Pada pukul satu malam Hazel tersentak bangun. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali lalu mengubah posisinya menjadi duduk. Dan di saat itulah tiba-tiba rasa pusing mendera kepalanya.
"Sshhh," ringisnya.
Hazel menggelengkan kepalanya beberapa kali dan memijit pelipisnya. Dua menit kemudian, rasa pusing berangsur hilang.
Kepala Hazel menoleh ke samping kanan. Sofa kecil berpindah tepat di sebelah ranjangnya dan ditempati oleh Edgar yang terlelap dengan posisi duduk.
Ringisan pelan keluar dari bibirnya. "Pasti tidak nyaman tidur dengan posisi seperti itu," gumamnya. Merasa kasihan pada Edgar.
Hazel menyingkap selimut yang menutupi tubuhnya, mengambil satu selimut lalu menyelimuti tubuh Edgar. Walaupun ia tahu tidur dengan posisi duduk tidak nyaman, Hazel harap Edgar bisa menahannya. Karena ia pun tidak tega membangunkan pria itu yang tampak kelelahan dan terlelap nyenyak.
Setelah memastikan tubuh Edgar berbalut dengan selimut secara sempurna. Hazel meraba keningnya dan menghela napas lega, panasnya telah turun. Ia pun merasa sudah tidak kedinginan lagi. Hujan pun sudah reda entah sejak kapan.
Tiba-tiba kandung kemihnya terasa sangat penuh, dengan gerakan cepat ia bangkit dan berlari menuju kamar mandi. Ternyata pergerakan Hazel yang sedikit rusuh itu membuat dahi Edgar mengerut samar dan akhirnya kedua mata lelaki itu terbuka secara sempurna.
Edgar mengusap wajahnya dua kali dan menatap ranjang yang kosong. Di mana Hazel?
Beberapa detik kemudian Edgar menghela napas lega mendengar suara percikan air di kamar mandi.
Rasa kantuk sudah hilang dari Edgar. Ia menunduk menatap selimut yang ada di tubuhnya. Apakah Hazel yang menyelimuti dirinya?
"Kau sudah bangun ternyata," celetuk Hazel dengan suara canggung.
Edgar mengalihkan tatapannya dari selimut dan menatap Hazel. Anggukan samar tampak di kepalanya.
Hazel kembali duduk di ranjangnya dan memposisikan dirinya senyaman mungkin. "Demamku sudah reda, terimakasih sudah merawatku," ucapnya tulus.
Edgar mengangguk dua kali. Tanpa aba-aba pria itu berdiri lalu membungkuk di hadapan Hazel. Tangannya terulur memeriksa suhu tubuh gadis itu.
"Panasnya benar sudah turun," bisiknya dengan suara serak.
Hazel menyingkirkan tangan Edgar yang begitu lama berada di atas dahinya. "Kau bisa kembali ke kamarmu dan tidur, ingat besok kita jalan-jalan lagi."
Edgar menatap Hazel dengan ragu. Haruskah ia mengatakan sekarang kalau esok mereka akan ke Swiss?
Hazel yang menangkap maksud mimik wajah Edgar yang tampak ingin mengatakan sesuatu pun mengerti. "Ada yang ingin kau katakan padaku?"
"Besok jadwal kita ke Swiss, Nona. Tu-."
"Untuk apa ke Swiss?" potong Hazel bingung.
Edgar memutar bola matanya malas. Padahal ia belum selesai berbicara. "Tuan Gabriel mengalami kecelakaan kemarin, dan sekarang berada di perawatan intensif di rumah sakit."
Kedua mata Hazel melotot, ia menatap Edgar tak percaya. Respon otaknya tiba-tiba berjalan sangat lambat, ia masih mencerna ucapan Edgar.
"Kecelakaan? Kenapa bisa?" tanya Hazel dengan suara serak, nyaris menangis.
"Seseorang menyabotase mobil Tuan Gabriel," jawab Edgar singkat.
Tangis Hazel pun pecah. Mendengar seseorang menyabotase mobil Gabriel membuatnya tidak tenang. Pikirannya pada kasus pembunuhan kedua orangtuanya kembali teringat di dalam benaknya. Apa si pembunuh itu menargetkan kakaknya?
Hazel menangis dengan histeris. Ia meraih ponselnya dengan tangan gemetar dan mencari-cari kontak Ansel.
Tiga kali ia menghubungi asisten sekaligus sahabat Gabriel, tapi Ansel tak kunjung mengangkat telepon darinya.
Hingga pada panggilan ke lima barulah Ansel menjawab telepon Hazel. Edgar hanya memperhatikan Hazel dengan raut wajah tanpa ekspresi.
"Halo, Ansel? Bagaimana dengan kakakku?" tanya Hazel panik dan menangis.
"Hingga kini masih berada di ICU, dia belum sadar. Tapi kata dokter luka-lukanya sudah ditangani, dan operasinya berjalan dengan lancar. Tenanglah, Hazel ... Jangan menangis sesugukan gitu," ucap Ansel dengan nada lembut.
Mendengar kata operasi membuat Hazel semakin panik. "Operasi apa? Luka Kak Gab serius?"
"Kakinya patah, dan terjadi benturan yang hebat juga di kepalanya mengakibatkan geger otak ringan. Tapi semua sudah aman terkendali, tinggal menunggu Gabriel sadar."
Tubuh Hazel melemas mendengar kondisi Gabriel yang begitu parah.
"Istirahatlah, Hazel. Aku dengar tubuhmu panas. Gabriel aman bersamaku, aku akan memantau keadaannya."
"Demamku sudah turun. Besok aku akan ke sana. Beritahu aku nama rumah sakitnya."
"Baiklah, besok aku akan mengirimkan lokasi rumah sakitnya. Sekarang yang perlu kau lakukan tenang dan berhenti menangis. Okay?"
Hazel sesegukan kecil namun kepalanya mengangguk samar walaupun Ansel tak dapat melihat anggukan kepalanya. "Okay," lirihnya.
"See you tomorrow, jangan berpikir yang macam-macam dan tenangkan dirimu," pesan Ansel sekali lagi.
"Okay, aku mengerti." Hazel membalas dengan suara yang ia buat sesantai mungkin, padahal ia sedang menahan tangis.
Hazel memutus sambungan telepon. Dan tepat sambungan terputus ia kembali menangis.
Edgar yang melihat Hazel semakin menangis tidak tahu hendak melakukan apa.
"Tenanglah Nona."
Hazel melirik Edgar dengan mata yang berlinang airmata. "Bagaimana aku bisa tenang? Kakakku sedang kritis hiks."
"Tuan Gabriel pasti akan segera pulih. Anda harus sabar," ujar Edgar.
Hazel menggelengkan kepalanya. "Aku yakin ini ada sangkut-pautnya dengan pembunuh yang membunuh Papa dan Mama. Pasti mereka berencana menghabisi Gabriel juga," ucap Hazel dengan suara sinis.
Edgar hanya diam. Karena apa yang diucapkan Hazel tidak sepenuhnya salah. Ia memang akan menghabisi Gabriel dan Hazel kelak. Tapi menyabotase mobil Gabriel di Swiss bukanlah rencananya.
"Kenapa kau diam? Kau pasti berpikir yang sama 'kan?" pungkas Hazel.
Edgar diam membisu.
"Dasar pengecut! Beraninya menyerang sembunyi-sembunyi," umpat Hazel kasar. Tangisnya sudah mereda, berganti dengan emosi yang menyelimuti dirinya.
"Anda tidak bisa sembarang menuduh seperti itu, Nona."
"Kau membela para penjahat itu?!" geram Hazel.
Edgar buru-buru menggeleng. "Bukan seperti itu. Ah sudahlah Nona, lebih baik anda lanjut tidur karena perjalanan ke Swiss butuh waktu yang panjang."
"Bagaimana bisa aku tidur sementara keadaan kakakku tidak jelas?!" raung Hazel.
"Saya akan menangkap pelakunya, anda tenang saja. Semua akan baik-baik saja." Lagi, Edgar membujuk. Seperti bukan dirinya saja.
Tapi ia memang harus membujuk Hazel, karena ia sendiri sakit kepala melihat Hazel uring-uringan nangis dan marah seperti sekarang ini.
Hazel menatap Edgar penuh harap. Setahunya Edgar adalah sosok yang kuat berdasarkan tes yang diberikan Gabriel sebelum memperkerjakan Edgar. "Benarkah? Janji kau akan membantuku menangkap penjahat itu?"
Tanpa pikir panjang Edgar mengangguk. "Janji, anda tidak perlu khawatir."
Maka seketika Hazel tenang, tidak uring-uringan lagi.
"Apa kau sudah memesan tiket?"
Edgar mengangguk. "Penerbangan pagi, jam lima subuh nanti."
"Masih ada sekitar dua jam lagi. Lebih baik kau bereskan barang-barangmu, Ed."
Edgar mengangguk. "Ya anda juga."
Edgar pamit lalu berjalan keluar meninggalkan kamar Hazel.
Sesampainya ia di kamarnya, Edgar menjatuhkan dirinya di ranjang. Kepalanya kembali berdenyut pusing. Permintaan Hazel kembali terputar di dalam benaknya.
Hazel ingin ia menangkap penjahat itu. Kalau masalah Gabriel mungkin ia bisa atasi, karena memang ia tidak tahu siapa yang mencelakai Gabriel dan tentu saja bukan dirinya. Tapi kalau mau mencari pembunuh Cole dan Sophia, bagaimana bisa? Sedangkan pembunuh itu adalah dirinya.
Benar-benar menggelikan!
Edgar terkekeh sinis. "Bodoh sekali kau Hazel. Sampai kapanpun kau tidak akan pernah bisa menemukan pelaku yang membunuh kedua orangtuamu."
***
to be continued...
nahloh, ntar gmn tu yak wkwkw. pembunuh Edgar, yakali dia nyerahin dirinya sksksks.
jangan lupa tap love dan comments yup^^
*jujur komentar kalian bikin aku semangat ngetik huhuuuಥ‿ಥ