"Hah?" Mata Carisa membelalak lebar. "Emangnya kita mau ngapain, Pak?"
"Nanti kamu bakalan tau, Car. Yang penting kunci dulu pinginnya!" Suara Edgara rendah, dalam, dan terdengar menggoda.
Dengan jantung berdebar kencang, Carisa menuruti permintaan Edgara. Begitu bunyi klik terdengar, pria itu ternyata sudah berdiri sangat dekat di belakangnya. Napas Edgara terasa hangat saat menyentuh tengkuk Carisa, membuat bulu kuduk wanita muda itu meremang.
"Kamu tahu ...?" Bisik Edgara tepat di telinga Carisa. Kamu itu bikin aku gila pagi ini!"
"Gila apaan, Pak?" tanya Carisa dengan expresi polos. "Gara-gara saya ketiduran?"
“Salah satunya itu, tapi poin pentingnya bukan itu, Car. Aku gila gara-gara lihat kamu duduk di kelas, dengan muka lelah dan pipi merah merona. Jujur saja, otakku selalu mengingat kejadian kita semalam, bahkan tadi aku hampir hilang kendali, rasanya ingin langsung menerkammu di kelas dan lupa kalau aku harus jaga wibawa di depan mahasiswaku. Jadi sekarang, aku boleh min—"
“Pak, jangan di sini!" timpal Carisa cepat dengan wajah panik. Dia paham sekali apa kemauan Edgara, tapi tubuhnya justru berbalik, menatap wajah dosen sekaligus suaminya.
Edgara menatap wajah Carisa lekat-lekat, lalu mengangkat dagu istrinya itu dengan dua jarinya. “Tapi kamu datang ke sini, sayang. Dengan wajah yang merona lagi. Kamu pikir aku bisa menahan diri sekarang ... di ruangan pribadiku?”
Carisa tak bisa menjawab. Matanya terkunci pada sorot mata Edgara yang gelap dan penuh hasrat. Dalam sekejap, bibir pria itu sudah menempel di bibirnya, lembut tapi menuntut. Hingga akhirnya Carisa memejamkan mata dan membalas ciuman itu. Mereka berciuman lama, penuh, seperti melepas semua ketegangan yang tertahan selama berada di kelas tadi. Tangan Edgara menarik pinggang Carisa, membawanya lebih dekat, tubuh mereka nyaris tanpa celah.
“Pak … kalau ada yang tiba-tiba masuk ke sini gimana?” bisik Carisa sambil terengah, jari-jarinya menggenggam kerah kemeja Edgara.
“Nanti aku bisa bilang kalau kamu lagi aku hukum gara-gara tadi kamu ketiduran.” Edgara terkekeh pelan, tangannya menyusuri punggung Carisa, lalu berhenti di pinggul. “Aku menginginkan tubuhmu, Sayang. Sekarang ... di sini.”
Carisa kembali memejamkan mata, membiarkan ciuman Edgara turun menelusuri lehernya sambil membuka kancing kemeja, lalu beralih ke bahu, kemudian beralih ke d**a yang bisa membuat napasnya bergetar. Dia bersandar ke meja dosen yang ada di belakangnya, duduk setengah, sementara Edgara berdiri di antara kedua pahanya yang sedikit terbuka. Degup jantungnya kacau, tapi tubuhnya tak bisa membohongi betapa dia juga menginginkan hal itu.
“Pak, bentar aja ya! Saya enggak boleh ada di sini terlalu lama,” gumam Carisa lemah. "Nanti takutnya ada yang curiga, Pak."
"Iya, aku tahu." Edgara mengangguk pelan, wajahnya masih menempel di d**a Carisa. “Sepuluh menit saja, setelah itu aku akan membiarkan kamu keluar."
Meja kayu menjadi saksi bisu saat tubuh Carisa menyandarkan diri di sana. Udara di dalam ruangan terasa berubah, lebih hangat, lebih berat, seperti dipenuhi bisikan yang tak terdengar.
Tangan Edgara mengusap lembut kulit Carisa yang terekspos, seolah menghafal setiap lekuknya, seperti puisi yang dibaca dalam diam.
Meski sedikit terburu-buru dan tergesa karena keterbatasan waktu, sentuhan itu tetap terasa penuh makna—bukan sekadar pelepas rindu,
tapi seperti doa yang dipanjatkan dengan jari-jari yang gemetar karena cinta. Hasrat mereka meledak, bukan dalam kobaran yang membakar, melainkan bara yang tenang, menghanguskan perlahan tapi pasti. Mereka fokus menukar detik demi detik dengan ciuman dan pelukan yang menyusup hingga ke relung terdalam.
Setiap gesekan kulit, setiap lirih napas, adalah bahasa tanpa suara yang hanya mereka berdua pahami. Dan meski segalanya dilakukan dalam diam dan rahasia, tak ada yang terasa keliru ketika cinta sudah berbicara dalam bentuk paling jujur, yaitu melalui bahasa tubuh yang saling mencari dan bahasa hati yang tak ingin berpisah.
“Carisa ...,” gumam Edgara pelan di antara ciuman yang bertebaran seperti embun pagi di ladang rindu. “Kamu benar-benar membuatku mabuk.”
Carisa tak menjawab, matanya terpejam, dia sedang fokus menikmati. Hanya ada suara lirih napas manja yang menggema di ruang kecil itu, seperti nada-nada merdu yang menggantung di udara, menanti jatuh di tempat yang tepat. Tangan mungil wanita itu mengusap rambut Edgara, menggenggamnya erat, seolah ingin menyatu bukan hanya tubuh saja, tapi seluruh jiwa.
Ketika mereka menyatu dalam satu tarikan napas, satu getaran rasa, tak ada kata yang sanggup menjelaskan. Yang ada hanya desir hangat yang menjalar dari kulit ke dalam d**a, menyulut bara yang sudah lama disimpan di balik lapisan peran dan nama. Dosen, mahasiswa, suami, istri. Semua luluh dalam keintiman yang mereka ciptakan.
Gerak mereka lembut, seperti ombak kecil yang menyentuh pasir pantai, meninggalkan jejak, lalu kembali lagi, tak ingin pergi terlalu jauh. Bibir bertemu kulit, kulit menjawab dengan gemetar halus. Carisa memejamkan mata, menyerahkan dirinya pada badai lembut yang diciptakan Edgara, yang sedang memeluknya penuh rasa hormat.
Waktu seperti berhenti, tak ada suara dari luar. Hanya gemuruh dalam d**a, desahan tertahan dan bisikan nama menjadi lagu paling suci pagi itu. Hingga akhirnya semuanya mereda, Carisa masih ada di dalam pelukan Edgara, pipinya bersandar di d**a hangat pria itu, mendengar nyanyian jantung yang kini perlahan mulai tenang.
“Kalau ini hukumanku gara-gara ketiduran di kelas,” bisik Carisa dengan senyum lelah. "Sepertinya saya akan tidur terus di kelas saat Bapak sedang mengajar."
“Owh, kamu ingin dihukum tiap hari?"Edgara terkekeh pelan, mengecup ubun-ubunnya. "Dasar mahasiswi nakal, kalau gitu aku bakal jadiin kamu mahasiswi abadi."
Carisa tertawa mendengar gurauan Edgara. Napasnya belum sepenuhnya pulih, tapi tubuhnya sudah mulai terasa ringan, seperti beban yang tersapu angin. Dia merenggangkan pelukannya, lalu mulai mengancingkan kemeja yang setengah terbuka, merapikan rok, dan menyisir rambut dengan jemarinya yang masih gemetar lembut. Sementara Edgara hanya berdiri memandangi, masih dengan senyum penuh cinta di wajahnya.
“Aku keluar ya, Pak,” bisik Carisa sambil menepuk d**a Edgara pelan. "Love you."
"Love you too." Edgara mengangguk, lalu membantu merapikan rambut Carisa. “Pipimu masih merah ini, duh menggemaskan banget."
Carisa kembali menepuk d**a Edgara sambil menjulurkan lidah sebelum membuka pintu dan menyelinap keluar dengan cepat. Dia tak ingin orang lain mencium aroma hubungan yang belum sah secara hukum itu. Meski mereka sudah sah secara agama sebagai suami istri, itu sebabnya mereka masih harus menyembunyikan pernikahan dari pihak kampus, yang membuat segalanya terasa seperti berjalan di atas benang halus.
Beberapa detik berlalu, Edgara menarik napas panjang. Dia masih berdiri membelakangi pintu, sibuk mengencangkan ikat pinggangnya. Satu tangan merapikan kemeja yang terselip sembarangan, sementara wajahnya mengulas senyum geli. Lalu terdengar bunyi pintu terbuka pelan, diiringi langkah kaki ringan memasuki ruangan, tanpa ada ketukan sebelumnya.
“Kamu balik lagi, Carisa?” katanya santai tanpa menoleh. “Kamu mau minta lagi, ya?”
Tak ada jawaban, suasana terasa hening.
Edgara malah tersenyum, mengira sang istri sedang menggodanya. “Awas ya, nanti kamu aku jadikan mahasiswi abadi, loh. Setiap hari kamu harus datang ke ruanganku dan aku hukum sampai kamu capek.”
Namun, suara yang terdengar setelahnya bukanlah tawa manja Carisa, melainkan orang lain yang menjawab, “Saya bukan Carisa, Pak.”