Dari balik pintu yang sedikit terbuka, Banyu Biru berdiri diam. Tangan kirinya menggenggam map pasien, tapi genggamannya perlahan mengencang saat mendengar setiap kata yang keluar dari mulut Kinanti barusan. Ia melihat bagaimana Cindera menunduk dengan wajah menahan perih, lalu menegakkan kepala lagi, menutupi luka di hatinya dengan ketegaran. Banyu terdiam lama—matanya memanas, hatinya terasa diremas sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Setelah Kinanti keluar dengan senyum sombong, ia menatap wanita itu tajam. “Kamu tadi bicara apa ke Cindera?” suaranya rendah tapi sarat tekanan. Kinanti terkejut sesaat, lalu berusaha tersenyum manja. “Sayang, kamu denger, ya?” Ia berusaha memegang lengan Banyu, tapi tangan itu ditepis halus namun tegas. “Jawab aku, Kinanti. Kamu bilang apa ke dia?”

