Carisa mengernyit. “Pak, serius nih saya naik motor jelek ini?”
Edgara sedang berdiri sambil memutar-mutar kunci motor tua berwarna merah marun yang catnya sudah pudar dan sedikit berkarat di sisi knalpot. “Kemarin kamu sampai ke sini naik apa emangnya?”
“Naik taxi online. Mobilku lagi di bengkel soalnya,” sahut Carisa jujur, lalu melipat tangan di d**a sambil menatap motor tua itu dengan tatapan jijik.
Edgara nyengir sambil memakai helm. “Ya udah sana, kamu pesen taxi online lagi aja kalau nggak mau naik motorku.”
Carisa refleks melirik jam tangannya. Jarum panjang sudah mendekati angka enam. Jika harus memesan dan menunggu datangnya taxi online, sudah pasti dia akan terlambat dan dosen pembimbing lapangan yang kejam itu pasti akan mencatat keterlambatan dan memberikan hukuman.
"Sial!" Carisa menggertakkan giginya pelan, lalu mendesah. “Ya udah deh, saya naik. Tapi jangan ngebut!”
Edgara mengangkat tangan seperti bersumpah. “Nggak bakal, karena motor ini emang udah terlalu tua dan enggak bisa dipake ngebut.”
Carisa mendengus kesal, degan kikuk, gadis itu menaiki motor tua itu. Dia butuh beberapa detik hanya untuk menyesuaikan posisi duduknya. Ini benar-benar pertama kalinya dia menaiki motor.
“Pegangan, Car. Kamu mau jatuh?” kata Edgara sambil menengok sedikit ke belakang.
"Iya, Pak." Carisa menghela napas panjang, lalu dengan wajah pasrah, dia memeluk pinggang Edgara, serasa agak canggung dan terlalu kaku.
Dan akhirnya, motor tua itu melaju meninggalkan halaman rumah, membawa dua orang dengan latar belakang yang bagai bumi dan langit, duduk berdempetan di atas mesin tua yang berisik.
***
"Pak, tolong anterin saya ambil mobil di bengkel ya! Motor jelekmu ditinggal di kampus aja!" seru Carisa yang baru saja masuk ke dalam ruangan Edgara tanpa mengetuk terlebih dahulu.
Edgara berdecak pelan. "Nggak mau lah! Gitu-gitu tuh motor kesayanganku yang aku beli pakai uangku sendiri dari hasil keringatku, dan dia udah nemenin aku dari zaman kuliah sampai jadi dosen kayak sekarang."
"Pak, please deh." Carisa melipat tangan di d**a. "Ayah sama Bundaku nyuruh kita makan malam bareng di rumahku."
Edgara terdiam sejenak, menghela napas pasrah. "Ya udah, ayo!"
Setelah dari bengkel, mereka naik mobil menuju rumah Carisa. Edgara duduk di kursi penumpang sambil memangku ransel kain yang sudah mulai pudar warnanya, pria itu tampak kikuk duduk di dalam kabin mobil full kulit sintetis dan wangi parfum mahal. Sementara Carisa menyetir dengan santai sambil mendengarkan musik seperti biasa.
Beberapa menit kemudian, mobil mereka berhenti di depan sebuah rumah besar bergaya kolonial modern, dengan pagar tinggi otomatis, taman tertata rapi seperti di majalah desain interior, dan air mancur mini di dekat garasi. Edgara menatap keluar jendela mobil, pupil mata membesar, rahangnya turun sedikit. Ini adalah waktu pertama kalinya dia masuk ke dalam rumah semewah ini.
"Astaga," gumamnya pelan. "Ini rumah … atau hotel bintang lima? Mewah banget, Car."
"Ya beginilah rumahku, Pak." Carisa terkikik sambil mematikan mesin. "Turun, Pak. Jangan bengong aja! Nanti kesambet dedemit loh."
Edgara melangkah turun dengan hati-hati, memandangi sekeliling. Tiap jengkal rumah itu benar-benar menunjukkan kekayaan, memakai ubin marmer, pintu kayu jati tebal, lampu gantung kristal tergantung di balik jendela besar. Dia tahu jika Carisa itu anak orang berada, tapi dia tidak menyangka jika ternyata istrinya sekaya ini.
"Ya ampun." Edgara menggaruk tengkuk. "Pantes berulang kali kamu mengeluh waktu tinggal di rumahku. Apa rumah ini ada genset otomatisnya? Makanya nggak pernah mati lampu?"
"Iya." Carisa nyengir.
Belum sempat Edgara mengatur ekspresi wajahnya, pintu utama rumah mewah itu terbuka. Seorang wanita cantik paruh baya dengan balutan dress anggun melangkah keluar.
"Carisa, sayang!" seru Esthy, memeluk putrinya sejenak sebelum matanya beralih ke Edgara. "Halo Edgara, akhirnya kita bisa bertemu lagi. Ayo, masuk dulu, Nak. Ayah kalian sudah nunggu di ruang makan."
"Eh, iya, Tante ... eh, maksud saya ... Bu ... eh." Edgara langsung salah tingkah.
Esthy tertawa sambil menepuk lengan tangan Edgara. "Santai saja, Nak. Sekarang kamu udah jadi bagian dari keluarga ini. Panggil aku Bunda aja, biar nggak canggung."
"Baik, Bunda." Edgara tersenyum kaku, lalu melirik Carisa yang sedang menjulurkan lidah padanya.
Saat masuk, Edgara kembali dibuat kagum dengan Interior rumah itu yang tak kalah megah dari tampilan luarnya – langit-langit tinggi, chandelier raksasa menggantung di atas ruang tamu, dan ada lukisan-lukisan besar berbingkai emas di dinding.
Di meja makan, Haris sudah duduk dengan tablet di tangan, tapi langsung menurunkannya saat melihat mereka datang. "Selamat datang, Edgara. Semoga kamu nyaman ya di sini."
"Terima kasih, Pak," balas Edgara sambil menjabat tangan Haris dengan hati-hati.
Mereka duduk di meja makan yang panjang dengan hidangan lengkap, ada nasi putih, rendang, udang goreng mentega, sup iga sapi, dan masih banyak lagi. Edgara menelan ludah diam-diam. Jelas ini berbeda jauh dari makan malam biasanya yang hanya berisi telur dadar dan sambal terasi.
Obrolan mereka mengalir hangat, setidaknya untuk Haris dan Esthy. Carisa sesekali menyikut Edgara agar menjawab kalau ditanya. Dan meski Edgara sempat kikuk di awal, lama-lama pria itu bisa menyesuaikan diri meski dia masih merasa seperti seorang tamu di dunia yang bukan miliknya.
Namun percakapan santai itu segera berubah ketika Esthy tiba-tiba bertanya, "Jadi, setelah ini kalian akan tinggal di mana?"
Carisa baru saja akan menjawab tapi Haris lebih dulu menimpali, "Menurut Ayah sih, perempuan itu lebih baik ikut suaminya. Nggak elok kalau sudah menikah masih tinggal di rumah orangtua."
Carisa terbatuk kecil, nyaris tersedak air putihnya. "Yah, serius? Aku nggak bisa tinggal di rumahku sendiri aja, gitu?"
"Kamu sekarang istri orang, Sayang. Kamu harus belajar menyesuaikan diri," jawab Esthy tersenyum lembut sambil mengelus pundak anak gadis kesayangan yang duduk di sampingnya.
Carisa mengerucutkan bibir, dia melirik ke arah suaminya. "Aku nggak mau tinggal di rumah Pak Edgara! Di sana nggak ada AC, kamarnya sempit, kasurnya keras, pokoknya aku nggak mau tinggal di rumah jelek itu!"
"Tapi ini sudah keputusan Ayah, Carisa!" sahut Haris mantap. "Kamu tetap boleh sering ke sini. Tapi kamu istri Edgara sekarang, jadi kamu harus tinggal di rumahnya dan belajar menyesuaikan diri dengan kehidupanmu sekarang!"
Carisa mengepalkan tangan di bawah meja, sementara Edgara, masih belum bisa berhenti memikirkan betapa surreal hidupnya saat ini.
Pada akhirnya setelah perdebatan panjang lebar, Carisa menyerah, dengan wajah masam, dia berdiri di tengah kamar mewahnya. Lemari besar dengan pintu cermin itu terbuka lebar, dia memilih pakaian dengan asal, lalu memasukkannya ke dalam koper besar. Saat dia berjalan keluar kamar, suara roda koper menggelinding di lantai marmer terdengar nyaring. Edgara sudah menunggu sambil memainkan resleting tas ranselnya, terlihat kikuk di antara interior mahal rumah itu.
“Kamu beneran ngambek ya?” tanya Edgara saat Carisa melewatinya tanpa bicara.
"Ngambek? Hah!" Carisa berdecih. "Saya nggak ada waktu buat ngambek, Pak. Saya ini cuma korban budaya patriarki di keluarga ini. Tolong, angkatin koperku!”
"Iya," jawab Edgara singkat, lalu menarik koper Carisa dan membawanya keluar rumah.
Saat mereka sampai di halaman, Carisa baru saja hendak membuka pintu mobilnya ketika suara deru mesin mobil mewah terdengar memasuki halaman. Sebuah sedan hitam mengilat berhenti tepat di depan mereka. Pintu pengemudi terbuka cepat, dan dari dalamnya keluar seorang pria muda tampan dengan setelan jas mahal, rambut disisir rapi, dan expresinya penuh dengan emosi.
“Kiano?” bisik Carisa pelan, terkejut.
Pria itu menghampiri mereka cepat. “Carisa! Tolong ... dengerin aku dulu!”
Carisa melangkah mundur sedikit, berdiri persis di samping Edgara. “Kamu ngapain ke sini, ha?”
“Aku salah, aku nyesel, aku mau kita balikan lagi. Maaf, Carisa ... aku baru sadar kalau hidupku hampa tanpamu. Kumohon kemba—”
“Kamu udah terlambat, Bang.” Carisa menggeleng cepat.
Kiano tertegun sejenak sebelum akhirnya bertanya, “Apa maksudmu?”
“Aku nggak mau balikan sama kamu lagi, Bang. Aku udah nikah kemarin,” jawab Carisa lantang, tangannya meraih lengan Edgara. “Kenalin, dia dosenku sekaligus suamiku.”
Kiano mendengus tak percaya, lalu tertawa miris. “Suami? Hah! Mana bisa kamu tiba-tiba nikah? Kamu minta putus baru seminggu yang lalu, Carisa. Kamu pikir aku sebodoh itu buat percaya, dan yang lebih penting mana cincin nikahmu?!”
Carisa menantang balik tatapan pria itu. “Kamu nggak perlu bukti. Tapi kalau kamu ngotot .…”
Tanpa aba-aba, Carisa menarik kerah baju Edgara dan mencium bibir suaminya. Ciuman itu, tidak lebih tepatnya lumatan itu dalam, waktunya singkat, tapi cukup untuk membuat Kiano membeku di tempatnya. Sementara Edgara? Saat ini matanya melebar seperti baru kena sambaran listrik, otot kaku, napas tertahan, jantung berdebar.
Begitu ciuman itu selesai, Carisa menatap Kiano dengan kepala terangkat tinggi. “Udah puas? Sekarang pergi dan jangan ganggu hidupku lagi!”