Pagi ini Gabriel telah mengatakan rencana yang Edgar sarankan kemarin. Tentunya pria itu tidak mendapat respon yang bagus dari adiknya itu. Hazel terlihat cemberut.
“Aku nggak mau pergi, nanti kak Gab gimana? Terus Jacob?” tanya Hazel dengan kesal.
“Kamu tenang saja, aku akan baik-baik saja di sini. Dan urusan Jacob, secara rutin aku akan memberimu kabar tentang kondisinya hingga dia sadar,” ujar Gabriel tenang.
Hazel menggigit bibir bawahnya bimbang. “T-Tapi apakah itu benar jalan yang terbaik?” tanyanya ragu.
“Iya, itu yang terbaik. Sebelum pelaku ditemukan ada baiknya kamu tidak muncul,” jawab Gabriel dengan halus.
“Bagaimana jika Kak Gab juga ikut?” usul gadis itu penuh harap.
Gabriel menggeleng samar, tangan pria itu menuju kepala Hazel dan mengelusnya. “Jika aku pergi, bagaimana dengan perusahaan? Aku tidak bisa meninggalkan pekerjaanku begitu saja, terlebih dari ribuan karyawan yang harus ku beri gaji,” kata Gabriel selembut mungkin agar Hazel mengerti.
“Bagaimana dengan kedua orangtua Jacob? Apakah mereka akan setuju jika aku pergi? Bagaimana kalau mereka malah berpikir aku tunangan yang buruk, ketika anaknya terbaring lemah diambang kematian. Tunangannya justru pergi jauh,” cerocos Hazel mulai berprasangka buruk.
“Aku akan memberitahu mereka setelah ini, setelah kau setuju aku akan langsung menemui mereka.”
“Baiklah, aku setuju,” balas Hazel pasrah.
Senyum Gabriel terbit, dengan perlahan ia mendekatkan bibirnya di kening sang adik dan mengecupnya lembut. “Aku akan mengerahkan banyak orang untuk menyelesaikan kasus keluarga kita ini.”
“Janji secepatnya?” Hazel mengulurkan jari kelingkingnya.
Gabriel terkekeh dan menautkan kelingkingnya di jari Hazel. “Aku janji.”
“Apa ada hal penting lain kak? Aku mau sarapan,” tutur Hazel sambil nyengir.
“Tidak ada. Aku akan bersiap ke kantor dan menemui kedua orangtua Jacob nanti. Edgar akan menjagamu,” ujar Gabriel.
Hazel menganggukkan kepalanya. “Hati-hati. Em, kira-kira kapan aku bisa keluar dari rumah sakit ini Kak?”
“Jika kondisimu hari ini baik. Besok siang paling lambat sudah bisa pulang, aku sudah berbicara pada doktermu tadi.”
Hazel ber-oh ria. Gadis itu meraih nampan berisi sarapannya yang telah diantar. Sedangkan Gabriel bersiap-siap meninggalkan rumah sakit.
“Jaga adikku, Ed,” pesan Gabriel.
Edgar mengangguk patuh. “Baik, Tuan.”
Setelah itu Gabriel pergi. Edgar menjatuhkan dirinya di sofa, matanya memandang lurus ke arah bangsal yang ditempati Hazel. Gadis itu tidak sadar, jika sedang ditatap olehnya. Senyum tipis muncul di wajahnya saat melihat Hazel begitu semangat menelan makanan di hadapannya.
Padahal biasanya, kebanyakan pasien tidak suka dengan makanan yang disajikan rumah sakit karena hambar. Tapi berbeda dengan Hazel yang melahap semua makanan yang disediakan.
Edgar teringat kembali dengan jawaban Hazel beberapa menit yang lalu. Gadis itu setuju untuk pergi dengannya. Tidak bisa ia pungkiri bahwa ia senang mendengar jawaban Hazel.
***
Gabriel tiba di perusahaannya dengan cepat. Di ruangannya, Ansel sudah menunggu dengan sebuah buku catatan di tangannya.
