Chapter 13

1377 Kata
Hari sudah beranjak sore, Hazel menghabiskan waktunya berada di dalam kamar inap Gabriel, sedangkan Martin pergi melanjutkan pekerjaannya bersama Ansel. Karena Gabriel sakit, mereka berdua lah yang melanjutkan dan menghandle pekerjaan di Swiss ini. Edgar duduk di kursi panjang yang ada di luar kamar Gabriel. Tangannya memutar-mutar ponselnya dengan bosan. Hingga sebuah ide muncul di dalam benaknya. Edgar mencari kontak nomor Aditama Harrison, yang tidak lain adalah Ayah yang mengasuhnya sekaligus atasannya. Ya, dia memanglah anak angkat dari Aditama Harrison. Menjadi bodyguard Hazel adalah salah satu dari sekian permintaan Aditama. Ada sesuatu yang harus ia pastikan. Beruntung, dipanggilan pertama Aditama langsung mengangkat panggilannya. "Halo, Pa. Apa Papa sibuk?" tanya Edgar dengan sopan. Karena ia sangat menghormati Aditama. "Tidak. Ada apa?" Terdengar suara berat Aditama dari seberang. Edgar berdeham sekilas. "Sebentar, Pa." Edgar berjalan menjauhi kamar inap Gabriel. Ia berjalan menuju tangga darurat. "Apa kecelakaan Gabriel ada sangkut pautnya dengan orang suruhan Papa yang lain?" "Gabriel kecelakaan?" Aditama malah bertanya balik, membuat Edgar heran. "Jadi bukan Papa pelakunya?" "Tentu tidak. Urusan Gabriel dan Hazel sepenuhnya aku serahkan padamu, Edgar. Kalau begitu, kemungkinan ini adalah ulah musuh Keluarga Austen yang lain, bukan dari kita," jelas Aditama. Edgar tertegun, ia pikir hanya Keluarga Harrison saja yanh memiliki dendam pada keluarga Austen yang tak lain adalah keluarga Hazel. "Baiklah, Pa kalau begitu. Aku akan mencari orangnya itu," putus Edgar. "Kenapa mencarinya?" tanya Aditama heran. Edgar terdiam membisu, untuk alasan spesifik ia tidak tahu. Ia hanya mengingat janjinya pada Hazel. Edgar berdeham lagi. "Mencari musuh itu, dan mengajaknya kerja sama. Bukankah itu bagus, Pa?" alibinya. Aditama tertawa di sana. Seperti tampak puas dengan pemikiran putra angkatnya itu. "Bagus. Yang jelas keluarga Austen harus hancur. Terserahmu jalannya seperti apa." "Baik, Pa. Aku mengerti. Aku tutup dulu, jaga kesehatan Papa," ujar Edgar. "Iya." Sambungan telepon pun terputus. Edgar menurunkan tangannya lalu memasukkan ponselnya ke saku. Ia bersandar pada dinding, helaan napas berat keluar dari hidungnya. Apa ini? Ia pikir semua ini ulah Aditama. Tapi ternyata bukan. Lagi pula siapa lagi yang menjadi musuh keluarga Austen? Ponsel Edgar bergetar, ia kembali merogoh saku celana dan mengambil benda pipih itu. Nama Hazel lah yang terpampang di layar. "Ada apa, Nona?" "Kau di mana, Ed? Aku lapar, ayo kita makan. Kak Gab sudah tidur lagi habis makan," ujar Hazel. "Saya akan segera ke sana." "Baiklah." Hazel memutus sambungan telepon mereka. Edgar bergegas kembali ke kamar inap Gabriel. Setibanya di depan pintu, ia dicegat oleh seorang laki-laki berpakaian hitam. "Anda tidak boleh masuk," ucap laki-laki itu. Dahi Edgar mengerut dalam. "Siapa kau?" "Aku Deo, bodyguard Tuan Gabriel," ujar lelaki asing itu. Edgar mendengus. "Aku adalah asisten Nona Hazel. Mau apa kau?" Sinisnya. Lelaki bernama Deo itu tampak gelagapan. "Kau Edgar?" Edgar mengangguk. Lantas Deo menyingkir lalu membukakan pintu. "Silakan masuk." Tanpa mengucapkan apapun lagi, Edgar melangkah memasuki kamar inap Gabriel. "Akhirnya kau datang." Hazel menghela napas lega. Mata Edgar melirik Gabriel yang sudah tidur, lalu tatapannya kembali menatap Hazel. "Kita makan di restoran yang ada di depan rumah sakit saja, Nona." Hazel mengangguk tanpa protes. Keduanya pun berjalan keluar dari kamar. "Tolong awasi kakakku ya," pesan Hazel pada Deo. Deo mengangguk patuh. "Baik, Nona." Hazel kembali melanjutkan langkahnya dan disusul oleh Edgar yang tanpa canggung berjalan di sebelah Hazel. Lima menit kemudian mereka tiba di restoran. Mereka memilih tempat yang sepi dan tidak terlalu mencolok. "Aku ingin Zurcher geschnetzeltes. Ugh, namanya sangat susah disebut," keluh Hazel diakhir kalimatnya. Edgar hanya tersenyum tipis dan juga ikut memesan. Pelayan mencatat pesanan mereka dengan cepat lalu pergi ke balik dapur. Hazel meletakkan tangannya di atas meja, kepalanya ia letakkan pula di atas punggung tangannya. Matanya menatap lurus pada manik Edgar. "So, apa kau sudah mendapatkan sesuatu tentang kecelakaan itu?" Edgar menggeleng. "Belum. Saya dan Ansel siang tadi masih menyelidiki ke kantor polisi. Setidaknya beberapa hal sudah saya simpan dan akan mencarinya nanti." Siang tadi Ansel dan Edgar memang sempat ke kantor polisi. Tapi hanya sebentar, karena Ansel harus segera melanjutkan pekerjaannya. Hazel mendesah kecewa. "Aku harap kau bisa menemukan pelakunya dengan cepat." Edgar hanya mengangguk sebagai respon. *** Malam harinya, usai diperiksa oleh Dokter, Gabriel kembali tidur setelah meminum obatnya. Kata Dokter tidak ada hal yang perlu dicemaskan. Seluruh organ vital Gabriel baik-baik saja. Hanya saja pemulihan kakinya yang patah akan membutuhkan waktu yang cukup lama, minimal satu tahun. "Aku akan berjaga di sini, kau kembali saja ke hotel bersama Edgar," ucap Ansel. Lelaki itu sudah melihat Hazel terkantuk-kantuk. Kepala gadis itu sesekali turun ke bawah dengan mata yang terpejam. Hazel menggeleng. "Aku akan di sini," sahutnya pelan. "Aku dan Deo siap siaga di sini. Kau tidak perlu khawatir." Ansel bersikukuh menyuruh Hazel untuk kembali ke hotel. "Ed, bawa dia," titah Ansel. Edgar mengangguk patuh, ia memegang tangan Hazel dan membantu gadis itu berdiri. "Aku bisa sendiri. Kalau ada apa-apa hubungi aku atau Edgar, okay?" Hazel menatap Ansel serius. "Aman. By the way, Martin tidak ada di sini. Mau tak mau memakai taksi, tidak apa 'kan?" Hazel mengibas-ngibaskan tangannya di udara. "Tidak masalah, ada Edgar." "Hati-hati." Hazel dan Edgar berjalan keluar dari kamar inap Gabriel. Beruntung, Edgar dapat mencegat taksi lebih cepat. Mereka pun masuk. Edgar menyebutkan nama hotel di mana mereka menginap pada sang sopir, sedangkan Hazel sudah tampak antara sadar atau tidak sadar. Punggung gadis itu sudah bersandar dan kedua matanya tertutup. Edgar tak mempedulikan Hazel, is membuang pandangannya keluar jendela. Menatap kerlap-kerlip lampu jalanan ketika di malam hari. Cukup menerangi jalanan yang cukup ramai. Duk! Kepala Hazel jatuh ke bahu Edgar. Tubuh Edgar menegang kaku karena terkejut, tapi itu tak berlangsung lama karena perlahan tubuhnya kembali rileks. Edgar menundukkan kepalanya, menatap wajah Hazel lalu ia melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Hazel. Tidak ada pergerakan dari gadis itu yang menandakan ia benar-benar sudah tidur. "Istri Anda tampak kelelahan sekali, Tuan," celetuk sang sopir dengan bahasa Inggris yang fasih. Edgar mengerutkan dahinya, ia pikir sang sopir akan menggunakan bahasa Jerman atau Prancis. Dan apa pertanyaannya tadi itu? Istri? "Anda dari negara mana Tuan? Wajah anda tak seperti penduduk di negara ini," lanjut sang sopir. "London," jawab Edgar singkat padat dan jelas. Sopir itu menganggukkan kepalanya lalu tak bertanya-tanya lagi, karena ia melihat raut wajah kurang ramah dari Edgar. Sepuluh menit kemudian taksi berhenti di depan hotel. Edgar membayar ongkos dengan uang yang diberikan Ansel, karena mereka memang tidak memiliki uang negara ini. "Terimakasih, Tuan." Sang sopir itu berujar lagi. Edgar mengangguk acuh, ia melirik Hazel. Merasa tak tega untuk membangunkan gadis itu, akhirnya ia memilih untuk menggendongnya. Edgar berjalan dengan langkah cepat memasuki hotel, dan menuju lift. Ia mengabaikan tatapan beberapa staff dan orang asing yang menatapnya. "Ternyata kau cukup berat juga, ya?" gumam Edgar pada Hazel yang tertidur. Ketika tiba di depan pintu kamar Hazel, Edgar mendudukkan Hazel di lantai dan hebatnya gadis itu tak terbangun. Edgar merogoh tas kecil Hazel mencari-cari kunci kamar Hazel. Yang berakhir tidak ketemu. "Nona, kunci kamar anda di mana?" tanya Edgar. Tidak ada sahutan. "Hazel..." "Nona Hazel?" Edgar mendengus kasar, ia menempelkan jari telunjuknya di bawah hidung Hazel dan syukurnya masih terasa ada hembusan napas yang berarti gadis itu masih hidup. Edgar menggelengkan kepalanya, tidur Hazel sudah seperti orang mati saja. Edgar memutar otaknya, hingga ia teringat dengan kunci cadangan kamar Hazel, kemarin ia sempat meminta pada resepsionis karena takut terjadi apa-apa ia bisa langsung masuk ke kamar gadis itu. Namun Edgar berdecak sebal saat sadar bahwa kunci cadangan itu berada pada Ansel. Tadi ia membawa kunci itu ke rumah sakit, dan karena sakunya penuh ia jadi menitipkannya pada Ansel. Sekarang apa yang harus ia lakukan? Edgar kembali memutar otak sampai ia tak bisa menemukan jalan keluar karena ia pun merasa lelah. Ada satu pilihan yang terbesit di dalam benaknya. Mau tak mau ia membawa Hazel masuk ke dalam kamarnya, membiarkan gadis itu tidur di kamarnya. Tidak ada pilihan lain. Edgar kembali menggendong Hazel lalu membuka kamarnya. Dengan hati-hati ia membaringkan Hazel di ranjang lalu menyelimutinya. "Tidurmu seperti orang mati, tapi kau tidak boleh mati dulu," bisik Edgar dengan suara serak. Setelah memastikan posisi tidur Haz terlihat nyaman, Edgar beralih ke sofa dan duduk di sana. Sofa single yang kecil, ia harap punggung dan anggota tubuhnya yang lain tidak pegal-pegal keesokan harinya karena ia tidur dalam posisi duduk.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN