Chapter 51

1649 Kata
Hari ini Hazel telah diizinkan pulang oleh Dokter. Sementara Jacob masih dalam kondisi koma. Padahal sudah lebih dari empat hari bahkan mau memasuki seminggu, entah kapan lelaki itu akan membuka matanya dan mengembangkan senyum manis yang sangat Hazel rindukan itu. Sejak kemarin, berita tentang kecelakaan Jacob dan dirinya menyebar luas. Namun, seperti yang Hazel duga, pihak manager dan keluarga Jacob, meminta para wartawan untuk tidak rusuh di rumah sakit. Mereka semua telah diminta pulang dan dimohon untuk tidak terlalu meliput tentang Jacob dan cukup meminta doa mereka semua agar Jacob segera siuman. “Semua barangnya telah dipindahkan Edgar ke mobil, kak,” jawab Hazel ketika Gabiel menanyakan di mana keberadaan koper miliknya. Sejak Hazel kecelakaan, tingkat protektif dan cerewetnya Gabriel bertambah. Ada saja yang ditanyakan lelaki itu pada Hazel. Gabriel baru saja tiba di rumah sakit setelah menghadiri rapat penting dengan pemilik perusahaan lain. “Kalau gitu, kau mau pulang denganku atau mobil Edgar? Akan lebih bagus denganku sih, tapi terserahmu juga. Jadi gimana?” tanya Gabriel beruntun. “Kakak beneran sudah selesai bekerja hari ini?” Hazel bertanya balik. Gadis itu tak yakin jika Gabriel tidak memiliki banyak pekerjaan saat ini. Gabriel meringis lalu menggeleng samar. “Sebenarnya aku masih harus meninjau proyek apart siang ini,” jawabnya. “Terus kenapa kak Gab ke sini?” Dahi gadis itu mengernyit samar. “Aku ingin menjemput adikku tentu saja,” balas Gabriel dengan kekehan kecil. “Aku akan pulang bersama Edgar, kakak kembali saja ke kantor. Kalau pekerjaan ditunda, nanti malah jadi numpuk,” imbuh Hazel yang seratus persen benar. Gabriel menelisik raut wajah sang adik, tidak ia temukan keberatan di kedua manik Hazel. “Baiklah, aku akan kembali ke kantor. Di rumah, langsung istirahat ya?” Hazel menganggukkan kepalanya. “Iya.” “Ya sudah, ayo kita turun bersama.” Gabriel menggenggam tangan Hazel dan mereka keluar dari kamar inap Hazel. “Tunggu dulu kak, aku mau lihat Jacob dulu.” Hazel menggeser tangan Gabriel yang hendak menekan lantai satu. Ia langsung menekan tombol angka di mana lantai tempat ICU berada. Bagaimana pun juga ia harus berpamitan pulang pada Jacob dulu. Di depan ruangan ICU, bodyguard yang dipekerjakan oleh Andrew masih berjaga dengan sangat baik. Mereka memberi jalan pada Hazel untuk mendekati pintu. Hazel menghela napas berat ketika kondisi Jacob sama seperti malam tadi. Entah apa yang sedang dimimpikan lelaki itu. Jacob sangat betah dalam tidurnya. “Cepatlah bangun, Jac. Aku selalu menunggumu,” lirih Hazel nyaris tak terdengar. Di belakang Hazel, Gabriel mendekat. Ia merangkul bahu adiknya ia sambil mengelus bahunya. “Dia pasti akan bangun sebentar lagi. Jangan nangis,” bisiknya. Hazel mengangguk samar. “Jika aku pergi nanti, kakak fotoin ya Jacob nya. Karena aku nggak bisa ke rumah sakit langsung,” pintanya. “Iya, aku akan mengirimkan laporan Jacob setiap hari. Tenang saja. Kalau gitu, kita pulang ya?” Lagi, Hazel mengangguk samar. “Cepat sadar, aku menunggu dan mencintaimu, Jac.” Setelah berpamitan, mereka segera berjalan menuju lift. Sesampainya diparkiran, Hazel berpisah dengan Gabriel karena lelaki itu akan kembali bekerja. Edgar membukakan pintu mobil di bagian belakang untuk Hazel. Tidak lama, mobil Edgar  melaju meninggalkan pekarangan rumah sakit. Dengan kecepatan sedang, Edgar mengendarai kuda besi itu. sesekali matanya melirik ke belakang melalui kaca di depannya. Hazel tampak melamun, dan itu membuatnya penasaran. Apa yang sedang dilamunkan oleh gadis itu? “Anda ingin membeli sesuatu, Nona?” tanya Edgar yang memecah keheningan. Hazel menoleh menatap Edgar dan berpikir sejenak lalu menggeleng, “Tidak ada.” Edgar tidak menyerah, ia tidak suka dengan raut wajah murung Hazel. Ia berpikir keras, hal apa yang dapat membuat Nona-nya ini senang. Ayo berpikir Edgar! Berpikirlah! Ice cream. Edgar tersenyum tipis. Ya, Hazel tergila-gila dengan es krim. “Anda ingin membeli es Nona? Kita ke cafe favorit anda?” tanyanya. Kali ini Edgar yakin sang Nona tidak menolak. “Ide bagus. Ayo ke sana!” sahut Hazel semangat lantaran mendengar tawaran Edgar. Edgar tersenyum lebar, ia merasa bangga dan senang karena akhirnya dapat membuat Hazel kembali senang. Edgar membelokkan mobilnya, mengambil jalan yang berbeda. Ia menginjak pedal gas dengan kuat karena jalanan tidak terlalu ramai. Sesampainya di parkiran cafe. Edgar melirik Hazel yang bersiap akan turun. “Saya saja yang turun, anda tunggu di sini saja.” Hazel pun mengangguk. “Okay, terima kasih. Rasa strawberry ya, Ed. Toppingnya kayak biasa,” ucap gadis itu me-request. Edgar mengangguk paham, dan turun. Karena ingin membelikan Hazel es secepatnya ia keluar dari mobil dan memasuki cafe, hingga ia lupa menyuruh Hazel untuk mengunci pintu. *** Hazel menunggu Edgar yang pergi dengan tenang seraya membunuh waktunya dengan memainkan game di iPad miliknya yang telah diberikan Gabriel tadi di rumah sakit. Gadis itu tidak sadar, bahwa sedari tadi tiga orang berpakaian serba hitam mondar-mandir tidak jelas di sekitar mobil Edgar. Duk! Perhatian Hazel teralihkan oleh suara benturan yang cukup keras itu, ia menatap kaca belakang mobil yang retak. Jantung Hazel berdetak dengan kencang ketika melihat sosok bertopeng berada di di belakang mobil dengan membawa sebilah kayu. Hazel langsung bergerak mengunci pintu di sebelahnya dan juga di pintu kemudi Edgar. Dengan tekan satu tombol, maka pintu otomatis terkunci semua. Hazel berjongkok di bagian bawah kaki mobil sambil menundukkan kepalanya. Jantungnya benar-benar terasa menggila sekarang. Siapa mereka? Kawasan parkiran begitu sepi, membuatnya semakin takut. Bagaimana nasibnya ini?! Harapan Hazel hanya satu, Edgar segera kembali dan menyelamatinya. Tok! tok! tok! Kaca pintu disebelahnya diketuk-ketuk dengan kasar dan brutal. “Keluarlah!” “Oii, buka pintunya!” Seruan kasar terdengra sayup-sayup ke dalam. Dengan tangan bergetar, Hazel meraih ponselnya yang terjatuh di kursi. Ia mendial nomor Edgar langsung. “S-seseorang me-memecahkan kaca jendela mobil, Ed!” pekik Hazel ketakutan. Ucapannya pun jadi terbata-bata lantaran tubuhnya gemetar. Ia sangat takut sekali. Hazel tidak mendengar balasan dari Edgar. Sambungannya diputus mati begitu saja oleh Edgar membuat Hazel terkejut bukan main. Apakah Edgar tidak mau membantunya?! Hazel menutup kedua telinga dan memejamkan matanya. Dalam hati ia terus berdoa pada Tuhan agar orang-orang jahat ini segera pergi. Hazel berharap ia tidak kembali celaka. baru saja ia keluar dari rumah sakit, masa harus dilarikan lagi ke rumah sakit, kan nggak lucu! Pemikiran buruk Hazel sirna ketika tak lagi mendengar sayup-sayup suara gaduh di luar. Ia membuka matanya dan berpindah duduk di kursi. Matanya menatap keluar yang ternyata sudah tidak ada lagi orang-orang yang memakai topeng. Hazel menutup matanya dan bernapas lega. Tok... tok... tok... Gadis itu terperanjat kaget saat mendengar kaca kembali diketuk. Namun kekagetannya sirna kala melihat Edgar menatapnya dengan penuh cemas di luar. Dengan cepat Hazel membuka pintu di sebelahnya dan langsung memeluk Edgar. “Mereka mengerikan, mereka membuat kaca di belakanga retak,” adu gadis itu dengan tubuh bergetar. Untuk sejenak, tubuh Edgar menjadi kaku karena dipeluk tiba-tiba oleh Hazel. Jantungnya terasa terpompa. Edgar tidak ingin terus larut dalam suasana yang tidak terlalu ia mengerti. Pria itu berdeham pelan. “Sekarang sudah aman, Nona.” “Jangan tinggalkan aku lagi,” lirih Hazel dengan suara yang serak. “Saya tidak pergi.” Edgar menjawab dengan suara berat yang khas. Edgar merasa baju bagian dadanya basah, matanya melirik ke bawah. Ternyata Hazel menangis. Mengikuti nalurinya, Edgar mengelus punggung Hazel dengan lembut. “Jangan menangis Nona, sekarang anda baik-baik saja. Mereka sudah pergi,” tutur Edgar lembut. Edgar tidak mengerti, kenapa ia bisa berbicara selembut itu pada Hazel. Padahal biasanya ia tidak seperti ini. Namun, ia merasa senang ketika memperlakukan Hazel dengan lembut. “Aku mau pulang,” pinta Hazel dengan serak. “Pesanan anda masih belum selesai, harus diambil lagi ke cafenya,” ujar Edgar. Hazel menggeleng dan melepaskan pelukannya. “Nanti kau pergi lagi.” “Kalau begitu, anda bisa ikut bersama saya,” imbuh Edgar. Sebenarnya, Edgar bisa saja membawa Hazel langsung pulang tanpa mengambil es krim stroberi di cafe, walaupun sudah bayar juga. Tapi Edgar berpikir, setidaknya es itu bisa membuat mood Hazel bagus saat ini dan tidak sedih lagi. “Ya udah, aku ikut.” Edgar membantu Hazel turun, ia membuka pintu di samping kemudi. Edgar mencabut kunci mobil dan langsung menguncinya. Bak anak ayam yang mengikuti sang induk, Hazel berjalan di belakang Edgar dengan memegang ujung kemeja yang digunakan lelaki itu. Gadis itu meremas erat ujung baju Edgar dan tidak ingin melepaskannya begitu saja. Edgar mengulum senyum tipis dan nyaris tidak terlihat, dan yang pastinya tidak bisa dilihat oleh Hazel. Tingkah Hazel seperti ini, membuatnya gemas saja. Di dalam cafe, ternyata es krim yang Edgar pesan sudah selesai. Edgar tidak hanya memesan Es krim tadi, melainkan juga macaron warna-warni. Pria itu mengambil pesanan dan menyerahkan es krimnya pada Hazel. “Terima kasih.” Edgar mengangguk samar lalu membawa Hazel keluar dari cafe itu. keduanya memasuki mobil dengan Edgar yang melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang menuju mansion. “Jangan ceritakan hal tadi pada kakak ya, Ed,” pinta Hazel sambil menjilat es-nya. Dahi Edgar mengernyit samar. “Kenapa? Ini adalah hal penting, Nona. Tentu harus dilaporkan.” “Aku tidak mau membuat kak Gab semakin khawatir, lagi pula sebentar lagi kita akan pergi jauh untuk bersembunyi,” pungkas Hazel tenang. “Baiklah.” Sesampainya di mansion, Hazel disambut oleh Emma dan Julia. “Ya ampun Nona, anda baru sembuh masa sudah makan es krim,” omel Emma tak habis pikir. “Makan sedikit tidak apa, Emma,” bela gadis itu. Emma memang sangat perhatian, tapi untuk es krim, Hazel tidak ingin menuruti larangan Emma. es krim adalah hal yang tidak bisa diabaikan dan ditolak begitu saja.  Emma hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, ia pun mana bisa melarang sang majikan dengan tegas atau memaksa. Yang ada nanti ia malah dipecat oleh Gabriel. “Ayo saya antar ke kamar, Nona.” Hazel mengangguk. “Tolong bawakan koperku ya, Ed.” Edgar mengangguk, ia menyerahkan plastik berlogo cafe yang berisi dua kota macaron unicorn. “Ini camilan anda.” “Terima kasih.” Setelah mengucapkan hal itu, Hazel berserta Emma masuk ke dalam mansion, tak lama diikuti oleh Julia.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN