Hari ini adalah hari di mana Edgar akan membawa Hazel pergi jauh. Pagi-pagi sekali mereka sudah meninggalkan mansion.
Awalnya mereka akan pergi menggunakan Jet pribadi. Namun ternyata cuaca tidak mendukung, hujan mengguyur kota. Alhasil Gabriel menyerahkan satu mobilnya pada Edgar untuk di bawa ke Bristol. Perjalanan akan di tempuh melalui jalur darat dan cukup membutuhkan waktu berjam-jam. Edgar mengemudi mobilnya dengan kecepatan pelan, cuaca tidak bagus jadi ia tidak bisa mengebut. Namun kali ini sudah lebih baik dari pada sebelumnya. Hujan kini hanya tersisa gerimis saja. Sebentar lagi pun gerimis itu pasti akan berhenti.
"Ed, tolong berhenti di suatu tempat. Aku kebelet ingin ke toilet!" pinta Hazel dengan wajah masam dan pucat seperti menahan sesuatu. Gadis itu merasa sudah tidak tahan lagi.
Edgar menganggukkan kepalanya. Beruntung tidak jauh dari posisi mereka ada tempat pengisian bensin. Edgar segera memberhentikan mobilnya di sana.
Hazel langsung berlari keluar dari mobil dan memasuki toilet yang tersedia.
Karena ini di tempat asing, Edgar tidak ingin terjadi apapun. Pria itu ikut turun dan mengunci mobilnya. Edgar menunggu Hazel di depan toilet dengan menyandar pada dinding.
Tak lama Hazel keluar dengan wajah lebih cerah. "Sekarang aku lapar, Ed," keluh Hazel seraya memegang perutnya. Perjalan sudah memakan waktu satu jam, terakhir ia makan dua jam lalu.
Edgar lagi-lagi mengangguk. "Nanti kita cari tempat makan, Nona."
"Yang enak pokoknya," timpal Hazel yang diangguki cepat oleh Edgar.
"Ayo masuk ke mobil lagi, Nona."
Keduanya kembali memasuki mobil. Perjalanan mereka kembali berlanjut. Semakin jauh, mereka tak lagi melewati tempat yang ramai, melainkan jalanan yang ditumbuhi pohon-pohon seperti hutan. Jalan tersebut juga tidak ramai. Hanya ada beberapa kendaraan.
"Sepertinya kita akan makan ketika tiba nanti, Nona. Anda bisa mengganjal perut dengan camilan yang disiapkan Julia."
Hazel mengangguk. Omong-omong soal Emma, perempuan itu batal ikut hari ini sebab demam parah. Ketika sudah sembuh nanti, Gabriel yang akan mengirimnya ke Bristol. Jadilah nanti hanya Edgar dan Hazel yang tinggal berdua.
"Aku akan mabuk jika makan makanan yang mengandung cheese, Ed," keluh Hazel.
"Di kotak sebelah terdapat sandwich tanpa keju, Nona," imbuh Edgar tanpa menoleh.
Hazel mengangguk. Ia membuka kotak sebelahnya dan langsung menikmati sandwich yang Edgar katakan.
"Kau mau juga Ed?" tawar Hazel. Pasalnya terdapat empat sandwich isi daging yang sangat lezat.
"Saya sedang fokus menyetir," tolak Edgar tegas.
"Aku suapin saja bagaimana?" tawarnya lagi. Bagaimanapun juga Hazel juga tau, Edgar pasti juga akan lelah menyetir dan membutuhkan asupan makanan selama diperjalanan.
Edgar terbatuk pelan lalu berdehem. Ia merasa tidak boleh melewatkan kesempatan ini. "Apa tidak apa-apa?" Ia balik bertanya dengan nada sok tidak enak.
"Tidak apa. Lagi pula kau juga pasti lapar," kata Hazel ringan. Gadis itu menghabiskan sandwich miliknya dengan cepat lalu setelahnya menyuapkan Edgar.
Edgar menikmati sandwich yang disodorkan Hazel. Tak bisa dipungkiri, ia merasa senang saat ini. Namun ia begitu pandai menyembunyikan ekspresinya jadi Hazel tidak menyadarinya.
Setelah kenyang, Hazel mengubah sandaran kursi seperti mendatar. "Aku ngantuk, maaf ya aku tinggal tidur Ed."
Edgar mengangguk samar. "Tidak apa, Nona. Tidurlah."
Tidak butuh waktu yang lama. Hazel memejamkan matanya dan memasuki dunia mimpi.
***
Eliana menggeram kesal. Beberapa menit yang lalu, ia melampiaskan rasa kesalnya pada anak buahnya. Ketujuh lelaki ia yang bekerja padanya mendapatkan amukan tamparan di kedua pipi dan tendangan di kaki.
Sangat sadis. Tapi memang begitulah Eliana.
"Setelah gagal mencelakai Hazel sekarang kalian juga gagal melacak keberadaan kakakku?!" teriak Eliana emosi.
Ketujuh pria itu tidak ada yang berani bicara. Semuanya menunduk dan membiarkan Eliana mengomel tak henti-hentinya.
"Kalian sudah bosan hidup apa gimana? Masa mengerjakan pekerjaan mudah saja kalian tidak becus?!" sentak Eliana lagi.
"Maafkan kami, Nona," kata salah satu bawahannya dengan nada menyesal.
"Apa aku menyuruhmu bicara?!" desis Eliana tajam, membuat pria itu menciut dan menutup rapat mulutnya.
"Amati penthouse kak Edgar, laporkan padaku jika kalian melihatnya. Paham?!" titah Eliana tegas.
"Baik, Nona."
"Pergilah!" usir Eliana kasar.
Ketujuh pria itu langsung pergi meninggalkan ruangan hitam di mana mereka selalu berkumpul untuk rapat atau apapun itu.
Eliana menendang sebuah kursi hingga kursi itu terlempar beberapa meter ke depan. Perlahan ia mengatur napas untuk mengurangi kadar emosi di dalam dirinya. Hari ini ia benar-benar kesal lantaran kehilangan jejak Edgar. Nomor ponselnya tidak aktif, dan tidak ada tanda-tanda keberadaan lelaki itu di mansion keluarga Hazel.
Perempuan itu meraih ponselnya dan mendial nomor sang Papa.
"Papa, ada di mana sekarang?"
"Di rumah? Baik aku akan ke rumah sekarang. Jangan pergi ke mana-mana dulu," ujar Eliana.
Usai mengetahui keberadaan sang Papa di mana, Eliana bergegas meninggalkan rumah rahasianya.
Ia yakin sekali, Papanya pasti mengetahui keberadaan Edgar.
Dengan kecepatan penuh, ia mengendarai mobilnya dan sampai di mansion keluarga. Eliana langsung turun dan masuk ke dalam.
"Papa di mana?" tanyanya pada salah satu pelayan.
"Di kolam ikan di belakang, Nona."
Eliana bergegas menuju kolam ikan yang dimaksud. Dari belakang, ia melihat Aditama tengah memberi ikan-ikannya makan.
"Papa...,"
Aditama sontak menoleh ke belakang. "Ada apa?"
Eliana menghela napas berat lalu duduk di kursi yang ada di sebelah kolam. "Aku kesal dan marah."
"Soal Edgar lagi? Sudah Papa bilang, hapus obsesimu dan jangan berharap padanya lagi. Itu hanya akan menyakitimu," nasihat Aditama halus.
Eliana tetap menggeleng kuat. Baginya hanya Edgar lelaki yang ia cintai setelah Papanya. Walaupun Edgar adalah kakak angkatnya, ia tidak peduli dengan hal itu. Toh, mereka tidak ada hubungan darah.
"Papa tau di mana dia sekarang?"
Aditama menggeleng. "Sudah empat hari dia tidak ada menghubungi Papa lagi. Sepertinya dia sangat sibuk dengan pekerjaannya."
Eliana mengerang kesal. Mengingat pekerjaan Edgar yang selalu berada di samping Hazel kembali membuat marah.
"Pasti dia sedang bersama Hazel. Ugh, itu orang kapan matinya sih?!" rutuknya kesal.
Aditama tersenyum. "Bersabarlah. Edgar pasti akan melenyapkannya. Lagi pula, kau tidak usah membuat ulah lagi. Karena jika Edgar tau semua ulahmu, dia akan menjauhimu. Kau tidak mau itu terjadi bukan?"
Eliana mengangguk. "Aku harus menemui Dedrick. Dia adalah asisten setianya kak Edgar. Dia pasti tau di mana Kak Edgar sekarang."
Barulah Eliana teringat dengan asisten Edgar yang paling setia. Dedrick pasti akan memberitahunya di mana keberadaan Edgar.
"Lakukan apa yang ingin kau lakukan, tapi jangan mencelakai Hazel atau Gabriel. Karena kedua orang itu adalah jatah Edgar."
Eliana mendengus sebal tapi tetap mengangguk patuh. "Iya, Pa."
Aditama kembali menaburkan pelet ke kolam ikan. Eliana hanya mengamati aktivitas sang Papa.
"Papa tau di mana rumah Dedrick?"
Aditama menggeleng. "Dia tidak punya rumah tetap. Dedrick itu selalu berkelana dan tinggal di mana pun yang ia suka."
Eliana mengumpat pelan. Ini pasti akan menyulitkan lagi. Mau tidak mau ia harus mencari Dedrick yang keberadaannya selalu berpindah-pindah.
***
Edgar memberhentikan mobilnya di depan rumah sederhana yang memiliki dua lantai. Ia turun dan membuka kunci pagar secepat kilat. Setelahnya ia kembali masuk ke dalam mobil dan memarkirkan mobil tersebut di dalam rumah.
Pria itu menoleh ke jok sebelahnya, di mana Hazel masih terlelap sangat nyenyak. Tak sadar, Edgar telah menghabiskan waktu tiga puluh menit hanya untuk memandang wajah damai Hazel ketika tidur.
"Ngghh...,"
Edgar buru-buru mengalihkan pandangannya keluar jendela mobil. Hazel telah bangun.
"Kita sudah sampai?" tanya Hazel dengan suara pelan dan lesu. Hazel menatap ke arah luar. Rumah milik Edgar ini terbilang sederhana dan tidak terlalu besar. Di halaman depan pun di tanami berbagai jenis bunga yang segar-segar. Entah siapa yang merawatnya.
"Sudah, Nona. Ayo turun, anda bisa istirahat di kamar."
Hazel mengangguk patuh. Ia mengusap wajahnya beberapa kali lalu turun. Sekarang ia hanya tinggal bersama dengan Edgar, dan Hazel tidak ingin terlalu merepotkan lelaki itu.
Hazel berjalan ke bagasi mobil dan segera menurunkan beberapa barang. Edgar pun ikut menyusul. "Anda bawa saja kotak-kotak itu, koper biar saya yang turunkan," ujar Edgar cepat.
Hazel mengangguk. Ia mengeluarkan kotak-kotak yang tidak besar dan berisi sedikit. Cukup ringan.
"Ini kunci rumahnya, Nona." Edgar menyerahkan kunci rumahnya.
Hazel mengambil kunci itu dan berjalan menuju pintu lebih dulu. Gadis itu membuka pintu rumah dan masuk. Karena tidak tau di mana akan meletakkan barang, alhasil Hazel meletakkan kotak-kotak itu di dekat sofa. Hazel kembali mendekati Edgar, ternyata semua barang telah diturunkan lelaki itu.
Hazel mendorong dua kopernya sendiri dan masuk. Edgar mengikut di belakang dengan tangan yang penuh dengan tas-tas kecil dan mendorong kopernya sendiri.
"Kamarku di mana Ed?"
Edgar meletakkan barang-barangnya di sofa. "Ikuti saya."
Pria itu mengambil alih dua koper Hazel dan membawanya naik ke atas. Edgar berhenti di depan pintu kamar yang bercat biru laut.
"Ini kamar anda." Pria itu membuka pintu kamar dan menyuruh Hazel masuk.
Hazel memasuki kamarnya dengan perlahan. Ia mengedarkan pandangannya, dan merasa cukup puas dengan luasnya kamar ini.
"Kamarnya bagus, aku suka. Terima kasih, Ed."
Edgar mengangguk. "Anda bisa susun pakaian terlebih dahulu, setelah itu kita turun untuk makan."
"Makan apa?"
"Saya membeli pizza, spaghetti, sosis bakar dan juga nuggets. Ah iya, ada burger juga." Sebelum menuju rumah, tadi ia memang menyempatkan diri untuk memesan beberapa makanan karena tau Hazel sangat lapar.
Hazel tersenyum. Semua makanan itu termasuk makanan favoritnya. Siapa sih yang nggak suka fast food?!
"Apa tidak bisa kita makan dulu, Ed? Aku sudah lapar," pinta Hazel memelas.
"Baiklah."
Keduanya kembali turun. Edgar mengeluarkan makanan yang ia beli dari mobil dan kembali masuk ke dalam rumah.
Sedangkan Hazel menyibukkan diri mengelap meja makan yang berdebu. Setelah bersih, barulah ia menyuruh Edgar meletakkan plastik-plastik dan kotak makanan di atas meja.
Edgar mengeluarkan kotak-kotak makanan dari plastik dan menatanya, sementara Hazel membuka kotak itu hingga tercium lah aroma yang menggugah selera.
"Makanlah, Nona. Saya ambil minum sebentar." Edgar berjalan ke dapur, ia membuka kulkas dan mengeluarkan beberapa botol air putih dingin.
"Apa air itu bisa diminum?" tanya Hazel ragu.
"Kita baru tiba di sini, masa sudah ada air?" lanjut gadis itu.
"Air ini baru dibeli kemarin, Nona. Dan isi kulkas juga sudah penuh oleh bahan makanan. Jadi semuanya aman."
"Oh, jadi ada yang mengurus rumahmu ini?"
Edgar mengangguk. "Hanya membersihkan kamar dan merawat tanaman di halaman depan dan belakang."
"Oh okay. Mari kita makan!"
Makanan yang Edgar beli cukup dibilang banyak. Seperti porsi yang dibeli Gabriel malam tadi. Walaupun hanya berdua saja, pada akhirnya semua makanan di atas meja telah ludes tak bersisa.
"Ahh aku kenyang sekali." Hazel mengusap-usap perutnya yang penuh.
Edgar membersihkan kotak-kotak makanan dan membuangnya ke tempat sampah di dapur. Ia melakukan tugas itu sendiri karena sadar juga kalau Hazel sangat sulit bergerak lantaran kekenyangan.
"Anda sudah memberitahu Tuan jika sudah sampai, Nona?" tanya Edgar dengan suara yang sedikit keras karena pria itu sedang berada di dapur.
"Belum! Akan ku kabari."
Hazel mengeluarkan ponselnya di saku jaket yang ia kenakan. Ia segera mendial nomor baru Gabriel.
"Halo, kak. Lagi sibuk nggak?"
"Aku tidak sibuk untukmu. Bagaimana? Kau sudah tiba di rumahnya?"
"Aku sudah sampai kak. Dengan selamat," jawab Hazel santai.
"Syukurlah. Kalau ada apa-apa kabari padaku dan jangan lupa turuti apa perkataan Edgar. Mengerti?"
"Iya-iya aku paham. Kalau begitu sudah ya kak, aku mau menyusun pakaian ke lemari."
"Iya. Have fun selama di sana, jangan stres okay?" ujar Gabriel.
"Kakak juga, jangan stres dan enjoy saja. Jaga kesehatan kak Gab baik-baik."
"Siap, princess."
Tut!
Sambungan telepon pun terputus. Hazel meletakkan ponselnya di atas meja. Dengan lesu kepalanya terkulai jatuh di atas meja. Belum sehari ia tidak bertemu dengan Gabriel, kini ia sudah merindukan sang kakak.
Edgar menghampiri Hazel yang lesu seperti tidak bertenaga, padahal gadis itu sudah makan banyak.
"Anda kembali lah ke kamar. Susun pakaian dan istirahat lah. Nanti sore akan saya ajak berkeliling rumah, Nona."
Hazel mengangguk patuh, setelah memungut ponselnya, ia berjalan menaiki tangga menuju kamar barunya.
Edgar mengawasi pergerakan gadis itu dari belakang.
Setibanya di kamar, Hazel tak melakukan apa yang Edgar perintahkan tadi. Gadis itu justru merebahkan diri di kasur dan mulai menutup kedua matanya.
***
tbc...
part sebelumnya singkat banget dan maaf banget ada beberapa bagian yang rancu dan aneh. tapi aku udah perbaiki ya. kalau mau baca, sila baca ulang^^
thank you udah baca!^^