Telepon itu berdering nyaring di saku jas Elvan. Ia baru saja selesai menandatangani beberapa berkas yang diminta dokter untuk rawat inap kakeknya ketika layar ponselnya menunjukkan nama Nadira. Suara di seberang terdengar bergetar, lirih dan panik. “Mas Elvan... tolong aku… aku takut,” suara itu nyaris seperti tangisan tertahan. “Ada yang ngetok-ngetok pintu apartemenku dari tadi… aku sendirian, Mas…” Elvan terdiam sesaat. Pandangannya berpindah ke arah ranjang rumah sakit, di mana kakeknya sudah tertidur dengan alat infus menempel di tangan. Di sebelahnya, Cindera duduk dengan wajah letih, menunduk menatap buku catatan pasien sambil sesekali melirik Elvan. “Dir, kamu kenapa?” tanya Cindera lembut ketika melihat wajah Elvan tiba-tiba berubah. “Teman lama… dia katanya dalam bahaya,” j

