar itu telah pekat oleh aroma pergumulan penuh peluh sepasang pria dan wanita di atas ranjang. Desahan, lenguhan, erangan penuh kenikmatan memenuhi langit-langit kamar itu. Sesekali teriakan kecil lolos dari bibir Jennifer saat Igor menekan tubuhnya dengan cepat dan kuat ke tubuh Jennifer, seolah penyatuan yang mereka lakukan masih tidak cukup untuk memuaskan hasrat sang pria.
Detik berganti menit, permainan mereka semakin dekat dengan titik puncak.
“Igor….” Jennifer melenguhkan nama pria itu, suaranya terdengar putus asa saat ia merasa semakin dekat dengan titik puncak.
“Say my name, Darling. Say it again,” tuntut Igor sambil mempercepat gerakannya.
Dan tanpa perlu diperintah dua kali, Jennifer melenguhkan nama Igor sambil mencengkram punggung pria itu erat saat tubuhnya diterpa pelepasan yang begitu intens. Igor menyusul kemudian, membenamkan wajahnya di ceruk leher Jennifer sambil membisikkan nama sang wanita seperti merapal mantra.
Detik berikutnya, keduanya telah terkapar di atas kasur besar itu, masih saling memeluk, saling membelai kulit polos masing-masing dalam gerakan pelan dan lembut. Nafas mereka masih terengah, tubuh mereka basah oleh keringat tipis, tapi kepuasan jelas tergambar di wajah masing-masing.
“Mulai malam ini, kamu tidak boleh tidur di kamarmu lagi. Mulai malam ini, kamu akan selalu tidur denganku di kamarku,” ucap Igor tegas.
“Apa?” Jennifer buru-buru memundurkan kepalanya untuk menatap Igor. “Tidak bisa. Aku butuh privasi.”
“Butuh privasi?” Igor memicingkan mata, tak suka dengan penolakan Jennifer. “Tidak ada rahasia di antara kita, Jen. Itu perjanjiannya. Jadi kamu tidak butuh apapun yang disebut privasi itu.”
“Setiap orang butuh privasi, Igor.” Jennifer masih tak menyerah.
“Setelah apa yang kita lakukan, setelah aku melihat seluruh tubuhmu tanpa sehelai benang pun, kamu bicara soal privasi?”
Wajah Jennifer langsung merona. Mereka bahkan belum berpakaian sekarang, tapi ia sudah bicara soal privasi. Sangat bertolak belakang.
“Maksudku bukan cuma soal fisik.” Jennifer menjawab setelah berdehem pelan, menetralisir kegugupan yang mendadak menyerang dirinya.
“Lalu soal apa?”
“Misal aku butuh mempelajari sesuatu, membaca jurnal dan sebagainya, aku butuh ketenangan, Igor.”
“Kamu bisa memakai salah satu ruangan di lantai ini sebagai ruangan pribadimu. Tapi kamu, my darling Jen, kamu tetap tidur di ranjang yang sama denganku. Setiap. Malam. Mengerti?” Dibanding dengan kalimatnya yang tegas, sentuhan tangan Igor di pipi Jennifer terasa lembut.
Jennifer menghela nafas pelan. “Aku tidak bisa menolak?”
Tawa Igor pecah seketika. Seolah Jennifer baru saja menanyakan sesuatu yang benar-benar lucu. “Tentu saja. Tidak ada yang bisa menolakku. Besok pagi, aku akan menyuruh orang untuk memindahkan barang-barangmu ke sini. Dan piyama-piyama panjang itu harus dibakar, karena selama kamu di sini, kamu hanya boleh mengenakan pakaian seminim mungkin. Aku butuh akses yang mudah untuk menyentuhmu kapanpun aku mau.”
Jennifer menelan ludah gugup. Bayangan dirinya mengenakan gaun tidur tipis seperti yang ia kenakan tadi, bayangan setiap malam yang akan ia lalui dengan Igor bersamanya, mau tak mau membuat pikiran liarnya berkelana tak menentu.
Igor menyeringai saat melihat semburat merah jambu di pipi Jennifer semakin kentara. Membuat wanita itu tampak semakin menggemaskan di matanya.
Pria itu menunduk, mencuri satu kecupan di bibir Jennifer. “Membayangkan sesuatu, Dok?” godanya.
Jennifer membelalak, memukul d**a Igor pelan. “Stop it!”
Tawa renyah Igor kembali mengudara. Ia tahu ia adalah penggoda ulung, tapi melihat Jennifer merona karena pikiran liarnya sendiri, Igor tahu bahwa wanita itu sama liarnya dengan dirinya. Hanya saja tertutup oleh profesinya sebagai dokter.
Ketukan di pintu segera mengalihkan perhatian Igor. Wajahnya langsung berubah serius. Ia segera beranjak dari kasur, memungut pakaian mereka di lantai dan mengenakan kimono tidurnya.
“Tetap di sini, Jen,” pesannya pada Jennifer yang menatapnya bingung.
Igor segera berlalu ke luar kamar dan membuka pintu. Mikhail sudah berdiri di sana, masih dengan pakaian kerja dan sebuah tablet di tangan. “Ada apa, Mikhail?” tanyanya sambil berjalan masuk dan duduk di sofa ruang tamu mini itu. Ia tahu Mikhail tak akan mendatanginya jika itu tidak mendesak, apa lagi tengah malam begini.
“Ada informasi baru, Igor. Ternyata itu bukan Bratva.” Mikhail menyodorkan tabletnya, membuat Igor melihat informasi yang tertera di layar tablet itu.
Igor membaca informasi di layar tablet dengan cepat. “Viper?”
Mikhail mengangguk. “Ya, gangster yang menguasai pelabuhan.”
“Kelompok kecil itu mau menyerangku?” Igor mendesis marah. “Mau apa mereka?”
“Sepertinya mereka hanya ingin mengadu domba karena pergerakan mereka menyerupai Bratva. Supaya kita menganggap itu ulah Bratva dan kita akan menyerang Bratva.” Mikhail berpendapat.
“Kalau begitu, biarkan mereka datang. Kita akan sambut mereka dengan pesta yang tidak pernah mereka sangka sebelumnya.”
Mikhail sudah hampir mengangguk ketika sudut matanya menangkap sosok Jennifer berdiri di ambang pintu yang memisahkan ruang tamu mini itu dengan kamar tidur Igor.
“Oh, selamat malam, Dok. Maaf mengganggu waktu kalian,” katanya dengan seringai tipis, mengerti bahwa ia baru saja mengganggu waktu privasi Igor dan Jennifer.
Igor menoleh, wajah seriusnya berubah lunak saat melihat Jennifer ikut bergabung dengannya di ruang tamu. Ia melapisi gaun tidur mini dengan sebuah selimut.
“Ada apa, Jen?” tanya Igor setelah Jennifer duduk di sebelahnya.
“Kamu bilang yang akan menyerangmu itu kelompok kecil kan?”
Igor mengernyit, sedikit bingung karena Jennifer justru masuk ke dalam percakapan strategis mereka. Tapi ia tetap menjawab. “Ya, benar. Kenapa?”