Sore harinya Hazel terbangun pada pukul empat sore. Tanpa membuang banyak waktu ia segera menyusun baju-bajunya di dalam lemari dan segera membersihkan tubuhnya yang lengket karena keringat. Aktivitasnya itu memakan waktu hingga satu jam.
Tepat pukul lima sore barulah ia turun dan hendak mencari Edgar. Hazel mengelilingi rumah sederhana namun nampak elegan itu. Di lantai satu ini, tidak ia temukan Edgar. Bahkan ia sudah mencari hingga ke dapur.
“Ed, kau ada di mana?!” seru Hazel setengah berteriak.
Namun tidak ada jawaban, membuat Hazel kesal sendiri. Gadis itu berjalan menuju sofa dan menghidupkan televisi.
“Anda mencari saya?”
“Astaga!” pekik Hazel kaget. Ia sedang asik-asiknya menonton, namun Edgar tiba-tiba datang bak hantu.
“Kau membuatku kaget!” tukas Hazel kesal.
“Maaf,” sesal Edgar.
Hazel baru menyadari bahwa tubuh Edgar penuh dengan keringat. Pikirannya mendadak tidak fokus kala melihat buliran air keringat itu membasahi tangan telanjang Edgar.
“Apa yang sedang anda lihat?” tanya Edgar dengan melipat kedua tangannya di depan d**a.
Hazel buru-buru menggeleng, “ Tidak ada. Aku hanya heran, kau habis dari mana keringatan begitu?” alibinya. Baru lima detik ia mengalihkan pandangan, kini ia kembali melihat bahu kekar Edgar.
‘Sial, kenapa pria ini begitu seksi mengenakan singlet hitam? Apa dia mau pamer otot?!’ batin Hazel kesal.
“Saya baru selesai berolahraga.”
“Olahraga di mana?”
“Di bawah,” jawab Edgar singkat dan sedikit ambigu di telinga Hazel.
Dahi Hazel mengerut dalam. “Di bawah? Apa maksudmu?”
“Tunggu sebentar, Nona. Setelah ini akan saya bawa anda jalan-jalan sekitar rumah,” ujar Edgar. Tanpa menunggu jawaban dari Hazel, pria itu berjalan naik ke lantai atas.
Hazel menunggu Edgar dengan kembali melanjutkan aktivitas menontonnya. Tak lama Edgar datang dengan menggunakan kaos hitam dan dalam keadaan yang segar seperti selesai mandi.
“Ayo Nona!”
Hazel segera mematikan televisi dan mengikuti Edgar.
Hazel mengerutkan dahinya ketika mereka tiba di depan sebuah pintu yang berada di sebelah dapur. “Pintu apa ini, Ed?”
Edgar tidak menjawab, pria itu justru langsung membuka pintu itu dan terpampanglah anak-anak tangga yang menuju lantai bawah tanah. Sepanjang lorong tangga hanya ada cahaya remang-remang.
Edgar turun lebih dulu dan mau tidak mau Hazel mebgikuti langkah pria itu walaupun ia merasa sedikit takut.
Setibanya di bawah, mulut Hazel terbuka lebar melihat ke depan. Setelah tangga ada sebuah pintu kaca yang terbuka otomatis, dan di dalamnya terdapat berbagai peralatan olahraga yang cukup lengkap.
“Jadi tadi kau olahraga di sini, Ed?” tanya Hazel.
“Iya. Lain kali, anda juga harus olahraga agar sehat. Saya akan mengajak anda,” imbuh Edgar.
Hazel mengangguk samar, gadis itu berjalan mengelilingi ruang olahraga yang tampak nyaman itu. Di sisi dinding sebelah kanan ada sebuah wallpaper hutan yang tampak sejuk dan damai. Membuat ruangan ini tidak terkesan sepi.
“Ayo kita kembali ke atas, Nona,” ajak Edgar.
Hazel mengangguk, ia telah puas melihat area bawah tanah ini.
Edgar membawa Hazel menuju halaman belakang yang sangat luas. Selain kolam renang, tidak jauh dari kolam ada padang rumput yang luas. Di bagian kanan lapangan rumput itu diisi oleh berbagai jenis bunga dan beragam warna. Dan sejauh mata memandang ke depan, terdapat tembok tinggi yang di atasnya disusun kaca-kacan tajam. Setelah tembok itu ada banyak pohon-pohon seperti di hutan.
Hazel baru sadar, jika rumah ini hampir di kelilingi oleh pepohonan, pantas saja suasana di sini sangat sejuk dan menangkan.
“Itu tempat apa, Ed?” Hazel menunjuk sebuah pondok yang ada di dekat tembok.
“Tempat tinggal kuda saya.”
“Kau punya kuda?! Bolehkah aku melihatnya?” Mata Hazel tampak berbinar-binar.
Edgar mengangguk. Keduanya pun berjalan ke ujung dan memasuki kandang kuda tersebut.
“Cuma satu kuda, ya?” gumam Hazel kala melihat kuda berwarna hitam legam yang sangat cantik.
“Mau berkeliling dengan kuda, Nona?”
Hazel terlihat tergiur dengan tawaran Edgar itu, namun ia urungkan karena melihat langit perlahan menggelap.
“Sudah mau malam, Ed. Besok saja.”
Edgar melihat ke atas langit, dan memang langit sudah tidak secerah siang tadi. “Kalau gitu kita sudahi kelilingnya.”
Edgar dan Hazel keluar dari kandang kuda. Hazel berjalan lebih dulu menuju rumah, sedangkan Edgar masih harus mengunci kandang tersebut.
***
Karena tidak ada pelayan atau pembantu, mau tidak mau Hazel memasak untuk makan malam. Edgar bilang, tempat makan sedikit jauh dari rumah ini.
Gadis itu mengeluarkan beberapa bahan makanan dan meletakkannya di meja dapur. Ia mengeluarkan dua d**a ayam. Ia akan membuat black pepper chicken steak.
Hazel mulai membuat bumbu untuk dioles pada ayam. Tiba-tiba Edgar datang dan berdiri di sebelahnya,
“Ada yang bisa saya bantu, Nona?”
Hazel mengangguk. “Lumuri ayam ini dengan bumbu black pepper yang telah ku buat. Setelah itu panggang di teflon-nya.”
Edgar mengangguk paham, ia jadi tahu menu apa yang akan dibuat oleh Hazel.
Edgar mengerjakan tugasnya, sedangkan Hazel mulai membuat saus barbeque. Resep saus ini adalah resep yang pernah diajari oleh Mommy-nya dulu, dan ia yakin rasa steak ini akan sangat lezat persis seperti buatan sang Mommy.
Setelah membuat saus barbeque-nya, Hazel memotong-motong wortel dan mengukusnya, tidak hanya wortel, ia juga menambahkan buncis.
Sekitar tiga puluh menit mereka memasak bersama, akhirnya menu makan malam mereka telah jadi.
Hazel menilai steak yang dipanggang oleh Edgar, cukup memuaskan. Tidak gosong. Dan Edgar seperti sangat terampil dalam hal per-panggangan.
Hazel menata piring mereka di meja dan mengambil air di kulkas.
“Sepertinya lezat,” komentar Edgar. Mata pria itu memandang piringnya yang sudah terisi steak ayam dan juga sayurannya. Di atas steak ada saus barbeque yang sangat harum.
“Ini memang lezat, bukan sepertinya lagi, Ed. Terlebih resep yang ku pakai adalah resep dari Mommy dulu,” jawab Hazel santai.
Gadis itu tak menyadari perubahan wajah drastis Edgar ketika ia mengucapkan kata Mommy.
“Kenapa melamun? Ayo makan!” sentak Hazel membuat lamunan Edgar buyar.
Selama beberapa detik, ia menatap wajah Hazel dengan tatapan yang sulit diartikan, hingga akhirnya ia mulai memotong steaknya menjadi beberapa bagian. Tidak bagus menunjukan kekagetan dan perubahan raut wajahnya pada Hazel. Ia tidak boleh ceroboh.
Edgar melupakan hal yang ia pikirkan dan mulai makan. Benar saja, ia sangat menyukai black pepper steak ini. Terasa sangat cocok di lidahnya.
“Ini benar enak, Nona.”
Hazel tersenyum bangga. “Apa ku bilang, memang sangat enak. Habiskan ya.”
Edgar mengangguk singkat.
Usai makan malam yang dihiasi oleh keheningan, untuk pertama kalinya Hazel mencuci piring bekas peralatan masak dan juga bekas makan mereka. Hazel hanya merasa ia harus melakukannya, karena tidak mungkin kan ia menyuruh Edgar? Nanti kalau Edgar membersihkan piringnya tidak bersih gimana?
Em, itu hanya alibinya saja. Sebenarnya entah mengapa Hazel agak malu jika dipandang tidak bisa melakukan pekerjaan rumah oleh Edgar. Oleh sebab itu ia yang membersihkan peralatan dapur dan juga mengelap meja. Sedangkan Edgar entah pergi ke mana.
Hazel menghela napas, akhirnya telah selesai semua yang ia cuci. Gadis itu mengelap tangannya ke sebuah kain lalu berjalan keluar dapur.
Ia melihat Egdar sedang fokus pada macbook di pangkuannya, sedangkan di depan sana televisi menyala.
“Apa yang kau lakukan, Ed?”
Edgar hanya menoleh sekilas. “Kerja, Nona,” sahutnya singkat.
Kedua manik Hazel membulat. “Hah? Kerja apa? Bukannya pekerjaanmu hanya menjadi bodyguard-ku?”
Edgar tampak sadar karena sudah sedikit keceplosan, ia menatap Hazel dengan wajah seriusnya agar Hazel tidak terlalu mencurigainya. “Kerja sampingan,” alibinya.
“Pekerjaan apa itu? Bolehkah aku membantu? Sekarang aku bosan sekali,” ungkap Hazel.
Untuk beberapa detik Edgar tidak menjawab, membuat Hazel mengerutkan keningnya. “Aku tidak boleh membantu, ya?” tanyanya.
Edgar mengangguk samar. “Lebih baik anda menonton atau lakukan aktivitas yang anda sukai, Nona.”
Hazel mendengus pelan, ia mendaratkan bokongnya di sebelah Edgar. Matanya memandang lurus ke arah depan. “Film apa ini?”
“Saya tidak tahu,” sahut Edgar acuh tak acuh dan tidak menoleh ke arah Hazel.
“Ah tidak seru,” keluh Hazel kebosanan sendiri.
“Di kulkas ada buah, anda bisa nyemil itu,” balas Edgar yang masih fokus dengan laptopnya.
“Aku sudah kenyang.”
Edgar memberhentikan gerakan jari-jarinya di keyboard laptop, kepalanya menoleh ke samping. “Jadi, apa yang anda inginkan?”
Hazel menggeleng tidak tahu dan mengangkat bahunya. Edgar menghela napas berat. “Mau main, Nona?”
“Main apa?” tanya Hazel bingung.
“Truth or dare atau apapun itu,” balas Edgar yang tidak membuat Hazel tertarik.
“Aku tidak tertarik bermain ToD,” imbuh Hazel datar.
“Kalau begitu, saya lanjut kerja, Nona.” Edgar kembali fokus pada laptopnya, lagi pula ia tidak tahu apa yang sebenarnya diinginkan oleh Hazel.
Malam ini, Hazel sangat aneh. Ia tidak mau ambil pusing, pekerjaannya jauh lebih penting.
Sekitar satu jam kemudian, Edgar menyelesaikan tugasnya. Pria itu meletakkan laptopnya di atas meja dan merenggangkan otot-otot tangannya yang terasa pegal.
Tatapan Edgar kemudian beralih pada gadis di sebelahnya. Ternyata Hazel sudah tidur lelap, pantas saja sejak tadi Edgar sudah tidak mendengar celotehannya.
Tuk!
Tubuh Edgar menegang kala kepala Hazel jatuh di bahunya. Ia menundukkan kepalanya sedikit, menatap wajah Hazel yang ketutupan anak rambut.
“Nona...”
“Nona Hazel, bangun lah dan pindah ke kamar segera.”
Hening, tidak ada sahutan dari Hazel. Lima menit Edgar menunggu Hazel bangun, namun gadis itu tak kunnjung membuka matanya. Hazel tertidur sudah seperti orang mati saja, tidak ada pergerakan apapun selain pergerakan di dadanya yang menandakan bahwa ia sedang bernapas.
Edgar menghembuskan napas. Pelan-pelan, ia langsung menggendong tubuh Hazel dan membawanya naik ke lantai atas. Pria itu membaringkan Hazel dengan penuh hati-hati di atas ranjang. Setelah memastikan posisi tidur Hazel yang nyaman, barulah ia menyelimuti tubuh Hazel.
Edgar mengedarkan pandangannya ke seluruh kamar baru Hazel. Di atas meja belajar, ada beberapa tumpukan buku yang ia tebak adalah novel. Sementara di sudut kamar di dekat lemari, terdapat koper besar Hazel yang terbuka dan tampak kosong. Berarti sang pemilik sudah menyusun semua barang-barangnya.
Tatapan Edgar jatuh pada dompe yang terbuka di atas nakas. Dengan lancang ia meraih donpet panjang tersebut.
Sebuah foto terlihat di dalam dompetnya. Foto Hazel dan Jacob, entah sedang di mana mereka yang jelas tempatnya sangat indah. Edgar yakin itu adalah salah satu tempat romantis di London.
Edgar mendengus jengkel, melihat ekspresi Jacob benar-benar membuatnya kesal. Padahal Jacob hanya tersenyum di dalam foto. Namun mata Edgar malah salah fokus pada tangan Jacob yang merangkul erat Hazel.
Rasa panas penuh keirian menjalar ditubuhnya, ia sangat tidak menyukai foto itu. Rasanya ingin ia sobek saja. Namun ia tak bisa melakukan hal itu, dengan amat terpaksa Edgar menutup kembali dompet panjang Hazel dan meletakkannya kembali di nakas. JIka ia terus menatap foto itu, maka ia akan benar-benar merobek foto tersebut.
“Sweet dreams and sleep tight, Haz,” gumam Edgar lalu berjalan ke arah pintu. Pria itu mematikan lampu utama kamar dan menggantinya dengan lampu tidur. Setelah itu Edgar berjalan keluar dari kamar Hazel dan menuju kamarnya sendiri.