Setelah membawa masuk koper Hazel, Edgar pergi menuju cafe tadi. Pasti di parkiran ada CCTV, dan ia harus melihatnya.
Sesampainya di cafe, Edgar langsung masuk ke dalam. “Apa aku bisa melihat CCTV di parkiran cafe ini? Beberapa saat yang lalu seseorang melemparkan sesuatu kekaca belakang mobilku tanpa alasan yang jelas,” ujar pria itu pada sang kasir.
“CCTV hanya ada di dalam cafe ini, Tuan. Di luar tidak ada,” balas kasir itu.
Edgar menggeram kesal. Cafe sebagus ini masa tidak dipakaikan CCTV sih?!
“Sepertinya mereka adalah orang iseng, Tuan,” lanjut sang kasir dengan ragu.
Edgar memandang kasir perempuan itu dengan tajam, lalu tanpa mengucap sepatah katapun lagi ia keluar dari sana.
Sial, apakah para perusuh itu tahu jika di parkiran tidak ada CCTV makanya mereka mencoba untuk menyerang Hazel?!
Karena tidak membuahkan hasil, akhirnya Edgar kembali pulang.
***
Julia dan Emma begitu memanjakan Hazel sejak satu jam yang lalu. Kedua wanita itu sigap membantu Hazel walaupun Hazel tidak terlalu membutuhkan bantuan.
“Nona, anda ingin makan buah apel? Biar saya kupaskan,” tawar Emma.
Hazel yang sedang duduk anteng menonton televisi pun menoleh. “Aku akan mengupasnya sendiri, Em. Berikan padaku.”
Emma menggeleng. Wanita itu duduk di sebelah Hazel dengan membawa beberapa apel dan pisau beserta dua piring. Satu piring tempat untuk sampah kulit apel dan satunya lagi untuk hasil potongan apelnya.
Hazel menghela napas dan membiarkan Emma melakukan apa yang ia inginkan.
“Nona, anda ingin minum?” Julia datang dengan membawa segelas air putih.
“Ya Tuhan, ada apa dengan kalian? Kalau aku haus, aku bisa mengambilnya sendiri kok. Jadi tidak usah repot-repot, ya?” seru Hazel geram bercampur gemas.
Emma dan Julia saling bertukar pandang. “Maaf, kami hanya ingin melayani anda, Nona. Lagi pula anda baru saja keluar dari rumah sakit.”
Hazel tersenyum. “Aku hargai niat baik kalian. Tapi jam segini bukankah lebih baik kalian memasak? Sebentar lagi kak Gab pulang lho. Pasti dia lapar.”
Julia meringis pelan. “Maaf Nona. Kalau begitu saya akan masak sekarang. Ini air minumnya.”
Hazel mengangguk samar. “Terima kasih.”
“Em, pergilah bantu Julia. Aku bisa mengupas kulit apel ini sendiri.”
Emma mengangguk patuh. “Baik Nona.”
Setelah Emma pergi, Hazel kembali mengalihkan tatapannya ke televisi sambil menikmati dua potong apel yang telah bersih di kupas oleh Emma sebelumnya.
Dari sudut ekor matanya, Hazel melihat Edgar memasuki rumah. “Kau dari mana saja, Ed?”
Edgar menghampiri sofa di mana Hazel duduk. “Dari luar, saya mengisi bensin mobil, Nona.”
Hazel mengangguk paham. Ia menunjuk buah apel yang kulitnya masih menempel sedikit. “Bisa tolong kupaskan untukku?”
Entah kenapa Hazel ingin sekali merepotkan Edgar walaupun tadinya ia menyuruh Emma dan Julia untuk tidak usah repot-repot.
“Baik, Nona.” Untuk pertama kali dalam hidupnya, Edgar mengupas kulit apel untuk seorang perempuan. Beruntungnya Hazel.
Edgar menguliti kulit apel itu sembari sesekali ikut menonton siaran yang sedang ditonton sang Nona. Film komedi lah yang diputar, namun itu tak cukup membuatnya tertawa.
Setelah mengupas dua buah apel, Edgar meletakkan pisaunya. “Butuh sesuatu lagi, Nona?” tanyanya.
“Tidak, kau bisa pergi.”
Edgar mengangguk. “Jika butuh sesuatu, saya ada di kamar, Nona.” Ia memang berencana untuk mandi, terakhir kali ia mandi adalah kemarin malam. Walaupun ia tidak bau, tetap saja ia merasa risih. Terlebih ia baru mendapat jatah mandi setelah sibuk dari pagi.
Hazel mengangguk samar. Edgar pun berdiri dan meninggalkan ruang keluarga.
***
Malam ini Gabriel pulang lebih cepat, ia menemukan Hazel tertidur di sofa dengan selimut bulu yang menghangati adiknya itu.
“Emma, apakah Hazel sudah makan?”
Emma menggeleng. “Belum, Tuan. Dari sore tadi Nona tertidur pulas, saya jadi tidak tega membangunkannya.”
“Di mana Edgar?”
“Dia ada di kamar, Tuan. Setelah menyelimuti Nona, dia pergi ke kamarnya.”
Gabriel menganggukkan kepalanya, ia melirik arloji di pergelangan tangannya. Masih pukul tujuh.
“Siapkan makan malam, Em.”
“Baik, Tuan.”
Setelah Emma pergi, Gabriel duduk di atas permadani. Matanya memandang wajah cantik Hazel. Sebentar lagi adiknya ini akan pergi ke kota sebelah. Gabriel sebenarnya tidak rela, namun semua ini agar Hazel aman.
Gabriel menjulurkan tangannya, ia mengelus puncak kepala Hazel. “Zel, bangun. Kita makan dulu yuk!”
Hazel masih saja pulas, seperti orang yang baru saja selesai kerja rodi selama bertahun-tahun.
“Zel, bangun dulu.” Gabriel mulai menggoyangkan bahu adiknya.
“Engghh...”
“Kakak udah pulang?” tanya Hazel serak dengan mata yang sayu.
“Makan dulu ya, nanti lanjut tidurnya,” ujar Gabriel halus.
Hazel mengangguk lesu. “Aku cuci muka dulu.” Gadis itu menyibak selimutnya dan barjalan menuju kamar mandi di lantai satu.
Gabriel menuju ruang makan. Di meja, sudah banyak makanan tersaji. Makanan yang benar-benar harum dan menggugah seleranya.
“Kalian juga bergabung saja di sini,” kata Gabriel pada Julia dan Emma yang akan beranjak meninggalkan ruang makan.
“Apa tidak apa, Tuan?”
“Santai saja, lagi pula ada yang ingin aku sampaikan. Julia, bisa tolong panggilkan Edgar?”
Julia langsung mengangguk. “Baik, sebentar Tuan.”
“Duduklah, Em,” suruh Gabriel sambil menunjuk salah satu kursi.
“Anda saja duluan Tuan,” kata Emma sungkan.
Gabriel langsung duduk. Tak lama, Hazel tiba dan langsung duduk di sebelah Gabriel dan langsung disusul oleh Edgar yang datang bersama Julia.
“Duduklah kalian, makan malam terlalu banyak. Jadi kita makan bersama,” kata Gabriel.
Julia, Emma dan Edgar langsung duduk di hadapan kedua majikan.
Gabriel mengambil makanannya sendiri tanpa dilayani, ia melirik ketika pekerjanya yang duduk dengan canggung. Ah tidak, hanya Julia dan Emma saja yang canggung, Edgar tampak biasa saja.
“Ayo mulai makan, nanti aku akan memberitahu kalian sesuatu.”
Hazel menoleh menatap sang Kakak. “Apa kak?”
“Makan dulu, perut kalian pasti juga sudah lapar.”
Mereka semua mengangguk paham dan mulai mengambil makanan masing-masing. Hanya ada suara dentingan sendok dan garpu di meja itu.
“Hm, siapa yang bikin chicken spicy ini? Enak sekali,” puji Hazel sambil makan dengan lahap.
Emma tersenyum bangga, itu adalah resep barunya. Ia hanya coba-coba saja, dan syukurnya disukai oleh Hazel.
“Saya Nona, tapi Julia juga ikut membuatnya,” jawab Emma.
Hazel mengangguk samar dan kembali memasukkan potongan-potongan ayam yang kecil itu ke dalam mulutnya.
Sekitar lima belas menit kemudian mereka telah selesai makan. Gabriel mengelap mulutnya dan memandang Edgar serius.
“Jadi kapan kalian akan berangkat?”
Hazel menoleh ke Edgar. Sejujurnya ia juga tidak terlalu tahu kapan berangkat, bukankah semu asudah diatur oleh Gabriel?
“Mungkin lusa Tuan. Lebih cepat lebih baik,” jawab Edgar.
“Memangnya Nona dan Edgar akan pergi ke mana?” tanya Emma bingung.
“Aku belum memberitahu pada kalian ya. Untuk sementara, Hazel harus jauh dari kota ini. Dia akan pergi bersama dengan Edgar dan juga Emma.”
Mata Emma terbelalak kaget. “Saya, Tuan?”
Gabriel mengangguk mantap. “Hanya kau yang bisa, kalau Julia tidak. Terlebih Julia sudah memiliki anak.”
“Baik, Tuan.”
“Tugasmu cukup gampang, sama seperti di mansion ini. Kau cukup memasak untuk adikku dan pastikan ia baik-baik saja di sana, laporkan padaku jika terjadi sesuatu yang buruk,” tutur Gabriel lugas.
“Baik, Tuan.”
Sekarang tatapan Gabriel mengarah pada adiknya. “Mulai besok, kemasi dan susun baju-bajumu okay?”
Hazel mengangguk lesu. “Iya, kak.”
“Setelah semua kondisi aman, kita pasti berkumpul lagi,” ujar Gabriel menghibur adiknya yang murung.
Hazel mengangguk lesu. “Apa ada hal lain yang perlu dibicarakan lagi kak?”
Gabriel menggeleng. “Kalian sudah bisa melanjutkan pekerjaan kalian,” ujarnya pada Julia dan Emma.
“Baik, Tuan.”
“Kalau gitu aku ke kamar, Kak. Sudah mengantuk.” Hazel berdiri dan bersiap menuju kamarnya.
“Nice dream, Hazz.”
“Nite kak.” Hazel tersenyum tipis lalu mengecup pipi Gabriel sekilas sebelum akhirnya berjalan menaiki lantai atas.
“Edgar, temui aku di ruang kerja.”
“Baik, Tuan.”
Gabriel pergi menuju ruang kerjanya terlebih dahulu. Sedangkan Edgar pergi menuju kamarnya untuk meletakkan ponselnya.
Setelah menyembunyikan ponselnya dan mengunci pintu kamarnya, barulah Edgar menuju ruang kerja Gabriel.
“Ada apa, Tuan?”
“Apa setelah pulang dari rumah sakit tadi kalian langsung pulang?” tanya Gabriel menginterogasi.
Edgar menggeleng. “Kami mampir ke cafe dulu, Tuan. Nona Hazel meminta dibelikan es krim.”
“Setelah itu tidak ada yang terjadi dan kalian pulang?”
Edgar menggeleng. “Sempat terjadi insiden kecil, Tuan. Beberapa orang tak dikenal menyerang mobil, untungnya Nona Hazel cepat menghubungi saya. Saya kembali ke mobil dan mereka sudah tidak ada.”
“Adikku baik-baik saja?” tanya Gabriel cemas.
“Nona Hazel aman, Tuan. Tidak ada luka lecet atau apapun.”
Gabriel menghela napas lega. “Baiklah, memang lusa yang terbaik untuk kalian pergi. Lebih cepat.”
Edgar mengangguk setuju. “Ada lagi yang anda perlukan?”
Gabriel menggeleng. “Tidak ada, tapi aku sudah memberi pesan ini padamu ratusan kali. Tolong jaga adikku di sana, bagaimana pun juga kami akan terpisah jauh. Jangan buat dia sedih atau stres.”
Edgar mengangguk paham. “Baik, Tuan.”
Baru saja Edgar hendak melangkah keluar, Gabriel kembali mencegatnya. Edgar memutar tubuhnya dan kembali menghadap Gabriel serius.
"Aku lupa mengatakan ini padamu, besok kalian akan pergi menggunakan Jet pribadi keluarga. Jadi, tidak masalah untukmu jika kau ingin membawa banyak perlengkapan dan barang."
Edgar terdiam sejenak. Ini melenceng sedikit dari rencananya. Harusnya yang mengantarnya adalah Ariel. Namun ia tak bisa protes sekarang. "Baik, Tuan."
"Kalau begitu, kau boleh kembali ke kamar. Selamat istirahat."
Edgar mengangguk kecil. "Ya, anda juga selamat istirahat, Tuan."