“Apa saja jadwalku hari ini?” tanya Gabriel sambil melepaskan jas yang melekat di tubuhnya.
“Meeting dengan Mr. Valdee dan rapat dengan manager, setelah itu kosong dan dilanjutkan pada pukul dua siang meninjau proyek pembangunan apart.”
Gabriel mengangguk paham. Ia tidak menyangka jadwalnya akan sepadat ini. “Setelah meeting bersama Mr. Valdee, pending dulu rapat dengan manager. Aku ingin menemui Tuan Andrew dan Nyonya Vivian.”
Dahi Ansel mengernyit. “Ada apa? Sesuatu yang buruk terjadi tentang putra mereka yang di rumah sakit?”
“Bukan itu, aku hanya ingin memberitahu mereka jika setelah sembuh, Hazel akan pergi mengasingkan diri. Setidaknya adikku harus benar-benar di tempat yang aman setelah semua pelaku ditemukan.”
Ansel mengangguk paham. “Ya itu sebuah langkah yang bagus. Kasus pembunuhan hingga kejadian kecelakaanmu dan Hazel sedang ditangani oleh FBI.”
Gabriel segera mengucap syukur. “FBI setuju mengambil kasus ini?”
Ansel mengangguk. “Sudah berbulan-bulan, tapi tidak ada hasil yang berarti dari kepolisian. Oleh karena itu, FBI ikut serta dalam penyelidikan kasus ini,” jawabnya lugas.
“Sebentar lagi ... mereka pasti ketemu. Nyawa harus dibayar nyawa,” pungkas Gabriel dengan menyeringai.
Ansel mengangguk setuju. “Sudah, sekarang kita harus bersiap-siap untuk rapat.”
Gabriel menghela napas. Ia mengambil sebuah map yang disodorkan oleh Ansel dan membaca materi rapat hari ini. Tentang kerja sama dengan perusahaan milik Valdee Antrosious.
***
Setelah meeting, Gabriel mengajak Ansel ikut serta. Rasanya ia sangat lelah, terlebih malam tadi ia baru tidur pukul tiga pagi dan bangun pukul enam. Ansel lah yang bisa membantunya untuk mengemudikan mobilnya.
“Ketemuannya di mana sih?” tanya Ansel sedikit kesal lantaran Gabriel tidak memberitahunya di mana tempat bertemu kepala keluarga Similian itu. Padahal ia sudah mulai menjalankan mobil mahal milik Gabriel ini.
“Di restoran la de rae,” jawab Gabriel pelan.
Ansel menganggukkan kepalanya lantas menambah kecepatan laju mobil menuju restoran yang dimaksud.
Sesampainya di restoran, Gabriel segera turun dan berjalan cepat memasuki restoran. Ansel hanya mengikuti dari belakang.
“Maaf, saya sedikit telat Tuan, Nyonya,” kata Gabriel dengan nada tidak enak.
“Tidak apa, kami juga baru sampai. Sudah berapa kali ku bilang Gab, seperti adikmu, panggil kami Dad and Mom,” balas Andrew.
Gabriel mengangguk kaku lalu duduk di hadapan kedua pasangan suami istri tersebut. Ansel juga ikut-ikutan duduk di sebelah Gabriel setelah menyapa pasangan itu singkat.
“Ayo kita pesan dulu,” kata Vivian.
Andrew memanggil seorang pelayan untuk mencatatkan pesanan mereka. Setelah selesai memesan, Gabriel menatap kedua orangtua Jacob dengan serius.
“Saya memiliki sebuah rencana Dad, Mom,” imbuh Gabriel mulai membuka pembicaraan.
“Apa itu?” kedua pasangan itu tampak tertarik.
“Sebelumnya saya mohon maaf atas insiden kecelakaan beberapa hari lalu, yang membuat Jacon terbaring di ICU hingga sekarang. Sebenarnya saya mencurigai pelakunya adalah sosok yang sama dengan yang mecelakai saya sewaktu di Swiss dan juga yang membunuh Papa dan Mama,” ujar Gabriel.
“Untuk itu kamu tidak perlu berpikiran berat, Dad sudah menyuruh beberap agen hebat untuk menyelidiki kasusnya,” balas Andrew tenang.
Gabriel tersenyum lebar. “Terima kasih, Dad. Tapi saya juga berencana menyembunyikan Hazel untuk sementara waktu hingga kondisi kembali normal. Apakah Mom dan Dad menyetujuinya?”
Andrew dan Vivian saling berpandangan. Vivian tampak berat mendengar hal itu. “Tidak perlu menyembunyikan Hazel. Hazel bisa tinggal di rumah kami jika kamu takut meninggalkannya seorang diri,” ujar Vivian.
“Bukan itu masalahnya, Mom. Hazel tinggal bersama kalian pun tidak masalah. Hanya saja, saya tidak ingin mengambil resiko besar, saya tidak ingin para pembunuh yang mengincar keluarga saya jadi ikut mengincar keluarga Similian,” jelas Gabriel menatap Vivian dengan sungguh-sungguh.
“Apa kamu yakin? Kalau memang benar mau menyembunyikan Hazel, di mana tempatnya?” tanya Andrew.
Gabriel mengedarkan pandangannya ke seluruh restoran. tempat yang mereka tempati adalah private, jadi tidak ada orang asing di sini. “Bristol, Dad.”
“Bersama siapa saja Hazel tinggal di sana? Tidak mungkin ia akan dibiarkan seorang diri,” imbuh Andrew.
“Bodyguard yang terlatih akan menjaganya, dan juga asisten rumah kami bernama Emma. Dia juga akan ikut,” jawab Gabriel lugas.
Andrew menganggukkan kepalanya. “Kalau begitu, tidak ada masalah. Ide kamu uini benar, lebih baik Hazel tidak terlihat untuk sementara waktu.”
Vivian yang awalnya ingin protes jadi mengurungkan niatnya. “Mommy juga setuju.”
“Terima kasih sudah menyetujui ide ini Dad, Mom,” kata Gabriel dengan penuh syukur.
“Kalau begitu kita makan dulu,” pungkas Andrew tepat saat pelayan mengantarkan makanan mereka.
***
Edgar telah memerintahkan Dedrick untuk membantunya menyusun pakaian dan hal lainnya yang diperlukan untuk pergi ke Bristol. Kesehatan Hazel semakin baik, dan mungkin dalam waktu beberapa hari mereka bisa meninggalkan kota London.
“Ed...”
Edgar yang sedang bermain ponselnya pun menoleh ke arah Hazel. “Iya, Nona?”
“Aku ingin melihat Jacob, apa kau mau menemani dan mengantarku?” tanya Hazel dengan penuh harap.
Edgar tidak langsung menjawab, entah mengapa ia sedikit tidak suka dengan perminataan Hazel kali ini. Ia juga merasa kesal, lantaran Hazel masih saja mengingat Jacob yang hingga kini pun entah seperti apa nasibnya. Kemungkinan bakal meninggal, ia harap begitu sih. Jahat? Edgar bahkan tidak pernah merasa dirinya baik.
“Kenapa kau diam? Nggak mau ya?” tanya Hazel lagi dengan lesu.
Tidak ingin melihat raut kekecewaan di wajah Hazel, Edgar pun buru-buru mengangguk. “Baiklah. Anda bisa jalan sendiri atau membutuhkan kursi roda?”
“Aku bisa jalan sendiri.” Dengan perlahan Hazel turun dari ranjangnya. Tiang infus di sebelah ranjang ia dorong.
Edgar mendekati Hazel dan mengulurkan tangannya. Namun Hazel sepertinya tidak peka, gadis itu malah menatap Edgar dengan raut wajah bingungnya.
Tanpa mengucap apapun, Edgar mengambil salah satu tangan Hazel yang tidak diinfus dan melingkarkan ke lengannya. “Berpegangan pada saya.”
“Tapi kita kan tidak lagi nyebrang di jalan, untuk apa gandengan?”
Edgar menggaruk tengkuknya canggung. “Tidak apa, siapa tahu nanti ada lesu dan lemas, jadi bisa bertompang pada saya.”
Hazel tidak protes lagi, ia mengangguk paham.
Selain membuat Hazel melingkarkan tangannya di lengannnya, Edgar juga mendorong tiang infus Hazel. Tiang itu ia letakkan di depannya.
Edgar membawa Hazel keluar dari kamar. “Jaga kamar ini,” titah Edgar pada salah satu bodyguard yang berjaga di luar.”
“Siap!”
Ruang ICU terletak di lantai atas. Karena tidak memungkinkan naik tangga, Edgar membawa Hazel menuju depan lift dan menunggu.
Ketika pintu lift terbuka, ternyata beberapa perawat sedang membawa bangsal yang terisi orang yang tampak lemah.
“Permisi!” Perawat itu tampak buru-buru mengeluarkan bangsal tersebut. Membuat tubuh Hazel limbung dan segera ditanggap Edgar. Edgar mendesis kesal pada sang perawat dan menarik Hazel untuk sedikit jauh dari lift.
“Mereka menyebalkan,” sinis Edgar kesal. Tangan Edgar masih melingkar di pinggang Hazel dengan erat.
“Aku baik-baik saja, ayo masuk!” ajak Hazel kalem saat lift itu sudah kosong.
Hazel dan Edgar akhirnya masuk ke dalam lift.
Sesampainya di depan ruang ICU, mereka masih belum diperbolehkan masuk. Namun di depan ICU ada beberapa penjaga yang berjaga. Sekitar enam orang berpakaian serba hitam.
“Aku ingin mengintip di balik kaca itu,” bisik Hazel pada Edgar.
Edgar mengangguk. “Bisa kalian tolong menyingkir? Kami ingin ke dekat pintunya,” ujar pria itu datar.
“Siapa kau?” tanya salah bodyguard yang dipekerjakan oleh Andrew. Nada suaranya terdengar sinis dan kasar. Membuat Edgar jadi keki sendiri. Rasanya Edgar mau memotong lidah lelaki itu.
Duk!
Salah satu bodyguard menyikut lengan temannya yang sudah bertanya tadi. “Jangan kasar, dia itu Nona Hazel. Tunangan Tuan Muda Jacob,” bisiknya.
Bodyguard yang sudah bertanya dengan kasar tadi menjadi pucat pasi. “Maafkan saya, Nona.”
Dengan serentak mereka menyingkir memberi Hazel jalan untuk menuju pintu. Hazel memandang lurus ke dalam, melalui kaca bulat yang kecil. Ia bisa melihat tunangannya masih terbaring tidak berdaya dengan beberapa selang di tubuhnya dan hidungnya. Alat pendeteksi jantung di sebelah bangsal pun masih bekerja menampilkan garis naik-turun yang teratur.
Di sebelah Hazel, Edgar menahan perasaan kesalnya. Ia sangat terganggu dengan raut wajah sendu Hazel yang melihat keadaan Jacob di dalam sana.
Rasanya ia ingin segera membawa Hazel kembali ke kamarnya dan tidak berkeliaran lagi.
“Cepatlah sadar, Jac. Aku merindukanmu,” bisik Hazel seraya menyentuh kaca di depannya. Sorot matanya memancarkan kerinduan yang besar. Edgar bisa melihatnya dengan jelas.
Aku merindukanmu...
Aku merindukanmu...
Kalimat itu terngiang-ngiang di dalam benak Edgar. Kalimat yang membuat amarah yang awalnya tenang jadi menyala dan emosi marah muncul.
‘Jangan sadar, kalau bisa koma saja belasan tahun. Tapi nanggung, meninggal saja juga lebih bagus,’ batin Edgar. Kalimat yang ia bisikkan di dalam hati dan ditujukan untuk Jacob di dalam sana.