Chapter 9. Terbayang Adegan Panas

1337 Kata
“Carisa ....” Suara berat itu terdengar di telinga Carisa, diiringi ciuman lembut di pipinya. “Bangun, ini udah pagi.” Carisa mengerang pelan, menarik selimut sampai ke atas kepala. “Lima menit lagi ya, Pak.” “Lima menitnya udah dari tadi."Edgara terkekeh, menarik selimut Carisa perlahan. “Ayo, pulang! Nanti kita telat, kita harus ke kampus!” “Bisa nggak kita bolos aja?” Carisa membuka satu matanya, mengerjap. “Nggak boleh!” jawab Edgara dengan nada tegas. "Kita harus disiplin, Car!" Matahari belum naik sepenuhnya saat Edgara dan Carisa kembali mengendarai motor tua kesayangan itu. Angin pagi menyapu wajah mereka yang masih lekat dengan rasa semalam, rasa yang nikmat, hangat, dan membuat jantung deg-degan hanya dengan mengingatnya. Carisa duduk di jok belakang dengan tangan melingkar lemas di pinggang Edgara. Wanita muda itu bersandar pada punggung suaminya, matanya masih setengah tertutup, tubuhnya pegal linu, dan pipinya memanas setiap kali dia mengingat kembali kemesraan malam tadi. Saat motor berhenti di depan rumah, Carisa cuma bisa menghela napas dalam. “Pak, saya capek banget," gumamnya pelan. Edgara menoleh dengan senyum lebar. “Masih ngantuk, ya?” “Ya ngantuk, ya lemas, ya malu, pokoknya semuanya jadi satu.” "Tapi kamu nggak nyesel kan, nglakuin itu sama aku?" tanya Edgara terkekeh pelan. "Enggak, Pak." Carisa menggeleng cepat. “Sama sekali enggak.” Edgara mencubit lembut ujung dagu Carisa dengan gemas. “Ya udah, ayo kita mandi dan siap-siap. Jam delapan kamu udah harus duduk manis di kelas!” “Pak! Jangan bilang ...." Mata Carisa memelotot. "Kelas pertama saya hari ini tuh—” “Yup.” Edgara menyeringai. “Dosennya aku.” Carisa memukul pundak suaminya berulang kali. “Huwaaaa ... kenapa harus Bapak, sih? Nanti pasti saya enggak bisa fokus!” *** Jam delapan lewat lima, Carisa masuk ke ruang kelas dengan langkah gontai. Rambutnya dikuncir asal, wajahnya pucat tanpa riasan minimalis, dan tas kuliahnya menggantung miring di bahu. Beberapa teman menatapnya heran. Biasanya Carisa selalu tampil perfect, dia fresh, penuh energi dan selalu wangi. Tapi hari ini, dia terlihat mengenaskan, seperti zombie yang tak berdaya. Carisa duduk di bangku tengah, mencoba fokus membuka buku catatan, padahal matanya terus melirik ke depan kelas, tempat Edgara berdiri dengan kemeja abu dan celana bahan hitam. Pria itu tetap terlihat rapi, fresh, seolah kegiatan semalam bersama Carisa hanya bermain kartu, bukan melewati malam penuh peluh dan desahan. “Selamat pagi semua.” Suara Edgara menggema, rendah dan tenang. “Kita mulai kelasnya, ya!” Carisa hanya menunduk, pura-pura mencatat. "Jangan lihat dia! Jangan ingat kegiatan semalam! Di kampus dia dosenmu, bukan suamimu!" batinnya menggebu-gebu. Tapi itu sia-sia, karena begitu Edgara berjalan pelan ke arah whiteboard dan menulis dengan spidol hitam, bahu kekarnya bergerak naik-turun, kemejanya terlihat ketat di punggung, dan rambutnya sedikit acak. Hal itu langsung membuat otak Carisa mengingat bagaimana rasanya saat jemari tangan Edgara menjelajahi tubuhnya. "Sialan! Otakku m***m! Benar-benar tidak senonoh!" Carisa terus mengumpati dirinya dalam hati sambil menutup wajah dengan buku. “Carisa!" Jantung Carisa mencelos saat mendengar suara tegas pria yang sedang berputar-putar di otaknya memanggil namanya. Perlahan Carisa mengintip dari balik buku. “Iya, Pak?” Edgara menatapnya dengan ekspresi serius tapi matanya jelas menggodanya. “Bisa bantu saya baca poin nomor dua dari buku modul?” “Eh … i–iya ... bisa, Pak.” Carisa terbata, membuka buku yang bahkan belum sempat dia lihat, tangannya gemetar. Saat bibir Carisa membaca buku modul, batinnya justru berkata, "Astaga, awas aja Pak Edgara bakal aku balas nanti" Suara tawa kecil terdengar dari sudut kelas, Carisa tahu dia sedang menjadi pusat perhatian. Setelah membaca asal-asalan dan duduk lagi, dia mengalihkan pandangan keluar jendela, mencoba menyelamatkan dirinya dari rasa malu. Tapi tatapan Edgara terus mengikuti. Setiap mereka bertemu pandang, Carisa merasa jantungnya berdebar terlalu keras dan tubuhnya terasa aneh. Sementara Edgara, sang dosen yang biasanya dingin itu, hari ini terlihat lebih hidup. Senyumnya lebih sering muncul, pembawaannya terasa lebih santai, dan yang lebih penting, tatapan pria itu beberapa kali fokus mengarah kepada sang istri. Di dalam kepalanya, Edgara pun menyimpan gelora yang sama. Dia masih mengingat bagaimana tangan Carisa meraba pipinya, bagaimana tubuhnya meringkuk dalam pelukannya setelah semuanya reda. Tapi sekarang dia harus menjaga wibawa sebagai dosen. Meskipun, godaan untuk menyeringai tiap melihat wajah mengantuk dan memerah itu begitu besar. Saat kelas hampir usai, Edgara menutup bukunya. “Oke, cukup untuk hari ini. Jangan lupa tugas minggu depan dikumpulkan sesuai deadline, dan ....” dia melirik ke arah Carisa sejenak. "Kalau kalian mengantuk, lebih baik kalian tidur di rumah, dan jangan ikuti kelas saya!” Seluruh mahasiswa dan mahasiswi di kelas tertawa sambil melihat ke arah Carisa. Hal itu jelas membuat wanita muda itu malu dan hanya bisa menekuk wajahnya ke meja. Begitu Edgara keluar dari ruang kelas, Carisa langsung berlari ke kantin seperti sedang dikejar setan. Dengan langkah cepat dan wajah yang merah padam, dia bahkan tidak menyadari bahwa tali sepatunya terlepas. Begitu sampai, dia langsung duduk di bangku panjang dekat pojok, meletakkan kepalanya di atas meja. “Stevani, tolong ... gue butuh banget makanan berkuah dan kopi item kental yang super manis,” desah Carisa dengan suara lemas. Stevani, sahabatnya yang duduk di seberang sambil menggulung lengan kemeja denimnya, langsung berdiri. “Lo hari ini kayak ikan yang kehabisan air, Car." "Paan sih, lu!" balas Carisa mendengus kesal. Stevani mencondongkan badan dan berbisik. "Atau lo habis ditindas dosen? Jangan bilang ... kalau semalam kalian—” "Ssttt! Jangan keras-keras!” Wajah Carisa semakin merah. " Bahaya kalau ada yang denger tahu!" Stevani terbahak. “Nih ya, dari jarak seratus meter, gue udah bisa nebak kalau memang ada sesuatu yang sudah terjadi semalam diantara lo dan Pak Dosen itu. Soalnya muka lo tuh kayak abis disedot nyawanya, Car.” "Paan sih loh!" Carisa melayangkan tangan ke udara. "Sana pesenin makanan dan minuman buat gue dulu!" "Baik, Nona Muda Carisa Yang Agung." Stevani pun akhirnya pergi meninggalkan Carisa sendirian. Tak lama kemudian, makanan dan minuman pesanan mereka datang. Carisa langsung memberikan banyak sambal dan menyendok kuah panas bakso yang masih mengepul, seolah itu bisa membersihkan pikiran m***m di otaknya gara-gara kejadian semalam dari pikirannya. Tapi baru beberapa suap, langkah kaki seseorang terdengar mendekat. Seorang mahasiswi berambut pendek dan mengenakan ID card kampus berdiri di dekat meja mereka. “Carisa, kamu disuruh ke ruangannya Pak Edgara sekarang!” Carisa langsung berhenti mengunyah, sendoknya melayang di udara. “Apa? Kenapa?” “Enggak tahu, katanya harus sekarang,” ulang mahasiswi itu sambil menaikkan alis. “Mungkin penting banget, Car. Mau kasih hukuman ke lo mungkin. Kan tadi lo ketiduran di kelas." "Owh, Oke deh. Makasih ya," jawab Carisa tersenyum canggung. "Sama-sama, Car," balas mahasiswi itu lalu melangkah pergi. Stevani menarik lengan tangan Carisa dan berbisik, “Suamimu ngapain main panggil-panggil pas di kampus segala sih?” Carisa mendengus panik. “Gue enggak tahu, Stev! Mungkin bener, dia mau marahin gue soal tadi pas gue ketiduran di kelas.* "Ya udah gih, pergi sana!" Stevani melepaskan lengan tangan Carisa. "Tapi kalau lo enggak balik dalam waktu lima belas menit, gue bakal nyusul ke sana buat ngintipin kegiatan kalian." “Ih, dasar kepo!" Carisa berdiri, menghela napas dalam. “Oke. Gue berangkat ya. Tolong doain gue selamat dari amukan dosen killer itu.” “Amin!” seru Stevani sambil menyodorkan sisa kopi Carisa. “Minum ini dulu, buat tenangin diri!" Carisa meneguknya dengan cepat hingga tandas, lalu berjalan keluar kantin menuju ruang dosen. Degup jantungnya menggema di telinga dan pikirannya kalut. Bagaimanapun Edagara memang dosen yang super disiplin dan suka memberikan hukuman yang berat untuk mahasiswa yang tidak patuh pada aturannya, terlepas jika sekarang pria itu sudah menjadi suaminya. “Aku kan ketiduran di kelas juga gara-gara ulahnya semalam,” gumamnya kesal. “Pokoknya aku mau protes kalau disuruh kerjain banyak soal esay!" Carisa mengetuk pintu pelan. "Pagi, Pak." “Masuk!" Suara dari dalam menjawab. Pelan-pelan Carisa masuk ke ruang dosen. "Kenapa Anda memanggil saya ke sini, Pak?" tanyanya sambil menutup pintu. Edgara berjalan menghampiri Carisa. "Kunci pintunya, Car!" "Hah?" Mata Carisa membelalak lebar. "Emangnya kita mau ngapain, Pak?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN