Chapter 8

1317 Kata
Setelah menikmati makanan, mereka berencana akan kembali mengelilingi tempat the Pirates Bay ini, namun tiba-tiba hujan mengguyur membuat mereka basah. "Sepertinya kita harus kembali ke resort," kata Yumna yang diangguki oleh mereka. "Di sini tidak ada tempat berteduh yang pasti, kita akan semakin basah. Jadi ayo kembali ke mobil," interupsi Jacob. "Hujannya sangat deras, kita harus berlari!" seru Laila. Saka sudah menarik tangan Laila lebih dulu untuk berlari menuju mobil yang terparkir dengan jarak seratus meter dari posisi mereka. Hazel menarik tangan Edgar tanpa sadar, tangan satunya lagi ia gunakan untuk menutup kepalanya. Edgar menatap tangannya yang di pegang oleh Hazel. Apa gadis ini tidak sadar telah menariknya? Sesampainya di mobil, Hazel menatap ke belakang. Matanya melotot kaget mendapati Edgar yang berdiri dengan wajah datar. Ia pikir, tadi ia menarik Yumna, kenapa malah Edgar?! "Masuk langsung, Nona. Jangan melamun," tegur Edgar. Hazel melepaskan tangannya lalu masuk ke dalam mobil. Edgar pun sama, ia masuk ke dalam. Menduduki kursi di sebelah sopir. *** Setibanya di resort, mereka langsung menuju kamar masing-masing. Hazel yang sudah kedinginan berlari memasuki kamarnya. Edgar menatap pergerakan Hazel hingga tak terlihat lagi karena gadis itu telah masuk. Jelas sekali ia menatap tubuh menggigil Hazel. Apakah sedingin itu? Ia bahkan tidak terlalu merasa dingin. Suhunya terasa biasa saja. "Ed, bisakah kau antarkan cokelat panas untuk Hazel? Biasanya ia akan meminum cokelat panas ketika kedinginan," pinta Laila. Gadis itu belum memasuki kamarnya. Edgar menatap Laila sejenak lalu mengangguk. "Baik." Laila tersenyum, ia menepuk pundak Edgar dua kali. "Terimakasih, aku masuk dulu." Setelah itu Edgar hanya sendiri di lorong resort. Ia pun berjalan menuju kamarnya, ia harus mengganti baju setelah itu barulah mengantar cokelat panas. Dua puluh menit kemudian, Edgar selesai mandi. Ia mandi kilat dan memakai baju dengan pergerakan cepat. Edgar meraih telepon kamar resort, ia akan memesan cokelat panas di restoran resort ini. Pasti mereka menyediakan cokelat panas juga bukan? Namun anehnya, telepon kamar itu seakan tak berfungsi. Berkali-kali ia mencoba, tetap saja ada yang aneh dengan alat itu. Edgar mendengus pelan. Resort ini memang mewah dan indah, tapi pelayanan kamarnya sedikit buruk. Akhirnya ia memutuskan untuk menuju restoran resort sendiri. Untung saja di sini memang menyediakan apa yanh Edgar inginkan. Ia memesan kopi panas dan juga cokelat panas. Ketika akan meninggalkan restoran, ia melihat pastry dan cookies. Tanpa pikir panjang ia mengambil itu pula. Edgar membawa nampan yang terisi oleh dua pastry dan satu toples mini berisi lima belas cookies. Tak lupa dengan kopi miliknya dan cokelat panas milik Hazel. Tok... Tok... Tok... Edgar mengetuk pintu kamar Hazel beberapa kali, anehnya tidak ada sahutan. "Nona Hazel?" Tok... Tok... Tok... Satu menit menunggu akhirnya Hazel muncul dengan wajah kusut dan hidung yang memerah. "Apa?" tanya Hazel dengan suara serak. Dahi Edgar mengerut dalam. "Anda baik-baik saja?" Hazel mengangguk lemah. "Sedikit flu." Perhatian Hazel turun pada nampan di tangan Edgar. "Apa yang kau bawa?" "Cokelat panas dan camilan untuk anda." Hazel tersenyum tipis. "Terimakasih." Edgar menyerahkan nampan itu pada Hazel lalu mengambil kopinya sendiri. "Beritahu saja jika butuh sesuatu atau terjadi sesuatu." Hazel mengangguk dua kali. "Baiklah. Terimakasih." Hazel menutup pintu kamarnya. Edgar berbalik dan masuk ke dalam kamarnya yang berada tepat di hadapan kamar Hazel. Di luar masih di penuhi oleh hujan yang turun, cukup deras. Edgar berjalan menuju jendela kamar, menatap lautan lepas di sana. Berjarak sekitar dua ratus meter dari resort. Ombak-ombak di laut pun terlihat sangat besar karena hujan deras ini. Edgar menghela napas, ia duduk di sofa lalu menyesap kopinya yang mulai menghangat. Pikiran Edgar melayang pada rencana yang telah ia susun dengan sempurna. Melihat Hazel mulai tidak ketus dan terbuka padanya membuatnya berasumsi gadis itu sudah mulai bisa di dekati. Dan kemungkinan besar, rencananya akan segera terlaksana. Senyum miring mengulas wajah tampannya. Ia jadi tak sabar menantikan hari itu. Drrrttt... Drrttt... Kepala Edgar menoleh ke ranjang, di mana ponselnya tergeletak begitu saja. Ia bangkit lalu meraih benda pipih itu. Sebuah pesan dari Ansel, kakak kelas sekaligus asisten Gabriel. Ansel. Hazel bersamamu bukan? Dia baik-baik saja? Sebelah alis kanan Edgar terangkat naik membaca pesan aneh dari Ansel. Kenapa pria itu menanyakan Hazel? Ansel. Hei, kenapa kau hanya membacanya?! balas pesanku sekarang juga! Edgar berdecak pelan. Dengan cepat jari-jarinya mengetik balasan untuk Ansel. Edgar. Dia baik-baik saja. Ansel. Syukurlah, bisakah malam ini kau bawa Hazel ke Swiss? Gabriel mengalami kecelakaan, kondisinya sangat parah sekarang di rumah sakit. Tubuh Edgar menegang kaku membaca pesan dari Ansel. Tanpa pikir panjang ia menekan icon telepon di room chat nya dengan Ansel. "Apa yang terjadi?" tanya Edgar dengan datar. "Seseorang menyabotase mobil yang digunakan Gabriel pagi tadi. Saat itu kebetulan aku tidak bersamanya," jawab Ansel di seberang sana. Jelas dari nada suaranya sangat khawatir. "Kami tidak bisa pergi sekarang atau malam ini." "Kenapa?!" "Di sini hujan sangat deras, penerbangan pasti ditunda," sahut Edgar. Terdengar helaan napas berat dari Ansel. "Baiklah, besok pagi kalau bisa kalian ambil penerbangan pagi." "Baiklah. Apa hanya itu yang ingin disampaikan?" "Ya." Edgar langsung mematikan sambungan telepon. Ia menyesap sesapan terakhir kopinya. Edgar berdiri, meremukkan gelas kopi itu lalu membuangnya ke tong sampah. Ia mengantongi ponselnya dan berjalan santai keluar dari kamarnya. Tujuannya adalah kamar Hazel, bagaimana pun juga gadis itu harus tahu. Tok... Tok... Tok... Edgar terus mengetuk pintu kamar Hazel, sudah lebih dari sepuluh ketukan. Namun pintu tak kunjung dibuka oleh Hazel. Apa terjadi sesuatu? Edgar merogoh saku celananya mengambil ponsel, ia mencari kontak Hazel lalu mendial nomornya. "Mohon maaf nomor yang anda tuju se-." Edgar mematikan sambungan ketika mendengar suara dari operator. Ponsel Hazel sepertinya mati. Edgar memutar kenop pintu, mencoba menggedor nya namun hasilnya nihil. Ia tidak memiliki kunci cadangan kamar Hazel. Resepsionis. Ya pasti mereka memiliki kunci cadangan. Dengan langkah sedikit berlari, Edgar menuju lantai bawah menuju lobby resort. Napas Edgar terengah-engah kemudian ia mencoba mengatur napasnya. Setelah normal ia menatap wanita yang bertugas di meja resepsionis. "Ada yang bisa saya bantu, Tuan?" tanya Wanita itu dengan fasih menggunakan bahasa Inggris. Ia berasumsi bahwa Edgar adalah orang asing. Terlihat dari wajah bulenya itu. "Bisa kau buka kamar dengan nomor tiga puluh satu? Dari tadi temanku tidak membuka pintunya," ujar Edgar cepat. "Baik, Tuan. Tunggu sebentar." Wanita itu berbalik masuk ke sebuah pintu yang ada di belakangnya. Edgar menunggu tidak sabaran. Tak berselang lama wanita itu kembali dengan memegang sebuah kunci. "Mari, Tuan." Edgar dan wanita itu berjalan menuju kamar Hazel. Sesampainya di depan pintu, wanita itu langsung memasukkan kunci dan membuka pintunya. Ketika pintu terbuka, dengan langkah lebar Edgar masuk ke dalam. "Hazel?" Edgar mendapati Hazel tidur meringkuk di atas ranjang. Ekspresi gadis itu tampak tak nyaman, sesekali terdengar gumaman tidak jelas dari bibirnya. Edgar duduk di tepian ranjang Hazel lalu memeriksa suhu tubuh Hazel. Panas. Tatapan Edgar beralih ke nakas, cokelat panas yang ia bawa tadi masih tersisa setengah. Pastry dan cookies yang ia bawa masih utuh, pertanda gadis itu tidak menyentuh camilannya. Resepsionis wanita tadi berdiri di belakang Edgar. Raut wajahnya menunjukkan kecemasan. Edgar menoleh ke belakang sekilas. "Bisakah kau bawa obat pereda demam dan sebuah air hangat? Temanku sakit." "Baik, Tuan. Tunggu sebentar." Wanita itu pergi meninggalkan kamar Hazel. Edgar menarik selimut Hazel lalu membalutnya di tubuh gadis itu. Perlahan-lahan ia merubah posisi Hazel agar terlentang. Tidur dengan posisi meringkuk bukanlah nyaman. Edgar mengeluarkan sapu tangannya, ia mengelap keringat yang keluar dari pelipis Hazel. "K-kak G-Gab..." gumaman Hazel terdengar di indera pendengaran Edgar. Dahi Edgar mengerut. Apa Hazel sedang memimpikan Gabriel? Edgar menghela napas pendek. Ia meraba kening Hazel lagi, dan panasnya semakin terasa. "K-Kakk..." "Sepertinya ikatan batin mereka sangat kuat. Gabriel kecelakaan, dan sekarang adiknya jatuh sakit di tempat asing ini," gumam Edgar pelan, nyaris tanpa suara. Lalu Edgar terkekeh sinis. "Bagaimana jika hari itu tiba? Hari kematianmu, Hazel? Akankah Gabriel jatuh sakit seperti kau sekarang ini?" bisik Edgar nyaris tak terdengar siapapun. Hanya telinga Edgar lah yang dapat mendengarnya jelas. Tangan besar Edgar memegang dahi Hazel lalu mengelusnya pelan. "Tidurlah."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN