Chapter 56

1700 Kata
Sejak pagi, hujan mengguyur kota Bristol, dan cukup lebat. Terlebih muncul suara petir yang bergemuruh. Hazel bangkit dari ranjangnya dengan malas. Kalau bukan karena ia kedinginan, ia tak akan beranjak dari kasur. Hazel membuka lemarinya dan mengeluarkan kardigan rajut yang cukup tebal lalu memakainya. Setelah cukup hangat, ia juga memakai kaus kaki agar kaki-kakinya tetap hangat. Gadis itu berjalan keluar kamar dan menuju dapur. Ia harap ada bubuk cokelat di lemari penyimpanan. Dingin-dingin minum cokelat hangat itu terbaik. “Apa yang sedang anda cari?” Edgar tiba-tiba muncul di belakang Hazel dan bertanya dengan suara beratnya. Hazel terlonjak kaget, spontan ia membalikkan tubuhnya. “Kau mengagetiku!” rutuknya kesal. “Aku mencari cokelat bubur atau yang sachet, mau minum cokelat hangat,” lanjut Hazel. Edgar mengangguk paham, lelaki itu berjalan ke arah lemari di sebelah Hazel dan mengeluarkan kotak yang berisi banyaknya bungkus sachet kopi dan cokelat. “Terima kasih. Kau mau juga, Ed?” tawar Hazel. Edgar mengangguk. “Yang kopi saja Nona.” Hazel kontan menggeleng tidak setuju. Kita belum sarapan, dan perutmu pasti kosong, tidak baik meminum kopi saat perut kosong,” omelnya. “Anda ingin sarapan apa?” tanya Edgar yang mengabaikan omelan Hazel. “Aku sedang malas memasak sarapan, apa ada roti di sini?” Tanpa ragu Edgar mengangguk. Edgar merasa lega sebab beberapa hari sebelumnya sudah menyuruh anak buahnya untuk melengkapi bahan-bahan dapur dan juga camilan, jadi mereka bisa langsung makan dan memasak tanpa harus berbelanja. “Roti bakar karamel, anda suka?” tanya Edgar memastikan. “Suka.” “Kalau begitu, anda buatkan minumannya, dan saya buat roti bakarnya,” uajr Edgar ringan. Pria itu mengambil bungkusan roti tawar dari lemari dan mengeluarkan empat lembar roti. Edgar mengambil mentega, mencampurkan mentega itu dengan brown sugar dan juga sedikit gula lalu ia aduk. Setelah semuanya rata, barulah Edgar mengolesi permukaan roti dengan mentega tadi dan memasukkannya langsung ke mesin pemanggang. Keduanya masih sibuk menyiapkan sarapan bersama. Suara petir sudah berhenti bergemuruh, namun hujan masih mengguyur kota. Suara petir tidak terlalu besar atau mengejutkan, sehingga Hazel tidak perlu berteriak-teriak kaget. “Setelah sarapan, apa yang akan kau lakukan Ed?” tanya Hazel tanpa menoleh, gadis itu membawa dua cangkir berisi cokelat panas ke meja makan. Edgar mengedikkan bahunya acuh tak acuh. “Mungkin saya akan berolahraga, Nona.” “Di waktu hujan seperti ini??” tanya Hazel tak percaya. Apakah hanya dirinya saja yang tidak suka olahraga? Kalau di lihat-lihat, kenapa Edgar begitu semangat sekali jika olahraga? Apa karena Edgar hendak membentuk kotak di perutnya hingga ia sering berolahraga seperti ini? “Apa salahnya, Nona? Lagi pula, saya olahraganya di lantai bawah, bukan di luar rumah. Jadi saya tidak akan kehujanan.” Edgar menyahut sembari memindahkan roti bakar hasilnya ke piring. “Em, benar juga sih yang kau katakan.” Hazel tak tahu ingin bicara seperti apa lagi. Gadis itu menyesap minumannya perlahan. “Terima kasih,” gumam Hazel saat Edgar memberinya dua lembar roti bakar. Hazel merobek roti tersebut dan memakannya, pertama kali masuk ke dalam mulut dan ia kunyah terasa sangat crunchy di luar dan lembut di dalam. “Ini enak,” komentar Hazel. Edgar hanya mengulum senyum tipis. Ia merasa senang karena Hazel menyukai sarapan yang ia buat. *** Setelah sarapan, Hazel merasa sangat malas untuk mandi. Ia sudah tidak melihat Edgar di mana pun, dan kini ia hanya seorang diri di kamarnya. Kepala Hazel menoleh ke arah jendela. Masih gerimis. Kakinya perlahan turun dari ranjang dan ia mendekati jendela panjang yang menyerupai pintu. Hazel membuka jendela itu dan keluar. Ia berdiri di balkon. Udara semakin terasa sangat dingin, namun Hazel cukup menyukainya. Terlebih melihat rumput-rumput hijau yang basah. Tak sengaja melihat kandang kuda, Hazel jadi teringat akan ajakan Edgar sore kemarin. Pria itu menawarkan dirinya untuk jalan-jalan dengan kuda. Seharusnya ia pergi hari ini, tapi karena hujan, rencananya batal. Hazel kembali menghela napas berat entah untuk ke sekian kalinya di pagi ini. Rasanya ia sangat bosan di sini, tidak ada yang bisa ia lakukan. Bisa kah seseorang memberitahunya apa yang harus ia lakukan sekarang? Ia terkurung di rumah ini, terkurung oleh hujan. Tok... tok... tok... Hazel terperanjat kaget, spontan ia menatap pintu kamarnya. “Ada apa?” “Anda di balkon?” tanya Edgar dari luar. Alis sebelah kanan Hazel terangkat naik heran, bagaimana bisa Edgar mengetahuinya? Apa di sini ada kamera CCTV yang memata-matai pergerakannya?! “Dari mana kau tahu?” “Jadi benar. Saya sarankan segera tutup jendela dan jangan berdiri di balkon, Nona," peringat Edgar dengan tegas. Hazel membuka pintu kamarnya dan menatap Edgar dengan raut wajah protes. “Kenapa kau bisa tahu apa yang aku lakukan di dalam sini? Di kamarku ada kamera tersembunyi ya?!” tudingnya langsung. “Bukan, saya melihat dari sistem pengamanan. Salah satu pintu terbuka, dan ternyata itu pintu jendela kamar anda,” jelas Edgar tenang. “Kau pikir aku percaya dengan kata-katamu?” “Ayo ikuti saya, akan saya tunjukkan.” Awalnya mata Hazel memicing curiga, namun pada akhirnya gadis itu mengikuti Edgar menuju sebuah ruangan yang tak jauh dari kamarnya. “Ruangan apa ini? Kemarin kau tidak mengatakannya padaku.” “Ini ruang CCTV d-” “Tuhkan benar, kau menyimpan kamera di kamarku, kau mau memata-mataiku ya? Atau lebih parah kau mau mengintipku?!” tuduh Hazel. Gadis itu spontan memeluk dirinya sendiri dan memandang Edgar dengan horor. Edgar menarik napas. “Jangan memotong ucapan saya, Nona. Ini adalah ruangan CCTV dan juga tempat kendali sensor-sensor yang ada di beberapa pintu. Beberapa pintu di rumah ini di pasang begitu aman, jika terjadi sesuatu maka alarm akan berbunyi. Misalnya ada seorang maling yang berusaha menerobos dengan merusakkan pintu atau jendela, nah nanti alarm berbunyi otomatis,” jelas pria itu panjang lebar. Hazel mengangguk paham lalu nyengir kuda. “Oh... ternyata begitu, maaf aku sudah berpikiran yang tidak-tidak.” Edgar mendengus samar dan tidak membalas. “Jendela menuju balkon di kamar anda juga menggunakan sensor dan memiliki keamanan yang cukup tinggi. Jadi tidak ada yang bisa menerobos masuk jika dari sana. Makanya tadi saya langsung menyuruh anda untuk menutup kembali jendelanya.” “Iya, iya. Aku paham.” “Apa jendelanya sudah ditutup?” Hazel menggeleng. “Be-” DUARR!! “Astaga!!” teriak Hazel langsung memeluk lengan kekar Edgar. Matanya terpejam saking terkejutnya. Petir menyambar bergitu tiba-tiba, padahal sebelumnya hanya ada gerimis. Aneh. “Anda baik-baik saja?” tanya Edgar kaku. Lelaki itu melirik tangannya yang dipeluk oleh Edgar. Hazel menggeleng samar. “Kenapa tiba-tiba ada petir sih? Padahal tadi udah nggak ada lagi,” omelnya. “Sudah hukum alam begitu, datang tiba-tiba,” balas Edgar sekenanya. Edgar hendak menyingkirkan tangan Hazel di lengannya, namun Hazel tampak enggan melepaskan. “Kau mau ke mana?” “Mau lanjut bekerja.” Hazel mendengus. “Kerja terus, ayo nonton bersamaku.” “Saya harus kerja untuk mencari uang,” sahut Edgar santai. “Masa bayaran dari kak Gab kurang sih? Gaji yang mana lebih besar? Dari kak Gab atau pekerjaan rahasiamu itu?” “Dari pekerjaan rahasia, tentu saja,” jawab Edgar dengan senyum miring. “Memangnya pekerjaan apa yang kau lakukan?” “Menjual senjata, mengelola rumah b****l?” jawab Edgar ngasal dan dengan nada yang aneh di telinga Hazel. “Kenapa nada suaramu seperti bertanya begitu? Apa kau benar-benar melakukan dua pekerjaan itu? menjual senjata dan rumah itu?” tanya Hazel ragu, ia mulai cemas sekarang. Kalau pekerjaan rahasia Edgar berbahaya seperti ini, apa ia juga akan terkena bahaya? Edgar berdeham singkat. “Anda percaya yang saya katakan?” Awalnya Hazel mengangguk, namun sedetik kemudian menggeleng. “Percaya nggak percaya sih. Percaya seratus persen kalau ada buktinya.” Edgar menghela napas. “Buktinya tidak ada, jadi itu hanyalah pekerjaan rekayasa, Nona.” “Oh .. syukurlah.” “Kapan anda akan melepaskan tangan saya, Nona? Anda tidak mencari kesempatan memegang tangan kekar nan berotot punya saya, kan?” tanya Edgar dengan nada sedikit menyombongkan otot-ototnya. Hazel menatap tangannya yang masih melingkar di lengan Edgar. Ia berdehem cangung dan langsung melepaskan tangan Edgar. “Maaf, itu tadi efek terkejut karena ada petir. Aku tidak modus pegang-pegang kok.” “Iya deh, saya percaya. Kalau gitu anda bisa kembali ke kamar. Kunci jendela tadi dan tidur atau berbuatlah sesuka anda.” “Nanti ada petir besar lagi gimana, lebih enak nonton di luar lah dari pada sendiri di kamar.” “Ya sudah, saya temani tutup jendela balkonnya, mau?” Tanpa pikir panjang, tentu saja Hazel mengangguk setuju. Gadis itu mengikuti langkah Edgar pelan-pelan. Membiarkan pria itu memasuki kamarnya dan menutup jendela besar  yang langsung mengarah pada balkon kamar. “Sudah, anda ambil keperluan anda. Kita ke bawah saja, saya temani nonton.” Senyum  Hazel mengembang, gadis itu mengambil laptop pemberian Gabriel beberapa hari lalu dan mengambil sebuah novel. “Udah?” Hazel mengangguk. Edgar langsung mengambil alih laptop dan chargernya dari tangan Hazel. Pria itu berjalan lebih dulu menuruni tangga. “Anda ingin nonton film apa?” “Em, kau juga ingin ikut nonton?” Hazel balik bertanya. “Saya kan sudah bilang akan menemani anda, jadi ikutan juga dong.” “Genrenya romantis, kau tidak masalah, kan?” Edgar tampak berpikir sejenak. Sebenarnya ia tidak suka dengan alur menye-menye romantis.  Ia lebih suka menonton film genre horror dan action. Lebih menantang adrenalin. “Iya, tidak masalah, Nona. Saya hanya ngikut,” jawab Edgar pasrah. “Okay.” Hazel mulai menghidupkan laptopnya dan mencari-cari file film yang hendak ia tonton. Setelah mendapatkannya, ia langsung memutar film tersebut dan duduk dengan nyaman di sofa. “Bagaimana bisa kau melihat filmnya kalau kau saja duduk di sudut begitu?” tukas Hazel tak habis pikir. Edgar duduk di sudut sofa dan berjarak sekitar dua meter darinya. Ia sangsi sendiri jika nanti Edgar bisa melihat tayangan film sampai selesai. “Duduklah di sebelahku.” Hazel menepuk tempat di sebelahnya dengan santai. “Baiklah.” Hanya Hazel, yang dapat menyuruh Edgar ini dan itu. Edgar pun tidak tahu, kenapa ia selalu saja menurut dengan perkataan Hazel. Bahkan ia sangat sulit menolak. Dan sudah beberapa kali ia mendengar omelan gadis itu. Bukannya kesal atau marah karena diomelin Hazel, justru ia merasa senang. Apa yang terjadi padanya sebenarnya? Kenapa ia selalu bertindak yang sangat bertolak belakang jika pada Hazel?!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN