Chapter 49

2024 Kata
Di ruang CCTV, Edgar menyimak rekaman setengah jam sebelum ia tiba di rumah sakit. Tak lupa ia juga meminta salinan CCTV tersebut pada sang penjaga. Dahi Edgar mengernyit melihat sosok berbaju hitam, masker hitam dan kaca mata hitam. Tidak lupa dengan topi hitam juga menutupi rambut sang pelaku. Benar-benar tidak bisa dikenali. Namun, sebuah tato terlihat di leher lelaki itu saat Edgar menghentikan rekaman videonya. “Apa perlu panggil polisi, Tuan?” tanya sang penjaga CCTV. Edgar menggeleng. “Tidak dulu, saya akan memberitahu Bos saya dulu. Salinannya sudah selesai?” Penjaga itu mengangguk, ia memberikan flashdisk yang sebelumnya diberikan Edgar untuk menyalin rekaman. “Baik, terima kasih atas kerja samanya.” Penjaga laki-laki yang sudah berumur itu menganggukkan kepalanya. “Semoga kalian selalu dilindungi Tuhan, aneh-aneh saja orang mengirimkan paket mengerikan seperti itu,” komentar si Bapak. Edgar hanya mengangguk sekilas lalu pamit. Dengan langkah lebar, Edgar berjalan ke kamar inap Hazel. Tetapi diperjalanan, langkahnya terhenti ketika seorang gadis berdiri di hadapannya. “Kenapa kau ke sini?” tanya Edgar datar. “Aku ingin menjenguk temanku yang dirawat di sini kak, kebetulan aku melihatmu,” jawab Eliana dengan senyum lebar dan tampak tenang. Edgar memaki Eliana di dalam hati, ia teringat kembali dengan laporan Dedrick yang mengatakan bahwa pelaku dibalik kejadiaan kemarin itu Eliana. “Kalau begitu menyingkirlah,” tukas Edgar ketus. “Kau tidak mau menemaniku kak?” “Aku masih bekerja, lain kali saja.” Bahu Eliana merosot turun. “Aku harap kak Edgar segera keluar dari pekerjaan palsu ini,” dengusnya. “Kalau begitu aku duluan,” lanjut gadis itu. Eliana menepuk pundak sang kakak angkat lalu mengayunkan kakinya menuju lift. Edgar mengepalkan kedua tangannya. Untuk Eliana, hukuman akan ia berikan nanti. Karena semakin lama, Eliana bersikap semaunya. Lihat saja nanti! Edgar melanjutkan langkah lebarnya menuju kamar inap Hazel. Sesampainya di sana, ia melihat Hazel sudah tertidur pulas di bangsalnya. Sedangkan Gabriel tampak sibuk dengan iPad di tangannya. “Tuan, saya sudah mendapatkan salinan CCTV nya,” lapor Edgar seraya menyerahkan flashdisk di tangannya. “Baik, terima kasih.” Gabriel menyambar flashdisk itu dan langsung meraih laptopnya di sofa. “Apa kau sudah melihat rekamannya?” tanya Gabriel tanpa menoleh ke arah Edgar. “Sudah, dan pelakunya sangat cerdik. Menutupi wajahnya dengan baik,” kata Edgar. “k*****t-k*****t itu, apa yang sebenarnya mereka inginkan?!” geram Gabriel kesal. Edgar diam membisu. Ia hanya bisa mendengar kekesalan dari mulut Gabriel ketika sang Tuan mulai fokus melihat rekamannya. Beberapa menit kemudian, Gabriel telah selesai menonton. Persis seperti kata Edgar, pelaku sangat sulit dikenali. Wajahnya tidak terlihat sama sekali. “Ed...” “Iya, Tuan?” “Sepertinya pelakunya adalah pembunuh bayaran. Kau tahu sendiri, sejak kedua orangtua kami dibunuh, hidupku dan Hazel tidak tenang. Ketika di Swiss mereka mencelakaiku, dan untungnya aku masih selamat. Kali ini juga, aku sangat bersyukur Hazel selamat dari kecelakaan itu,” ujar Gabriel dengan frustrasi, tatapannya pun terlihat sangat putus asa. “Menurutmu, apa yang harus aku lakukan? Menunggu para pembunuh itu datang dan membunuh kami tanpa perlawanan?” tanya Gabriel. Kedua tangan Edgar terkepal kuat, matanya menajam. Kilasan kejadian puluhan tahun silam kembali terputar dibenaknya, ketika ia tahu dari Aditama bahwa pembunuh Ayahnya adalah Cole Austen, amarah itu kembali muncul. Rasanya Edgar sudah geram, tapi ini belum saatnya. Apalagi, selain dirinya, ternyata ada pihak lain yang sedang mengincar Hazel dan Gabriel. Senyum miring terbit di wajah Edgar, sebuah ide terlintas di kepalanya. “Saya memiliki sebuah ide, Tuan.” “Apa?” Gabriel menoleh ke arah Edgar, menatap bodyguard yang ia pekerjakan dengan secercah harapan. “Sepertinya penjahat itu menargetkan Nona Hazel, Tuan. Bagaimana kalau untuk sementara waktu, Nona Hazel diasingkan?” Alis Gabriel terangkat naik. “Apa maksudmu diasingkan?” “Jika anda mengizinkan, saya akan membawa Nona Hazel ke tempat yang terpencil dan jauh untuk keselamatannya. Saya memiliki sebuah rumah di kota kecil di Negara ini. Bisa dijadikan tempat untuk bersembunyi. Sampai saya dan anak buah saya menemukan pelakunya, Nona Hazel harus dijauhkan dari publik. Jika semua pelaku telah ditangkap, maka Nona Hazel bisa kembali bersama anda,” tutur Edgar panjang lebar. Penjelasan Edgar membuat Gabriel merasa itu adalah ide yang bagus. Namun di sisi lain, ia tidak ingin berjauhan dengan Hazel. Bagaimanapun juga Hazel adalah keluarganya satu-satunya. “Bagaimana jika aku merindukan adikku? Apakah jaringan di kota kecil itu bagus?” tanya Gabriel cemas. “Tenang saja, anda bisa komukasi dengan Nona Hazel. Tidak ada yang melarang, Tuan. Lagi pula, jaringan di sana cukup juga untuk bertelepon.” “Aku setuju, jadi di mana tempat itu?” tanya Gabriel serius. Edgar tersenyum misterius. “Di kota Bristol, Tuan.” Gabriel mengangguk paham. “Aku akan membicarakan ini pada Hazel dan kedua orangtua Jacob. Bagaimana pun juga, mereka harus tahu.” Edgar menganggukkan kepalanya. Ia harap kali ini berjalan mulus. Bagaimana pun juga Hazel harus lenyap ditangannya. Bukan Eliana maupun Aditama. Membuat Hazel pergi jauh bersamanya dalam jangka waktu yang lama merupakan ide yang bagus. *** Di malam hari, Edgar meminta izin untuk pergi pulang sejenak pada Gabriel. Dan untungnya diberi izin. Seseorang bodyguard lain menggantikan posisinya berjaga di depan kamar inap Hazel. Sekitar ada lima orang yang Gabriel panggil untuk berjaga di luar kamar. Gabriel benar-benar memastikan adiknya aman. Edgar melajukan mobilnya menuju markas tersembunyinya. Sesampainya di sana, ia melihat Dedrick, Ethan dan tujuh anak buah lainnya sedang makan malam. “Malam, Bos. Mau ikutan makan?” tawar Ethan sambil menunjuk kotak-kotak pizza di atas meja. “Tidak usah. Sekarang laporkan padaku apa saja yang telah kalian dapatkan,” titah Edgar. “Maaf protes, tapi ini lagi ngisi perut, Tuan,” sahut Dedrick yang tidak jadi memasukkan lasagna ke mulutnya. “Jelaskan dulu padaku, baru lanjut makan. Aku tidak memiliki banyak waktu,” tukas Edgar tidak sabaran. Dedrick berdeham pelan dan meletak kotak lasagna-nya di atas meja. “Jadi seperti ini, Tuan. Ethan lah yang pertama kali bertindak untuk meng-hack ponsel Eliana lantaran ia curiga. Di ponsel itu tersapat banyak sekali data-data yang tentunya sudah disimpan Ethan. Salah satu data yang mencurigakan ada di aplikasi pesan. Eliana mengirimkan beberapa pesan perintah ke sejumlah lelaki. Printah untuk menyabotase mobil Jacob Simillian juga ada,” jelas Dedrick. “Benar-benar rubah licik,” umpat Edgar kasar. “Ada baiknya anda tidak terlalu percaya lagi pada Tuan Aditama dan Eliana, Tuan. Ini sekedar saran dari saya, soalnya orang terdekat pun bisa jadi menusuk kita dari belakang,” nasihat Dedrick. Edgar melengos. “Tanpa kau beritahu, aku sudah meningkatkan rasa kewaspadaanku pada mereka mulai sekarang.” “Bagus, sekarang apa, Tuan? Apakah kita laporkan saja pada polisi tentang Eliana ini?” tanya Ethan mulai bersuara. “Tidak, itu tindakan gegabah. Simpan saja bukti-bukti kejahatan Eliana, suatu saat pasti kita akan membutuhkannya,” balas Edgar. “Saya memiliki satu bukti lain, Tuan,” celetuk Ariel sambil tersenyum lebar. “Apa itu?” “Saya memiliki bukti bahwa Eliana mengkonsumsi barang terlarang. Itupun dalam jumlah yang besar,” kata Ariel. Wajah lelaki itu tampak puas saat berhasil menemukan kelemahan Eliana yang lain. “Bagus, tetap simpan bukti-buktinya.” “Oke, boss!” sahut mereka serentak. “Kalau begitu, kami sudah boleh melanjutkan makan malam Tuan?” tanya Dedrick sambil nyengir. “Ya sudah, makanlah dulu. Setelah ini aku akan memberitahu rencanaku selanjutnya.” Kesembilan anak buahnya itu bersorak dan kembali melahap makan malam yang masih tertata rapi di atas meja. Lima belas menit kemudian, makanan-makanan di atas meja telah habis. “Terima kasih telah menunggu kami selesai makan, Tuan,” ucap Ethan seraya nyengir. Edgar hanya mengangguk samar. Ia meletakkan iPad yang sejak tadi ia mainkan. “Aku ingin Ariel, mengemudikan Jet milikku sekitar seminggu lagi, atau bisa lebih cepat dari itu. Sekarang aku tanya dulu padamu Ariel, apa dalam seminggu ini kau akan kembali ke Jepang?” Ariel memanglah salah satu bawahan Edgar yang pandai mengoperasikan pesawat. Tidak jarang, Ariel menjadi pilot pribadi Edgar ketika berpergian. Selain bisa mengendarai pesawat dan Jet, lelaki itu juga bisa mengemudikan kereta api. Ariel adalah salah satu orang penting untuk Edgar juga. “Tidak, Tuan. Masalah di Jepang sudah beres, saya akan di sini untuk beberapa bulan,” jawab Ariel lugas. “Bagus kalau begitu. Jika nanti Aditama atau Eliana menanyakan tentang diriku ke kalian, jawab saja tidak tahu okay. Kemungkinan kalian berpapasan di suatu tempat itu ada, terlebih kau Dedrick.” Edgar menatap Dedrick serius. Dederick lah yang paling sering berjumpa dengan Aditama. Terlebih Aditama sudah tahu betul siapa Dedrick dan sebagai apa Dedrick dibutuhkan oleh Edgar. “Iya, saya tahu Tuan. Tapi anda akan pergi ke mana?” tanya Dedrick heran. “Aku akan pergi ke Bristol, dengan Hazel. Untuk sementara waktu, ia akan menjadi tawananku,” ujar Edgar tersenyum miring. “Tinggal berdua maksud anda?” tanya Dedrick memastikan. Tak bisa dipungkiri bahwa Dedrick kini memasang ekspresi jahil nan menggoda. “Hati-hati lho Tuan, kalau tinggal berdua nanti ditemani setan. Kalap deh, terjadi yang pergulatan yang ehem-ehem kan tidak lucu, Tuan,” sahut Ethan bergurau. Ucapan Ethan mengundang tawa yang lain. Tetapi melihat raut wajah tak senang dari Edgar membuat mereka menghentikan kekehan mereka. “Maaf Tuan, saya bercanda.” Ethan menundukkan kepalanya menyesal. “Jangan bicara yang tidak-tidak mulai sekarang,” peringat Edgar dengan tajam. “Baik, Tuan!” jawab mereka kompak, minus Dedrick. Karena Dedrick adalah asisten setia yang sudah mengabdi pada Edgar sejak lama, tidak heran jika lelaki itu terkadang bertindak semaunya saja. Berbeda dengan yang lain yang memang takut pada Edgar. “Axton, aku ingin kau carikan mobil biasa saja tapi layak dipakai. Bawa mobil itu ke rumahku yang di Bristol,” titah Edgar. “Baik, Tuan.” Edgar dan kesembilan anak buahnya mulai berdiskusi kembali. Pembagian tugas dan jadwal-jadwal penting yang harus diingat oleh Edgar. “Aku sudah membeli ponsel baru, di sini ada nomorku yang baru. Kalian simpan, karena aku akan menghubungi dari nomor ini. Dan ingat, namaku di kontak kalian jangan pasang nama asliku, paham?” Lagi-lagi mereka mengangguk dengan patuh. Satu persatu dari mereka mulai menyimpan nomor yang Edgar maksud. *** Edgar kembali ke rumah sakit secepat mungkin walau malam ini ia diberi waktu istirahat oleh Gabriel. Sesampainya di depan kamar inap Hazel, ia masih melihat para bodyguard sewaan itu, namun ada tiga orang yang sudah terkantuk-kantuk menyandar pada dinding rumah sakit. Edgar mendengus kasar, tanpa rasa kasihan ia menendang tulang kering bodyguard itu. “Jalankan tugasmu dengan baik, cuci wajahmu dan kembali secepatnya ke sini,” desisnya tajam. Ketiga bodyguard itu meringis kesakitan dan mengangguk patah-patah, mereka memang sedikit takut pada Edgar yang memiliki keahlian yang paling unggul dibandingkan mereka. Ketiganya berlari menuju toilet untuk membasuh wajah. Sementara dua bodyguard lain berdiri tegak dengan mata yang segar. “Jaga di sini baik-baik,” pesan Edgar yang langsung diangguki keduanya. Setelah merasa cukup aman, Edgar membuka pintu kamar Hazel dan melihat Hazel sudah terlelap. Sedangkan Gabriel tampak sibuk dengan laptop dipangkuannya. “Anda butuh sesuatu, Tuan?” tanya Edgar dengan suara pelan, nyaris berbisik. “Tolong belikan aku kopi di cafe depan, cafe itu buka dua puluh empat jam, jadi masih buka,” pinta Gabriel. Edgar menganggukkan kepalanya. Lantas kembali keluar membelikan kopi pesanan s ang Tuan. Edgar kembali dengan cepat. Membawakan tujuh gelas kopi, lima langsung ia bagikan ke bodyguard yang berjaga di depan pintu kamar. Sedangkan dua lainnya untuk dirinya dan Gabriel. “Terima kasih,” gumam Gabriel. Edgar mengangguk samar, ia mengambil kursi di sebelah bangsal Hazel dengan hati-hati dan membawanya mendekati sofa yang ditempati Gabriel. Pria itu duduk dengan tenang sambil menyesap kopinya. Tangan Gabriel tampak sibuk mengetikkan sesuatu di keyboard laptopnya, Edgar hanya bisa memperhatikan dengan bosan. “Kau tidak pulang, Ed?” tanya Gabriel tanpa menoleh. “Tidak, Tuan. Saya akan berjaga di sini,” jawab pria itu lugas. “Padahal aku mengizinkanmu istirahat hari ini, setelah dua hari kau berjaga full di sini,” sahut Gabriel. “Tidak masalah, Tuan. Memang tugas saya yang harus selalu menjaga Nona Hazel. Terlebih sekarang kondisinya masih belum pulih betul,” jawab Edgar tenang. Senyum Gabriel terbit. “Ya, memang kau harus siap siaga di sebelah Hazel.” Edgar mengangguk samar. “Anda lanjutkan saja pekerjaan anda, Tuan. Jangan pedulikan saya.” Gabriel mengangguk samar dan tidak berbicara lagi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN