“Pak, kita mau ke mana, sih?” teriak Carisa membuka kaca helm yang dia kenakan. "Kita nggak pulang?"
Angin menyapa wajah Carisa saat motor tua Edgara melaju melewati jalanan kota yang tak biasa mereka lewati. Carisa memeluk erat pinggang Edgara dari belakang, jaket pria itu masih menyimpan aroma khas sabun dan bensin yang sudah akrab di hidungnya.
Edgara hanya menoleh sedikit, menyeringai. “Pegangan yang kenceng! Aku mau bawa kamu ke suatu tempat.”
"Iya." Carisa menggigit bibir bawahnya, antara gugup dan penasaran, dia mempererat pelukannya dan meletakkan wajahnya di pundak kokoh sang suami.
Setelah menempuh perjalanan hampir satu jam, motor itu berhenti di depan deretan warung kayu yang menghadap ke garis pantai. Angin laut menyapa wajah mereka, membawa serta aroma asin dan suara debur ombak yang menenangkan. Carisa turun pelan, matanya membesar saat melihat hamparan pasir putih dan laut biru kehijauan di hadapannya.
“Pak,” bisik Carisa tak percaya. “Ini ... Bapak ngajakin saya ke pantai? Serius?"
"Iya." Edgara tersenyum, lalu menarik tangan Carisa. “Ayo, kita main-main di pantai.”
Mereka melepas alas kaki dan mulai berlari menyusuri bibir pantai, saling mengejar seperti anak-anak kecil. Carisa tertawa terpingkal-pingkal saat Edgara pura-pura terpeleset dan jatuh ke pasir, menariknya ikut rebah di sebelahnya. Rambutnya berantakan, pipinya merah karena tertawa.
"Mau makan ikan bakar enggak?" tanya Edgara memastikan.
"Iya." Carisa mengangguk cepat "Saya laper banget, pengen makan apapun yang bisa dimakan."
"Hari ini kamu harus makan banyak!" Edgara berdiri terlebih dahulu dan mengulurkan tangan pada Carisa.
Mereka lalu memilih ikan segar di warung sederhana, dan duduk berdua di meja kayu yang menghadap ke laut, menikmati ikan bakar hangat dengan sambal kecap dan nasi pulen. Di sela suapan, Carisa berhenti, menatap laut yang mulai keemasan karena cahaya senja.
“Ternyata di kota kita ada pantai indah begini. Aku baru tahu loh, Pak."
Edgara menoleh keningnya berkerut. “Maksudnya? Kamu baru pertama kali ke pantai ini? Serius?”
Carisa terkekeh pelan. "Serius banget, Pak. Saya baru pertama kali ke pantai ini. Kalau tahu begini, saya nggak bakal ke luar pulau atau ke luar negeri kalau liburan.”
"Ada banyak hal di dunia ini yang terkadang kita sepelekan tapi sebenarnya jauh lebih indah, daripada yang kita harapkan, Car. Gajah di pelupuk mata tak tampak, semut di seberang lautan malah dikejar," jelas Edgara memasang mode dosennya.
"Suka banget sih keluarin peri bahasa!" Carisa tersenyum, matanya menerawang ke laut. “Mungkin aku terlalu sibuk ngejar yang jauh-jauh ya, Pak. Padahal … hal yang bikin aku bahagia justru yang sederhana begini.”
“Kayak makan ikan bakar di warung sederhana dan makan pakai tangan?”
“Dan duduk di pinggir pantai sambil lihat matahari tenggelam sama orang yang saya suka,” tambah Carisa cepat, lalu menunduk, pipinya mulai hangat.
Edgara melirik sekilas, senyum miring tersungging di bibirnya. “Orang yang kamu suka itu siapa ya? Aku pengen kenal.”
Carisa mencubit lengan Edgara pelan. “Ya siapa lagi, sih, Pak ... kalau bukan suamiku."
Mereka terdiam sejenak, hanya mendengar suara ombak yang merdu. Sinar senja mulai turun perlahan, terlihat cantik, menyelimuti pantai dengan cahaya keemasan yang teras hangat dan damai bagi kedua pasangan suami istri itu.
“Pak?" Carisa menatap Edgara dengan serius. “Kenapa Bapak ngajak saya ke sini?”
Edgara menyandarkan punggung ke kursi, menatap langit yang mulai memerah. “Karena aku pengin kita punya memori pertama yang baik. Bukan cuma tentang pertengkaran, atau tekanan, atau pernikahan kita yang tiba-tiba.”
Carisa mengangguk, dengan mata berbinar.
“Dan karena ... aku pengin kamu ngerasa, meskipun hidup kita mungkin nggak senyaman milik orang lain, tapi aku akan mengusahakan agar kamu tetap bisa bahagia."
Carisa menggenggam tangan Edgara yang ada di meja. “Hari ini saya bahagia kok, Pak.”
Tatapan mereka saling bertemu, cukup lama. Tak banyak kata, tapi mata mereka seolah berbicara. Sampai akhirnya Edgara bangkit, meraih ranselnya yang berisi barang-barang mereka.
“Ayo, kita ke penginapan! Aku udah pesan kamar kecil yang langsung menghadap pantai.”
Mereka berjalan beriringan menyusuri tepi pantai, berpegangan tangan seperti dua orang kekasih yang baru jatuh cinta. Penginapan yang dituju berada tak jauh dari warung makan tadi—bangunan kayu bercat putih dengan balkon kecil dan suara ombak sebagai latar belakang alami.
Di dalam kamar yang Edgara sewa, suasananya terasa sederhana, jauh dari fasilitas mewah kamar hotel yang biasa digunakan Carisa untuk liburan. Kelambu putih tipis terjuntai di atas ranjang. Tirai berkibar pelan tertiup angin laut. Di meja kecil, dua gelas teh hangat sudah disiapkan pemilik penginapan. Carisa duduk di tepi ranjang, menatap keluar jendela. Mata tampak teduh, hatinya terasa hangat seperti sedang menyimpan rasa yang baru.
“Pak,” bisiknya. “Terima kasih ya.”
Edgara menoleh sambil membuka jaket. “Buat apa?”
Carisa mendongak, menatap wajah suaminya. "Buat hari ini, buat semua yang Bapak usahakan untukku. Aku tahu, hidup sama aku mungkin enggak gampang. Aku keras kepala, banyak maunya, egois juga.”
Edgara mendekat, lalu duduk di sebelahnya. Dia mengusap pelan kepala Carisa, lalu menariknya ke pelukannya. “Kamu itu manusia, Car. Aku tahu kamu punya luka, punya beban, punya banyak tanya di kepalamu. Tapi kamu juga punya hati, dan aku bersyukur karena hati kamu memilih aku.”
Mata Carisa mulai berkaca-kaca. “Saya takut, Pak.”
“Takut apa?”
“Saya takut nyakitin Bapak. Takut saya nggak bisa jadi istri yang baik, nggak bisa jadi menantu yang baik yang malah akhirnya menyusahkan kedua orang tuamu, Pak.”
Edgara memeluk Carisa lebih erat. “Akupun punya ketakutan seperti itu juga. Aku takut nggak bisa bahagiain kamu dengan uang pas-pasan. Aku takut mengecewakan orang tuamu karena yah, keadaanku memang seperti ini, apa adanya, kamu tahu, kan? Jadi ... ayo kita sama-sama berjuang bareng, Car!"
Mereka diam beberapa saat. Jantung Carissa berdetak kencang dalam dekap Edgara. Malam mulai turun, menggantikan senja. Dan dalam keheningan itu, Edgara berbisik di telinga istrinya.
“Malam ini, aku pengin kita benar-benar jadi suami istri. Tapi kalau kamu belum siap, aku bisa nunggu. Meski selamanya pun aku akan sabar nungguin kamu.”
Carisa menggenggam tangan Edgara yang ada di pinggangnya. “Saya siap kok, Pak. Bukan karena saya harus menjalankan kewajibanku sebagai istri, tapi karena saya memang mau.”
“Kita lakukan pelan-pelan aja, ya?” Edgara menatap wajah istrinya dalam-dalam, lalu mengecup lembut dahinya.
Carisa mengangguk. “Pelan-pelan. Tapi janji jangan pernah lepasin aku ya, Pak.”
Pelukan mereka rapat, hangat, dan lama. Tak tergesa. Ketika akhirnya bibir mereka bertemu, itu bukan lagi tentang gairah semata, tapi tentang saling menerima. Tentang rasa yang dibangun dari hari-hari sederhana, dari luka yang disembuhkan bersama, dari cinta yang tidak menuntut apa pun selain kejujuran.
Pakaian mereka terlepas perlahan, satu per satu hingga akhirnya polos. Tangan saling menyusuri punggung dan leher dengan penuh hormat. Mereka saling melihat—saling menyaksikan, bukan sekadar menyentuh. Kelembutan menggantikan nafsu, kehangatan menggantikan rasa takut. Dan ketika tubuh mereka menyatu dalam malam yang hanya ditemani suara ombak dan angin, Edgara berbisik nyaris tanpa suara.
"Kamu serius udah enggak suci? Tapi kok sempit banget sih, Car?"
"Owh, mungkin karena ...." Carisa memalingkan wajahnya yang sudah memerah tak berani menatap wajah Edgara yang sedang mengkungkung tubuhnya. "Punya Bapak lebih besar dan lebih panjang."
"Owh, syukurlah." Edgara meraup pipi Carisa agar menatapnya. "Aku akan buat kamu kuwalahan malam ini, sampai kamu teriak-teriak, lemas dan enggak bisa jalan!"
"Silahkan, Pak! Karena tubuhku ini milikmu!" Carisa menarik leher Edgara dan melumat bibir suaminya dengan lebih ganas.