Chapter 2. Dalam Gelap Bersamamu

1113 Kata
"Nggak mau! Lepasin saya, Pak!" Carisa memukuli tangan Edgara, mencoba meloloskan diri tapi tentu saja kekuatannya kalah dengan kekuatan pria yang baru saja menjadi suaminya beberapa menit yang lalu, hingga akhirnya Edgara bisa membawa Carisa masuk ke dalam rumahnya. "Aku cuma bercanda, Carisa." Edgara melepaskan tangan Carisa lalu mengunci pintu rumahnya. "Bercandanya nggak lucu, Pak." Carisa mendengus kesal, mengelus pergelangan tangannya. "Tenang aja, aku nggak akan menyentuh kamu meski kamu sekarang istriku." Edgara tersenyum smirk. "Kecuali ... kamu yang menginginkannya." Carisa memeluk badannya sendiri, menatap Edgara dengan tatapan membakar. "Dasar m***m! Baru juga beberapa menit sah, udah mikirnya ke arah situ." Edgara mengangkat tangan, setengah pasrah, setengah ingin tertawa. "Aku cuma bilang kalau kamu menginginkannya kok, oke? Aku nggak akan maksa. Lagian kita kan udah halal, Car." "Halal halal apaan!" Carisa mendengus, lalu melepas jaket BEM-nya dan melemparkannya ke sofa. “Semua ini gara-gara warga desa ini yang absurd dan menyebakan! Bagaimana nasibku setelah ini?” Edgara mengangkat bahu dan melangkah ke dapur mungil. “Semua ini gara-gara salahmu sendiri. Orang kamu yang ketiduran di terasku," jawabnya sambil menyalakan dispenser dan menuangkan air bening ke gelas. “Kamu mau minum?” Carisa tak menjawab, dia malah berjalan ke arah salah satu pintu kamar. “Eh, eh!" Edgara menoleh cepat. "Kamu mau ke mana?” “Tidur, lah. Kepalaku pusing, saya mau rebahan, Pak. Emangnya kenapa?" sahut Carisa sambil membuka pintu. "Itu kamar orangtuaku!” seru Edgara cepat. "Jangan masuk ke sana, Car!" "Hah?" Carisa menghentikan langkahnya dan menoleh menatap Edgara dengan ekspresi horor. “Serius?! Terus kamar Bapak di mana?” “Yang satunya lagi." Jari telunjuk Edgara mengarah ke salah satu pintu. "Itu kamarku, yang pintunya banyak stickernya." Carisa berjalan ke depan kamar yang dimaksud, dia membuka pintunya, lalu menatap sekeliling. Kamar itu sempit, cat di dinding mengelupas, lantai berkeramik putih kusam, plafon terlihat lembab dan retak. Di sana hanya ada satu ranjang ukuran 120, lemari kayu lawas, meja belajar dan kipas angin kecil berdiri di pojokan. “Nggak ada AC?” tanya Carisa dengan nada setengah mencemooh. Edgara menggeleng pelan. “Listriknya nggak kuat kalau dipasang AC, Car. Hidupku ya begini, sangat sederhana. Bukan kayak hidup kamu yang enak dan bergelimang harta!” "Mampus deh, suamiku ternyata orang miskin!" Carisa menghela napas panjang. “Saya baru lihat kamar sekecil ini dan sejelek ini. Serius nih, Bapak tiap hari tidur di ranjang ini? Kaki Bapak kan panjang, emangnya cukup?" “Ya dicukup-cukupin, Car. Aku biasa tidur meringkuk." Edgara menyandarkan diri ke dinding, menyilangkan tangan. "Terus gimana? Kamu mau enggak tidur di kamar ini? Atau mau tidur di kursi teras lagi kayak tadi?" Carisa mendesis, lalu merebahkan diri di ranjang kecil itu dengan wajah kesal. "Ih, ini kok kasurnya keras, nggak nyaman banget deh. Dasar kasur rakyat jelata, bisa-bisa badanku sakit semua nih.” Edgara tak menanggapi ocehan Carisa, tubuhnya sudah terlalu lelah, dia hanya mengambil bantal, selimut, lalu pergi ke ruang tamu. Hingga beberapa menit kemudian, suasana rumah mulai hening, tapi tiba-tiba— "Aaa! Gelap! Tolong! Takut!" Jeritan Carisa menggema dari dalam kamar, membuat Edgara langsung duduk tegak dari posisi tidurnya di sofa. “Car?!” Edgara berlari ke arah kamar, dan cepat-cepat membuka pintu. “Kamu kenapa?” Carisa terduduk di ranjang, memeluk lutut dengan wajah panik. “Saya takut gelap, Pak. Kenapa lampunya mati? Bapak enggak punya lampu yang otomatis tetep menyala meski lagi mati listrik ya?" Edgara berusaha meraba-raba, lalu duduk di pinggir ranjang. “Nggak usah takut, Car. Mati listrik emang sering terjadi di kampung, nanti juga nyala lagi. Soal lampu otomatis itu, besok aku beliin deh, kalau kamu takut sama yang gelap-gelap." Tiba-tiba Carisa melemparkan tubuhnya ke arah Edgara dan memeluk tubuh pria itu erat-erat. "Saya ngerasa nggak bisa nafas kalau gelap gulita begini, Pak! Rasanya tuh kayak saya lagi dicekik." “Aku di sini, nggak bakal ninggalin kamu, oke?” Edgara menepuk-nepuk punggung Carisa. Carisa memeluk Edgara semakin erat. Napas gadis itu mulai teratur, tapi tubuhnya masih sedikit gemetar. Dia memang phobia dengan kegelapan, pikirannya jadi kacau, apalagi ditambah ruangan sempit, hawa panas, dan udara yang pengap. “Pak, saya kepanasan,” keluh Carisa tapi tak mau melepaskan pelukannya pada Edgara. “Lepasin aku bentar aja!" perintah Edgara lalu berdiri cepat sambil meraba-raba di sekitar tempat tidur. Pria itu akhirnya berhasil menemukan kipas tangan yang ada di dekat lemari, lalu kembali duduk di sisi ranjang. Begitu Carisa kembali memeluk tubuh Edgara, pria itu mulai mengipas perlahan, angin kecil dari kipas anyaman bambu itu cukup membuat sang istri sedikit lebih nyaman. Suasana mendadak hening, hanya terdengar suara jangkrik dari luar jendela dan detak jarum jam tua di dinding. Malam itu, udara terasa lengket, gerah, dan penuh kegugupan yang menggantung di antara mereka berdua. “Kalau kamu ngantuk, sini taruh kepalamu di pahaku!" ujar Edgara pelan. "Nggak usah takut, aku nggak bakal ngapa-ngapain kamu, Car." Carisa menoleh, dia mengangguk, meletakan kepala di paha Edgara dan menggeliat pelan, mencari posisi paling nyaman. Tangan memeluk pinggang Edgara semakin erat, kepala menyusup ke sisi perut pria itu, dengan posisi seperti itu membuat gadis itu merasa rileks dan tenang, dia tidak takut lagi pada gelap. Dan akhirnya napas Carisa perlahan melambat, menunjukkan bahwa dia sudah mulai tertidur. Edgara hanya bisa menunduk menatap wajah Carisa yang kini benar-benar terlelap di pangkuannya. Wajah gadis itu tampak berbeda dalam tidur, tidak ada kata-kata pedas atau tatapan tajam. Yang terlihat hanya pipi sedikit basah oleh keringat, bulu mata panjang yang lentik, dan bibir pink mungil yang sedikit terbuka. Tangan Edgara terus bergerak perlahan, mengipas lembut ke arah Carisa, menghalau gerah yang menyelimuti kamar. Sesekali dia mengusap peluh di pelipis sendiri dengan punggung tangan kiri, sementara tangan kanannya tak berhenti mengayunkan kipas, waktu terasa berhenti. Dan pria itu pun mulai merasa kelopak matanya berat. Tapi dia enggan bergeser, takut membuat Carisa bangun. Dia tak ingin membangunkan seseorang yang, untuk pertama kalinya memeluk tubuhnya. Beberapa menit kemudian, kipas di tangan Edgara akhirnya berhenti bergerak. Jari-jari pria itu mengendur, lalu kipas itu jatuh pelan ke samping. Edgara menyandarkan punggung ke dinding, dan tanpa sadar, ikut terlelap, dengan posisi Carisa yang masih tergeletak di pangkuan, memeluknya seperti bantal hidup. *** Carisa menggeliat pelan. Kelopak mata terasa berat, tapi perlahan terbuka. Dia mengerjapkan mata beberapa kali, mencoba mengusir kantuk, sebelum kesadarannya kembali. Namun, saat itu pula dia menyadari sesuatu yang aneh. Tangannya sedang memeluk sesuatu. Atau lebih tepatnya, seseorang. Kepalanya juga sedang menyandar di d**a bidang seseorang yang terasa terlalu keras tapi nyaman untuk disebut bantal. Mata Carisa melebar seketika. Dan begitu dia menunduk, dilihatnya tangan besar sedang melingkar di pinggangnya. Lalu saat dia mendongak, dia melihat wajah pria tampan yang sedang tertidur lelap dengan napas teratur, wajah mereka sangat dekat, lebih tepatnya terlalu dekat. Seketika itu juga, Carisa berteriak, "Argh!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN