Sejak pukul lima sore, Edgar berjaga di kamar Hazel. Pria itu duduk di sofa dan berhadapan langsung dengan Hazel yang tertidur di ranjang. Dahi gadis itu sudah di tempelkan sapu tangan yang di basahi dengan air hangat. Edgar benar-benar merawat Hazel.
Tiap dua puluh menit sekali, Edgar membasahi sapu tangan itu, memerasnya lalu kembali di letakkan di dahi Hazel.
Hingga sekarang sudah menunjukkan pukul delapan malam, Edgar melihat ada pergerakan di tangan Hazel lalu tak lama kemudian kedua mata gadis itu terbuka dengan sayu.
Edgar berdiri kemudian duduk di tepian ranjang. Ia memegang dahi Hazel, masih panas. Bahkan tidak turun sekali pun panasnya.
"D-dingin," gumam Hazel menggigil. Tatapannya tampak tidak fokus menatap Edgar.
Di dalam hati Edgar mengeluh pelan. Daya tahan tubuh Hazel benar-benar lemah, terkena hujan sedikit saja sudah sakit.
Edgar merapatkan selimut Hazel lalu bangkit. "Saya akan mengambil selimut lagi."
Tidak ada balasan dari Hazel, gadis itu hanya menatap Edgar sayu.
Edgar berjalan keluar dari kamar Hazel, menuju kamarnya untuk mengambil selimutnya sendiri.
Ketika akan kembali ke kamar Hazel, langkah Edgar dihentikan oleh Laila.
"Hazel di mana? Ayo kita makan malam bersama," ajak Laila. Di sebelah gadis itu ada Saka.
"Nona Hazel demam, nanti saya akan minta pada pelayan untuk mengantar makan malam ke kamar." Edgar membalas sopan.
Raut wajah Laila berubah cemas. "Aku harus melihatnya."
Edgar mencekal tangan Laila. "Maaf, tapi Nona Hazel sedang istirahat tidak bisa diganggu."
"Iya dia benar, biarkan Hazel istirahat. Aku percaya kamu bisa merawatnya, kami pergi dulu." Saka menarik tangan Laila untuk pergi.
Laila merengut sebal. Rasanya tidak rela, ia sangat ingin melihat Hazel dan kalau perlu ikut merawatnya. Hazel itu sahabat kesayangannya.
"Teman macam apa kau ini Saka? Hazel sedang sakit!" gerutu Laila ketika sudah hampir dekat dengan restoran resort.
"Kau tidak lihat wajah menyeramkan Edgar tadi? Dia tampak tak suka jika kita masuk ke kamar Hazel dan mengganggunya."
Laila mendengus, "Apa kau takut pada Edgar?"
Saka menggeleng cepat. "Tentu saja tidak. Sudah, jangan mengajakku berdebat."
***
Edgar berjalan dengan langkah sepelan mungkin, dan tidak menimbulkan suara. Kedua matanya melihat Hazel masih meringkuk di ranjang. Langkah Edgar semakin mendekat hingga ia duduk di tepian ranjang.
Perlahan tangannya terulur lalu mengusap dahi Hazel yang mengerut dalam. Apakah gadis ini bermimpi buruk?
Edgar menghela napas, ia berdiri lalu membentangkan selimut yang ia ambil di kamarnya tadi.
Lagi, Edgar mengambil sapu tangan dan membasahinya dengan air hangat lalu ia tempelkan di dahi Hazel. Edgar mengelus-elus puncak kepala Hazel berharap mimpi buruk yang gadis itu alami hilang. Beberapa menit kemudian dahi Hazel tidak mengerut lagi, ia sudah tidur dengan damai kembali.
Setelah melakukan itu semua, ia meraih telepon kamar. Perutnya sudah berbunyi, lebih baik ia menyuruh pelayan mengantarkan makanan ke kamar ini sekarang.
Beruntung telepon kamar Hazel tidak bermasalah seperti di kamarnya. Langsung saja ia memesan sop ayam yang hangat beserta nasi putih dan seporsi spaghetti.
Setelah selesai memesan, ia bangkit dan duduk di tempatnya semua. Di sofa.
Dua puluh menit kemudian, kamar di ketuk beberapa kali. Dengan cepat Edgar menuju pintu lalu membukanya.
Dahi Edgar mengerut dalam melihat pelayan membawa sebuah trolley yang berisi beberapa jenis makanan yang tidak ia pesan.
"Aku hanya memesan dua makanan," kata Edgar heran.
"Nona Laila meminta saya membawakan ini sekaligus Tuan."
Edgar mengangguk paham, ia mengambil alih trolley itu. "Terimakasih."
Pelayan itu mengangguk lalu melenggang pergi.
Edgar membawa trolley itu masuk dan menutup pintu rapat.
Edgar memperhatikan trolley itu. Ada sebuah termos bersisi air panas, dan juga lima botol air mineral. Terdapat pula roti bakar, spaghetti, sop ayam beserta nasi, sop jagung, dan juga ada daging asap plus sosis. Cukup banyak.
Edgar menggeleng tak percaya. "Siapa yang akan menghabiskan ini semua?" gumamnya.
Helaan napas keluar dari hidungnya. Pertama ia harus membangunkan Hazel.
"Nona, ayo bangun." Edgar mengguncang pelan bahu Hazel.
Dua kali ia bersuara, akhirnya Hazel bangun.
"Aku lelah," gumam Hazel lirih.
"Makan dulu, Nona."
Hazel mengangguk kecil. Ia mengubah posisinya menjadi duduk dan menyandar di kepala ranjang.
Edgar meraih sop ayam beserta nasi putih dan meletakkannya di hadapan Hazel.
"Terimakasih. Kau juga makan lah, Ed."
Edgar mengangguk singkat. Pria itu pindah ke sofa dengan membawa sepiring spaghetti yang ia pesan tadi. Ia memakan makan malamnya dengan diam, begitu pula dengan Hazel.
Diam-diam Edgar melirik ke arah Hazel yang begitu semangat makan. Dahi Edgar mengerut samar, ia pikir Hazel termasuk sosok gadis yang manja saat sakit. Biasanya orang sakit sedikit berubah lebih manja dan menolak untuk makan. Tapi ini ... Cukup mengejutkan untuknya. Walaupun begitu Edgar lega, apa yang dilakukan Hazel benar, harus makan dengan semangat agar cepat sembuh.
Lima menit kemudian piring Hazel telah kosong. Sop ayam di mangkuk kecil pun telah tandas.
"Aku ingin daging asap itu," ucap Hazel menunjuk sepiring berisi daging asap yang tipis-tipis di atas trolley.
Edgar meletakkan piringnya di meja dan mengambilkan apa yang diinginkan oleh Hazel.
"Ketika sakit, nafsu makan anda bertambah ya?" komentar Edgar singkat.
Hazel tersenyum kecut. "Aku hanya melakukan apa yang dikatakan seseorang. Katanya saat sakit aku harus semangat makan, agar sakitnya hilang."
"Siapa?"
"Mama," lirih Hazel.
Edgar mengangguk kaku, ia meletakkan piring berisi daging asap itu di hadapan Hazel dan mengambil alih piring bekas Hazel sebelumnya untuk diletakkan di trolley.
Mereka kembali makan dengan hening, Edgar pun melanjutkan makannya yang sempat tertunda.
"Apa kau mau mencoba ini? Ini lezat," tawar Hazel mengangkat piringnya.
Edgar menggeleng cepat.
"Spaghetti di kombinasikan dengan daging sangat lezat lho, Ed."
Edgar menghembuskan napas pelan. Ia menangkap maksud Hazel sekarang. Pria itu bangkit lalu duduk di hadapan Hazel.
Edgar menyodorkan piring spaghetti nya yang masih tersisa setengah. "Kalau anda ingin, tinggal bilang saja."
Hazel terkekeh pelan. "Kau peka juga ternyata."
Gadis itu mengambil beberapa lilitan spaghetti dan dipindahkannya di piring dagingnya. Setelah itu, ia memberi beberapa iris daging asap pula untuk Edgar.
"Selamat menikmati!" seru Hazel, kembali memasukkan makanan ke dalam mulutnya.
Edgar melirik piringnya yang masih menyisakan sedikit spaghetti. "Ya selamat menikmati," balas Edgar.
Sepuluh menit kemudian mereka telah menyelesaikan makan malam. Edgar menyusun piring-piring kotor di atas trolley, sedangkan Hazel kembali berbaring.
Edgar mendekati Hazel lalu meletakkan telapak tangannya di dahi Hazel.
"Panasnya masih ada. Anda minum obat lagi." Edgar menarik tangannya, ia mengambil obat pereda demam di atas nakas dan memberikannya pada Hazel.
Hazel duduk kembali dan menerima obat itu, dengan cepat ia masukkan pil itu ke dalam mulut. Edgar memberikan botol minum dengan cepat.
"Sudah." Hazel menyerahkan botol minumnya lagi.
Edgar menutup botol air itu dan meletakkannya di nakas. "Selamat istirahat."
Pria itu menarik selimut hingga ke leher Hazel.
Tak beberapa lama kemudian, Hazel sudah jatuh memasuki alam mimpi.
Edgar melirik trolley yang masih berisikan sop jagung dan roti bakar. Ia meraba perutnya yang tiba-tiba bunyi lagi.
Ya, tadi ia masih belum puas makan.
Edgar mengangkat bahunya acuh. Hazel sudah tidur dan kenyang, lebih baik ia yang menghabiskan makanan itu. Ia pun mengambil sop jagung lalu memakannya dengan lahap
***