Setelah mengepak baju dan keperluannya yang lain, Hazel berencana akan bertemu dengan Laila dan Saka. Sudah lama mereka tidak berkumpul, terlebih Laila dan Saka tidak bisa menjenguknya di rumah sakit karena di batasi oleh Gabriel. Siang ini pun, Laila dan Saka hanya diizinkan ke mansion. Tidak boleh membawa Hazel keluar rumah.
"Nanti kalau Laila dan Saka sudah datang, tolong siapkan minum dan camilan ya, Em," ujar Hazel sambil menjatuhkan dirinya di atas ranjang.
"Baik, Nona." Emma menutup koper Hazel dan meletakkannya di sudut kamar. Setelah semua rapi dan beres, wanita itu keluar dari kamar sang Nona.
Hazel melirik meja belajarnya. Di atas sana ada laptop dan iPad nya. Ia jadi teringat kata-kata Gabriel pagi tadi. Kakaknya itu mengatakan ia tidak boleh membawa laptop dan iPad nya. Tidak hanya itu saja, Gabriel langsung membelikan satu unit laptop, iPad dan iPhone baru untuknya. Semua harus baru dan nomor ponsel Hazel pun ikutan baru.
Gabriel hanya mewanti-wanti menyadapan atau sesuatu yang lebih bahaya dari itu semua.
Hazel menghela napas pelan. Ia melirik sekeliling kamarnya. Hazel pasti akan merindukan kamar ini, apalagi tidak tahu sampai kapan ia harus bersembunyi. Kamar ini telah ia tempati selama puluhan tahun, terlalu banyak kenangan di sini.
Tok... Tok... Tok...
Lamunan Hazel buyar ketika mendengar suara ketukan pintu. Dengan cepat ia bangkit membuka pintu kamar.
"Teman-teman anda sudah datang, Nona," kata Edgar datar.
Hazel mengangguk. "Okay, terima kasih Ed."
Hazel menutup pintu kamarnya dan turun ke bawah, diikuti oleh Edgar.
Ketika di ujung tangga, Hazel menoleh ke belakang. "Kau lakukan apa yang ingin kau lakukan. Tidak usah mengikutiku Ed, lagi pula sekarang aku di wilayah mansion."
"Baik."
Edgar melanjutkan langkahnya mengambil jalan yang berbeda dengan Hazel.
Hazel segera menuju ruang tamu di mana Laila dan Saka menunggu.
"Oh my god Hazel!! Aku kangen bangett," seru Laila langsung berhambur memeluk Hazel dengan erat.
"Aku juga merindukan kalian," balas Hazel.
Saka yang duduk di sofa hanya memperhatikan kedua gadis itu yang melepas rindu dengan berpelukan.
"Bagaimana keadaanmu, Haz? Maaf kami tidak bisa menjengukmu di rumah sakit. Kak Gabriel sangat protektif," ungkap Saka dengan nada kekesalan di akhir kalimatnya. Bagaimana ia tidak kesal? Gabriel melarangnya dan Laila untuk menjenguk Hazel, benar-benar menjengkelkan. Tapi keduanya tak berani protes dan hanya bisa menurut atas ucapan Gabriel.
"Aku sudah lebih baik sekarang, hanya saja Jacob masih koma," jawab Hazel sendu. Gadis itu teringat kembali dengan kondisi tunangannya yang entah seperti apa nasibnya nanti. Dokter tidak bisa memprediksi kapan Jacob akan sadar dari komanya. Tapi Hazel harap, semua akan kembali berjalan normal seperti semula dengan Jacob yang juga kembali pulih dan sehat seperti sedia kala.
"Aku dan Saka terus berdoa untuk kesembuhan Jacob. Pria itu harus segera bangun karena ada tunangannya yang sedang menunggunya," timpal Laila serius.
Hazel tersenyum. "Terima kasih atas doanya. Ayo duduk!"
Hazel dan Laila duduk bersampingan. Sementara Saka di single sofa di depan mereka.
"Apa pelakunya sudah ditemukan, Zel?" tanya Laila dengan cemas.
Hazel menggeleng lesu lalu menyugar rambutnya ke belakang. "Kami mencurigai pelakunya adalah orang yang sama dalam kasus pembunuhan kedua orangtuaku. Tapi hingga kini masih belum ada titik terang. FBI dan CIA pun turut membantu kasus ini."
"Semua akan baik-baik saja, Haz. Apalagi orang-orang jahat pasti akan terkena karma dan kesengsaraan karena telah mencelakai orang," balas Saka.
"Iya, aku harap secepatnya mereka bisa tertangkap. Dan aku tidak perlu bersembunyi-sembunyi lagi," sahut Hazel.
"Bersembunyi?" tanya Laila tak paham, dahinya mengernyit samar.
"Besok aku akan pergi jauh dari sini, La. Aku akan pergi ke suatu kota untuk mengasingkan diri. Kak Gab bilang ini bagus untukku, karena para pembunuh itu juga pasti akan kembali mengincarku."
"Mau sembunyi di mana?" tanya Saka penasaran.
"Ke kota Bristol."
Laila mendesah kecewa dengan bibir yang memberenggut. "Jadi kita tidak bisa ketemu lagi untuk beberapa waktu kedepan? Aku sangat kecewa."
"Ya mau bagaimana lagi, La. Hazel juga harus menyelamatkan dirinya," sahut Saka tenang. Apa yang pria katakan itu benar, mereka tidak bisa melarang atau mencegah rencana persembunyian Hazel.
"Kita masih bisa komunikasi lewat telepon, tenang saja." Hazel menimpali dengan santai.
Laila merogoh saku celananya mengambil ponsel. "Baiklah. Aku rasa kau mengganti nomor ponselmu, bisakah aku menyimpannya?" Laila menyadarkan ponselnya pada Hazel.
Hazel mengangguk. "Akun emailku sementara akan di non-aktifkan dan juga nomor ponselku diubah. Nanti aku akan memberitahumu, La."
Laila mengangguk. "Aku berdoa pada Tuhan, semoga masalah ini cepat teratasi."
"Aamiin, terima kasih La."
Ketiga manusia itu kembali bercengkrama membahas banyak hal seolah lupa waktu. Lebih lupa lagi Hazel yang pada minuman.
"Emma!" panggil Hazel dengan keras.
Emma datang tergopoh-gopoh. "Iya, Nona?"
"Kenapa sampai sekarang minumnya belum diantar?"
Emma meringis pelan. "Sedang saya siapkan Nona. Saya sedang menunggu air panas."
Hazel mengangguk. "Kalau begitu tolong cepat, ya."
Emma mengangguk. "Baik, Nona."
***
Setelah menceritakan permasalahan dan keberangkatannya esok hari, Laila dan Saka baru pulang ke rumah masing-masing pada pukul enam sore. Itupun diusir secara halus dulu oleh Gabriel. Hazel benar-benar tidak mengerti isi kepala kakaknya itu yang tega mengusir kedua sahabatnya.
"Zel, ayo makan. Nontonnya dilanjut nanti," ajak Gabriel. Pria itu mengambil iPad baru Hazel dan menatap sang adjk dengan serius.
Hazel meringis kesal. Padahal ini lagi ditengah-tengah konflik film, tapi Gabriel seenaknya aja merampas iPad nya dan mengeluarkan saluran film yang sedang ia tonton.
Walaupun sangat keberatan, tidak ada yang bisa Hazel lakukan selain menurut.
"Ed, bergabunglah di sini." Gabriel menunjuk kursi kosong di depannya. Awalnya Edgar hendak menolak, namun ia urungkan. Lelaki itu juga bergabung di meja makan.
Hazel menyusul setelah membasuh wajahnya.
"Kenapa banyak sekali makanan, kak?" tanya Hazel heran.
"Aku hanya ingin menyediakan banyak makan malam. Lagi pula ini makan malam terakhir kita, karena besok kita akan terpisah sementara waktu," ujar Gabriel lesu.
Hazel mengangguk. Dengan cekatan ia memindah beberapa makanan di piringnya dan mulai melahap makanannya.
"Apa rumahmu di sana itu benar-benar aman, Ed?"
Edgar mengangguk. "Aman sekali, Tuan. Terlebih posisi rumah di sana cukup jauh perkotaan. Letaknya di dekat hutan dan juga laut."
"Benarkah ada laut?" tanya Hazel antusias.
Edgar mengangguk. "Iya, Nona. Area rumah itu juga cukup terbilang tenang dan tidak berisik."
Gabriel menganggukkan kepalanya. "Baiklah, aku berharap kalian hidup dengan baik di sana."