Chapter 48

2011 Kata
Sinar matahari perlahan menyinari Bumi. Jendela kamar inap Hazel yang tidak tertutup sempurna membuat sinar itu masuk ke dalam. Kedua kelopak mata Hazel perlahan terbuka dengan berat. Dengan gerakan pelan, ia mengubah posisinya menjadi duduk. Hazel meraba kedua kelopak matanya yang bengkak. Kemarin, ia menangis sampai akhirnya tertidur. Keadaan Jacob, benar-benar sangat parah. Ia tidak bisa tidak sedih ketika melihat tunangannya terbaring koma di bangsal dengan perawatan yang intensif. Hazel mengedarkan padangannga ke seluruh kamarnya, ia melihat Gabriel tidur dengan posisi duduk dan kepala yang miring. Kedua tangan kakaknya itu juga terlipat di depan d**a. Cklek! Kepala Hazel menoleh ke arah pintu yang dibuka. Ternyata Edgar lah yang masuk. “Anda butuh sesuatu, Nona?” tanya Edgar, berjalan mendekati ranjang Hazel. Hazel menggeleng samar. Tanpa mempedulikan keberadaan Edgar, Hazel meraih gelas yang sudah terisi air di atas nakas. BRAK! Gelas kaca itu lolos begitu saja jatuh dari tangannya. “Anda baik-baik saja?” tanya Edgar khawatir. Lelaki itu langsung berjongkok menghalau kaca di sebelah ranjang dan juga memastikan pecahan kaca itu tidak mengenai sang Nona. “Enggh, ada apa?” tanya Gabriel dengan suara serak khas bangun tidur. Tentu saja ia tergangu dengan suara berisik barusan. “Aku baik-baik saja,” balas Hazel datar. “Ya Tuhan, kenapa bisa sampai jatuh?” gabriel memelototkan matanya dan langsung menghampiri bangsal Hazel. “Tidak usah berlebihan, kak. Aku tidak apa,” sahut Hazel jengah karena merasa Gabriel terlalu bersikap berlebihan. Gabriel menghela napas. “Panggil cleaning service di sini, Ed,” titahnya. Edgar segera melakukan perintah Gabriel. Sepeninggalnya Edgar, Gabriel duduk di sebelah Hazel. Ia mengelus puncak kepala sang Adik dengan lembut. “Kau masih marah?” Perlahan pelupuk mata Hazel dipenuhi oleh airmata, jika ia mengedip, air mata itu akan jatuh membasahi pipinya.                                                                                                        “Aku hanya kecewa, kenapa kemarin menyembunyikan keadaan Jacob? Padahal aku sudah senang kalau ia baik-baik saja, tapi ternyata hidupnya sedang diambang kematian, kak,” jawab Hazel lirih. Gabriel memeluk adiknya erat, tangannya bergerak mengelus-elus punggung Hazel dengan lembut. “Ssttt, Jacob pasti akan baik-baik saja dan segera sadar. Jadi, jangan berhenti berdoa okay?” Hazel mengangguk pelan. Gabriel melepaskan pelukannya lalu mengusap pipi Hazel yang basah. “Kamu nggak boleh sedih dan harus kuat. Untuk kasus kecelakaan, sedang diselidiki.” Lagi-lagi Hazel menganggukkan kepalanya.  Tak lama, Edgar datang bersama seorang wanita yang tak lain adalah cleaning service. Wanita itu melakukan tugasnya dengan cepat. “Kak, aku lapar,” adu Hazel. “Sebentar lagi sarapanmu pasti datang, sekarang minum dulu. Tadi tidak jadi minum, kan?” Gabriel mengambil gelas cadangan yang ada di dalam laci nakas lalu mengisi gelas itu dengan air putih. Hazel meneguk air itu hingga tandas. Wanita yang membersihkan kamar Hazel telah selasai melakukan pekerjaannya, ia pamit undur diri dengan cepat. “Ed, tolong belikan sesuatu untuk kita makan pagi ini,” pinta Gabriel seraya memberi beberapa lembar uang pada Edgar. “Baik, Tuan.” Edgar menerima uang itu dan pergi keluar. Tak lama sepeninggalan Edgar, seorang Dokter dan perawat datang. Sang perawat juga membawa nampan berisi sarapan Hazel pagi ini. “Halo, selamat pagi Tuan dan Nona,” sapa Dokter itu ramah. “Pagi juga Dok,” balas Hazel. Dokter perempuan itu melakukan tugasnya memeriksa keadaan Hazel. Lima menit kemudian sang Dokter telah mengakhiri pekerjaannya. “Bagus sekali, tidak ada yang perlu di khawatirkan. Untuk luka, seiiring berjalannya waktu akan mengering asal rutin diberi salep, jangan lupa untuk minum obat juga ya sesuai instruksi di plastik obatnya.” Hazel menganggukkan kepalanya. “Terima kasih banyak, Dok.” Dokter itu menganggukkan kepalanya lalu pamit undur diri. “Kak Gab tidak bekerja?” “Tidak, hari ini pekerjaan dihandle oleh Ansel. Aku akan menjagamu,” balas Gabriel sambil mendaratkan bokongnya di kursi. “Oh okay.” Hazel mulai membuka wrap yang  menutupi mangkuk sup jagung yang diberikan perawat tadi. Menu sarapan pagi ini cukup memuaskan untuknya, karena ia mendapatkan sup, ayam, dan juga puding cokelat sebagai dessert. *** Siang ini kamar inap Hazel cukup ramai, karena kedatangan Lilian, Andrew dan juga Yumna. “Bagaimana kabarmu sayang?” tanya Lilian. “Sudah lebih baik, Mom,” jawab Hazel. “Aku membawakan buah favoritmu, Hazel,” kata Yumna menunjukkan keranjang buah persik dan cherry. “Terima kasih, Yumna,” imbuh Hazel. “Maaf Mom, hari ini aku belum melihat Jacob. Mommy sudah ke ICU?” tanya Hazel kini mengalihkan perhatiannya ke Lilian. “Tadi sudah, masih seperti kemarin. Jacob masih betah dengan mimpinya, Mommy harap ia memimpikan hal yang menyenangkan,” jawab Lilian sendu. “Secepatnya Jacob pasti sadar, Mom.” Lilian hanya menganggukkan kepalanya. Edgar yang sedari tadi berdiri dipojokan hanya menyimak setiap interaksi keluarga itu. tiba-tiba ia merasakan ponselnya bergetar di saku celananya. Edgar melangkah tanpa menimbulkan suara langkah kaki  yang besar, ia keluar dari kamar inap itu. nama Dedrick terus terpantri di layar ponselnya. Mencari aman, Edgar menuju tangga darurat. Setelah memastikan sekitarnya sepi, barulah ia mengangkat panggilan Dedrick yang tak kunjung berhenti. “Tuan, pelakunya sudah ditemukan oleh Ethan, kami baru saja mendapatinya. Sengaja kami membobol data pribadi adik Anda, dan menemukan beberapa riwayat transaksi dan juga beberapa pesan tentang kecelakaan yang terjadi ini Tuan,” lapor Dedrick cepat. Edgar menggeram marah, padahal kemarin Eliana tidak mengaku. Eliana merasa sok tersakiti dengan tuduhannya yang benar. Ia benar-benar tak habis pikir lagi dengan jalan pikiran Eliana, padahal sudah diperingati berkali-kali. Tidak hanya itu, Edgar kembali geram saat mengingat ucapan Aditama kemarin. Papanya itu mengatakan bahwa beberapa hari belakangan Eliana menghabiskan piknik bersama, menikmati hari. Semuanya bohong. Edgar tak percaya bahwa Aditama berbohong padanya, dan bersekongkol dengan Eliana. Edgar kesal dan marah, kenapa Aditama dan Eliana melakukan sabotase pada mobil Jacob. Rasa percaya yang Edgar miliki pada Aditama berkurang. Pasti dibalik ini semua, ada rencana yang tidak ia ketahui. “Sore nanti aku akan ke markas, kumpulkan yang lain. Aku benar-benar memiliki rencana yang bagus sekarang,” ujar Edgar datar. “Baik, Tuan.” Edgar menutup panggilan teleponnya dan memasukkan kembali benda pipih itu di saku celananya. *** Sore harinya, Edgar tidak bisa langsung menuju markas. Hazel masih menahannya di sini, terlebih Gabriel sedang pulang ke rumah untuk membersihkan tubuhnya. “Ed, kau masih ingat dengan es krim yang pernah kita cicipi di cafe yang terkenal itu?” celetuk Hazel. Edgar mengingat-ingat kembali cafe es krim yang dimaksud, soalnya ia sudah berkali-kali menemani Hazel memakan es krim. “Ingat tidak?” tanya Hazel dengan nada mendesak dan tidak sabaran. “Iya, ingat Nona.” “Nah aku mau itu, bisakah kau belikan untukku sekarang?” pinta Hazel dengan memelas. Edgar merasa tidak tahan dengan puppy eyes yang ditunjukkan oleh Hazel, gadis itu sangat lucu. “Nanti saya belikan.” “Tapi aku maunya sekarang,” balas Hazel sedikit memaksa. “Tunggu sampai Tuan Gabriel kembali, maka saya akan pergi membelikan es itu,” sahut Edgar mencoba bernegosiasi. Hazel menggeleng keras kepala. “Ayolah, kak Gab akan tiba lama sekali,” bujuk gadis itu lagi. Edgar benar-benar tidak tahan akan permintaan Hazel, terlebih Hazel tampak memelaskan wajahnya lucu. “Baiklah. Kunci kamar ini ya, Nona. Agar tidak ada yang masuk,” pesan Edgar. Hazel turun dari ranjangnya. “Pergilah, aku akan menutup pintunya seperti yang kau perintahkan.” Edgar tersenyum samar. “Baik, tunggu sebentar. Saya tidak akan lama.” Hazel tersenyum puas. Setelah Edgar pergi, ia menutup pintu kamar inapnya cepat. Tak lupa ia menguncinya atas saran Edgar. *** Edgar melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh, beberapa kendaraan ia salip agar segera tiba di cafe yang menjual es krim lezat itu. Sesampainya di cafe, ia segera memesankan es krim rasa Vanilla dengan topping remahan biskuit di atasnya. Tidak hanya es krim, ia juga memesan pastry dan juga red velvet cake dua potong. Selagi menunggu pesanannya tiba, Edgar menghubungi Dedrick dan memberitahu anak buahnya itu untuk menunggunya. Ia juga mengatakan akan tiba di markas paling lama malam nanti. “Tuan Edgar.” Mendengar namanya dipanggil, Edgar segera ke kasir dan mengambil pesanannya. “Terima kasih, jangan lupa untuk mampir lagi, Tuan,” kata sang kasir. Edgar mengangguk asal dan berjalan keluar dengan langkah lebar. Tidak ingin membuat Es krim itu mencair, Edgar kembali melajukan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata. *** Tok... tok... tok... Hazel mengalihkan tatapannya dari buku komik yang sedang ia baca, komik yang ia dapatkan dari Yumna siang tadi. Perlahan, ia turun dari ranjang dan membuka pintu kamarnya. Dahinya mengerut dalam ketika di luar sepi, bahkan koridor rumah sakit itu tampak sunyi. Namun satu benda di lantai menarik perhatiannya. Sebuah kotak berukuran besar dengan hiasan yang cantik, kotak itu dilapisi kertas berwarna merah dan juga pita kuning, seperti kotak kado saja. Ia mengambil kotak itu dan mencari-cari nama pengirimnya di luar, yang ternyata tidak ada. Karena penasaran dengan isinya, Hazel membuka kotak itu. BRUK! Tubuh Hazel bergetar hebat setelah melempar kotak itu, perutnya tiba-tiba terasa mual. Bau anyir darah dari kotak itu tercium pekat di hidungnya. Isi yang begitu mengejutkan, sepotong jari manusia dengan secarik kertas yang belum ia baca tulisannya. “Nona!” Kepala Hazel langsung terangkat. Ia berlari cepat menghampiri Edgar seraya membawa tiang infusnya lalu memeluk pria itu. “A-ada yang mengirim i-itu tadi,” adu gadis itu terbata-bata. Edgar meletakkan plastik belanjaannya di lantai, ia melepaskan pelukan Hazel dan menatap wajah ketakutan gadis itu. “Siapa pengirimnya?” Hazel menggelengkan kepalanya tidak tahu. “Kotak itu ada di depan kamar, ditinggalkan begitu saja, hiks!” “Baik, anda tenang dulu sebentar. Saya akan periksa,” tutur Edgar lembut. Hazel mencengkram lengan Edgar dan menggeleng. “Isinya sebuah potongan jari,” ungkapnya. Tanpa sadar, Edgar tersenyum lembut. “Tidak apa, saya harus memeriksanya dulu. Anda tunggu di sini.” Akhirnya Hazel melepaskan tangannya. Ia memejamkan kedua matanya ketika Edgar mendekat ke arah box merah tadi. “Ada sebuah kertas tadi, Ed,” kata Hazel memberitahu. Edgar melihat isi kotak itu yang ternyata benar. Ada potongan jari yang telah membusuk dan juga secarik kertas. “Matilah kalian,” gumam Edgar membaca tulisan di kertas itu. “Apa tulisannya?” tanya Hazel dari kejauhan. Edgar menutup kembali kotan itu dan juga memasukkan kembali kertasnya. Ketika ia membalikkan tubuhnya, ia melihat Gabriel sedang menuju ke arah mereka. “Ada apa? Kenapa kalian di luar?” tanya Gabriel heran. Mendengar suara sang kakak, Hazel langsung berbalik dan memeluk Gabriel. “Tadi ada yang mengetuk pintu kamarku, kak. Dan kotak itu terletak di lantai begitu saja,” adu Hazel. “Kotak?” “Lebih baik anda sekarang masuk, jangan terlalu dipikirkan, Nona. Itu akan memengaruhi kondisi anda. Saya akan berbicara pada Tuan Gabriel,” kata Edgar tenang. Dahi Gabriel mengerut dalam, ia semakin penasaran masalah kotak itu. “Tapi...” protes Hazel. “Es krim anda akan mencair,” peringat Edgar seraya menunjuk plastik yang ia letakkan di lantai. Hazel menghela napasnya, perkataan Edgar benar adanya. Gadis itu memungut plastik berlogo cafe, dan mendorong tiang infusnya masuk ke dalam kamarnya kembali. Setelah Hazel masuk, Edgar menutup pintu kamar Hazel dengan rapat. “Ada apa, Ed? Apa isi kotak itu?” tanya Gabriel semakin penasaran. “Duduklah dulu, Tuan.” Edgar menunjuk kursi panjang yang berada di depan kamar inap Hazel. Gabriel segera duduk. Edgar menyerahkan kotak merah di tangannya pada Gabriel. Dengan cepat Gabriel membuka tutup kotak tersebut dan matanya langsung melotot melihat isi dalam kotak, Gabriel segera menutup hidungnya. Ia meletakkan kotak itu di kursi sebelahnya. Dengan tangannya yang satu, ia meraih secarik kertas yang sudah bernoda darah segar. Setelah membaca dua kata di kertas itu, rahangnya mengeras. Lantas ia meremas kertas itu dan memasukkannya kembali ke kotak. “Pergi ke CCTV rumah sakit, Ed. Minta mereka menunjukkan rekaman satu jam sebelumnya,” titah Gabriel. “Baik, Tuan.” Edgar segera pergi. Gabriel menutup kotak yang menimbulkan bau itu. ia masuk ke dalam kamar inap Hazel dengan membawa kotak merah tadi. Gabriel meletakkan kotak itu di kamar mandi agar baunya tidak menyebar ke seluruh kamar. “Bagaimana ini kak?” tanya Hazel cemas. “Tidak usah khawatir, aku akan menguruskan. Edgar sedang ke ruang cctv,” sahut Gabriel. “Jangan berpikir yang berat-berat. Lupakan isi dalam kotak tadi.” Hazel menghela napasnya lalu mengangguk. “Okay.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN