Perjalanan yang hampir menempuh waktu dua puluh empat jam itu pun berakhir. Hazel dan Edgar sudah berada di bandara, dan kini sedang menunggu koper mereka.
"Ed, aku haus," ujar Hazel.
Edgar membuka tas hitam di punggungnya lalu mengeluarkan air mineral dari sana. Ia memberikan air itu pada Hazel.
"Bekasmu?"
Edgar memutar bola matanya malas. "Mau atau tidak?"
Mau tidak mau Hazel menerima air itu karena di sekitaran tempat menunggu koper tidak ada toko atau restaurant untuk membeli minum.
"Saya sudah menghubungi Ansel," ucap Edgar setelah menerima kembali botol minumnya.
Hazel menepuk dahinya, seharusnya ia yang menghubungi Ansel karena kemarin ia telah mengatakan pada Ansel ia yang akan menghubungi. "Aku melupakannya."
"Sudah saya duga," sahut Edgar acuh tak acuh.
Keduanya pun diam membisu, tatapan mata Edgar nyalang menatap tempat di mana koper akan berada nanti. Hingga beberapa koper sudah terlihat.
"Itu koper kita!" Hazel menunjuk dua koper yang tak lain adalah miliknya dan milik Edgar.
Edgar berjalan mendekat lalu menurunkan kopernya dan Hazel. Setelahnya ia menyeret koper itu mendekati Hazel.
Setelah semuanya selesai, keduanya berjalan keluar dari bandara. Di luar mereka menanti seseorang yang akan menjemput.
Lima menit menunggu, akhirnya ada seorang laki-laki berpakaian santai menjumpai mereka.
"Nona Hazel?" tanya lelaki berpakaian Hoodie hitam.
Hazel mengangguk. Lelaki itu tersenyum ramah. "Silahkan masuk ke dalam mobil, Nona."
Hazel menatap mobil di depannya lalu ia berjalan masuk. Sedangkan kopernya diambil alih oleh lelaki berhoodie hitam.
Setelah semua barang masuk ke dal bagasi, Edgar dan lelaki asing itu masuk ke dalam mobil. Edgar duduk tepat di jok depan.
Selama diperjalanan menuju rumah sakit, hanya keheningan yang melanda mobil. Tidak ada satupun pembicaraan di sana. Hazel membuang pandangannya keluar jendela, menatap jalanan yang tidak terlalu padat.
Lima belas menit kemudian mobil berhenti di parkiran sebuah rumah sakit besar yang katanya sangat terkenal di kota Zurich ini.
Dengan dipandu lelaki berhoodie hitam, Hazel dan Edgar berjalan memasuki rumah sakit.
Mereka di bawa ke lantai lima, dan tepat di depan ruangan ICU. Hazel dapat melihat Ansel duduk menyandar di sebuah kursi tunggu.
"Ansel..."
Tubuh Ansel sontak menegak dan menoleh ke sumber suara. "Akhirnya kau tiba dengan selamat," ucapnya lega.
Hazel mengangguk singkat. "Bagaimana dengan kak Gab?"
"Setelah sadar kemarin, hingga kini ia belum membuka matanya lagi. Tapi keadaannya masih terpantau dengan baik," jawab Ansel lesu.
Bahu Hazel merosot turun. "Apakah pelakunya sudah ditemukan?" tanyanya lirih.
Ansel menggeleng lemah. "Kepolisian masih mengusut kejadian ini, terlebih saat tahu ada yang tak beres dengan mobil itu."
"Aku ingin pelakunya di tangkap, kerahkan orang-orang yang terbaik, Ansel." Hazel menatap Ansel serius.
"Tentu saja, aku akan melakukannya. Sekarang duduklah dulu, kau pasti lelah."
Hazel menuruti ucapan Ansel, ia duduk di kursi panjang itu. Matanya melirik Edgar dan lelaki berhoodie.
"Duduklah juga, Ed." Hazel menepuk kursi di sebelahnya lalu tatapannya beralih ke lelaki berhoodie hitam. "By the way, siapa namamu?"
"Martin," jawab pria berhoodie hitam itu.
Hazel mengangguk paham.
"Omong-omong bagaimana kalau kalian ke hotel dulu? Martin akan mengantar ke hotel di mana aku dan Gabriel menginap," usul Ansel.
Hazel mengangguk cepat. "Tubuhku juga terasa lengket dan butuh mandi. Kalau begitu aku pergi dulu."
Hazel kembali berdiri dan diikuti oleh Edgar.
"Kabari aku jika ada sesuatu," pesan Hazel.
Ansel menganggukkan kepalanya. "Bersihkan dirimu dan makanlah di luar, baru setelah itu ke rumah sakit."
"Okay, aku paham."
Hazel, Edgar dan Martin kembali berjalan menuju lift. Meninggalkan Ansel seorang diri lagi.
***
Sesampainya di hotel bintang lima, Hazel segera melakukan check-in untuk dua kamar. Tentunya ia memesan kamar tepat di lantai yang sama seperti Gabriel dan Ansel. Berada di lantai enam.
"Ini kuncimu." Hazel menyerahkan kunci bernomor enam ratus sepuluh pada Edgar.
Edgar menerima kunci itu dengan cepat. "Kalau begitu saya permisi, Nona."
Edgar masuk ke dalam kamarnya, begitu pula dengan Hazel. Sedangkan Martin sudah menghilang di balik pintu kamarnya sendiri.
Hazel menjatuhkan tubuhnya di ranjang, ia menatap langit-langit kamar lalu menghela napas panjang. Setelah puas berbaring barulah ia beranjak menuju kamar mandi.
***
Usai membersihkan badan, Hazel mengajak Edgar untuk makan di restoran hotel. Sudah hampir masuk jam makan siang juga.
Di restoran nya, Hazel mencoba berbagai menu yang tentunya sangat lezat. Beragam ekspresi pun terukir di wajah cantiknya.
Sesekali dalam diam, mata Edgar mencuri lirik ke Hazel. Seluruh ekspresi yang ditampilkan gadis itu mengundang perhatiannya. Namun ia tersadar ketika Martin memperhatikannya sejak tadi. Alhasil Edgar kembali bersikap dingin dan berusaha untuk tidak melirik Hazel.
Tringgg... Tringg... Tringg...
Hazel meraih ponselnya di meja, nama Ansel lah yang terpampang di layar.
"Ada apa?" tanya Hazel langsung.
"Gabriel sudah sadar, kalau bisa datang ke sini lebih cepat," ujar Ansel di seberang sana.
Mendengar itu Hazel berucap syukur berkali-kali, akhirnya kakaknya bangun setelah dua hari tidur. "Aku akan ke sana sekarang. Terimakasih, Ansel."
Setelah mendengar respon dari Ansel, Hazel mematikan sambungan telepon.
"Ayo ke rumah sakit!" ajak Hazel pada Edgar dan Martin di depannya.
Edgar melirik Martin sekilas lalu berdeham. "Selesaikan makan siang anda dulu Nona," sahut Edgar tegas.
"Tapi kak Gabriel sudah bangun, aku harus ke sana." Hazel ngotot ingin segera ke rumah sakit.
"Tuan Gabriel pasti baik-baik saja. Anda harus menghabiskan makan siang, sangat disayangkan bersisa seperti ini," omel Edgar. Bahkan lelaki itu tak sadar jika untaian kalimatnya terdengar seperti omelan.
Hazel mendengus pelan. "Baiklah, baiklah," pasrahnya.
Dengan semangat empat lima Hazel menghabiskan makanan yang telah ia pilih tadi. Edgar dan Martin pun kembali menikmati makanannya.
Sepuluh menit kemudian mereka selesai makan. Hazel buru-buru bangkit setelah menandaskan segelas air mineral. "Ayo cepetan!" serunya tidak sabaran pada Edgar dan Martin yang masih duduk.
"Iya, Nona iya." Edgar menyahut malas. Mungkin jika ada predikat bodyguard yang paling berani pada sang Nona, Edgar agar menempati posisi itu. Secara selama ia menjadi bodyguard Hazel, ada beberapa tindakannya yang seenaknya sendiri. Tapi untungnya Hazel tidak memprotes hal itu.
Ketiganya berjalan menuju mobil yang disetir langsung oleh Martin.
Dua puluh menit kemudian mereka tiba di rumah sakit. Dengan langkah lebar Hazel menuju lift.
Di dalam lift, baru saja Hazel hendak menekan tombol berangka lima. Suara Edgar lebih dulu menghentikannya.
"Tuan Edgar sudah di pindahkan ke ruangan rawat inap, di lantai delapan nomor sebelas," jelas Edgar.
Mata Hazel memicing menatap Edgar. "Tau dari mana?"
"Ansel mengabari saya."
Hazel mengangguk paham, barulah ia menekan angka delapan. Beberapa detik kemudian mereka tiba di lantai delapan, Hazel berlari kecil keluar dari lift.
Cklek!
"Kak Gabriel..." Hazel melangkah masuk ke dalam kamar. Matanya menatap Gabriel penuh rindu dan kecemasan.
Gabriel hanya bisa tersenyum kecil menyambut sang adik, tubuhnya belum bisa digerakkan leluasa.
Hazel memeluk Gabriel dengan lembut, posisi Gabriel memang masih harus berbaring, maka dari itu Hazel memeluk kakaknya itu dengan pelan.
"Syukurlah kau baik-baik saja, kak. Aku tidak bisa membayangkan jika kau menyusul Papa dan Mama hiks," tangis Hazel pecah.
Gabriel mengangkat tangan kanannya perlahan-lahan dan mengusap punggung Hazel pelan. "Aku tidak akan ke mana-mana. Aku di sini."
Walaupun ditenangkan seperti itu, tetap saja Hazel masih menangis.
"Ssshhh," ringis Gabriel tiba-tiba.
Hazel melepaskan pelukannya dengan panik. "Ada apa? Yang mana yang sakit?"
Gabriel menunjuk kepalanya dengan lemah. "Pusing."
Hazel berbalik, menatap Ansel yang berdiri di sebelah Edgar dan tepat di belakangnya.
"Apa kata dokter?"
"Dia baik-baik saja, rasa pusing itu ia dapatkan karena efek kepalanya yang terbentur. Dan kemungkinan nanti dia akan muntah pula, tapi ia baik-baik saja selama minum obatnya dan istirahat," ujar Ansel panjang lebar.
"Aku mengerti." Tatapan Hazel kembali berlatih ke Gabriel, ia duduk di kursi di sebelah bangsal Gabriel.
"Tidurlah dan istirahatlah, kak. Aku akan menjagamu di sini."
Gabriel tersenyum tipis. Tangannya meraih tangan Hazel dan menggenggamnya dengan erat, kedua matanya pun tertutup.
Edgar yang menyaksikan kedekatan Gabriel dan Hazel hanya berekspresi datar. Kedua kakak beradik itu memang sangatlah dekat, dan bayangan ketika mereka berdua di pisahkan sudah tergambar di dalam benak Edgar.
Meskipun begitu, tak membuat rasa iba muncul di hatinya.
***
to be continued...
sepi amat, komen dong ngehehe:v
thank you uda baca ( ◜‿◝ )♡