Setelah menemui Aditama, Edgar mengendarai mobilnya menuju suatu tempat. Tempat yang sebelumnya menjadi markasnya ketika bekerja, dan tempat itu hanya diisi oleh Dedrick dan tiga orang lainnya.
Edgar tidak mempercayai banyak orang, hanya segelintir orang saja yang mendapat kepercayaan darinya.
"Oh, bos? Saya kira anda memang tidak datang lagi karena sibuk dengan keluarga Austen," celetuk seorang pria yang menyadari kehadiran Edgar lebih dulu.
"Aku tetap harus memantau pekerjaan kalian secara langsung," tukas Edgar datar.
Pria itu mengangguk paham. "Masuk, Bos."
Edgar melangkah masuk ke markas. Di dalam ada Dedrick dan dua orang lainnya yang sibuk di depan komputer dengan sebuah burger di hadapan mereka.
Ketika tahu Edgar datang, mereka semua menghentikan aktivitas mereka dan menyambut sang Tuan. Setelahnya, satu persatu mereka melaporkan hasil pekerjaan mereka.
***
Pukul lima sore barulah Edgar kembali ke mansion Austen. Ketika ia turun dari taksi, bertepatan dengan datangnya mobil Jacob. Edgar mengamati mobil itu dan melihat Hazel keluar dari sana.
Edgar menatap senyum lebar Hazel yang ditujukan untuk Jacob, gadis itu melambaikan tangannya dan perlahan mobil Jacob meninggalkan pekarangan mansion.
"Oh, kau sudah pulang?" kaget Hazel ketika berbalik.
Edgar mengangguk samar. "Selama saya tidak bersama anda, apa terjadi sesuatu?" tanyanya.
Hazel menggeleng. "Tidak, aku baik-baik saja. Ayo masuk ke dalam!"
Keduanya pun berjalan bersamaan memasuki mansion.
Edgar sesekali masih melirik Hazel, hingga gadis itu tampak riang menaiki tangga menuju kamarnya.
Mood hazel sepertinya memang benar-benar bagus.
Edgar menghela napas, ia pun berjalan menuju kamarnya yang ada di lantai satu, tak jauh dari kamar Gabriel saat ini.
***
Hazel melempar tubuhnya di ranjang, ia menatap langit-langit kamarnya. Ingatannya kembali pada saat di kantor tadi siang.
Ia bekerja dengan ditemani oleh Jacob. Pria itu sesekali membantunya dan ketika makan siang...
Hazel menutup wajahnya dengan telapak tangan, wajahnya terasa panas dan ia yakin kedua pipinya sudah memerah seperti tomat.
"Akh! Pesona Jacob benar-benar!" pekik Hazel tertahan.
Hazel berguling ke kanan dan ke kiri ketika mengingat kembali adegan makan siang di ruangannya. Jacob membelikan sushi di restaurant favoritnya untuk makan siang, dan mereka makan bersama di dalam ruangan duduk bersebelahan dan bercerita tentang banyak hal. Setelah selesai makan, entah apa yang merasuki dirinya dan Jacob hingga kedua bibir mereka menempel selama beberapa detik.
"He is a good kisser," gumam Hazel malu sendiri.
Jujur saja itu yang pertama untuknya, dan ia telah dibuat melayang oleh pria itu. Jacob benar-benar telah membuatnya jatuh hati.
Tok... Tok... Tok...
Hazel berjengkit kaget ketika pintu kamarnya diketuk.
"A-ada apa?!"
"Ini saya, Tuan Gabriel memanggil anda untuk turun sekalian makan malam," ujar Edgar di luar.
"Baiklah, secepatnya aku akan turun!" Hazel menyahut dengan keras.
Terdengar suara derap langkah kaki yang menjauh pertanda Edgar sudah pergi.
Hazel menoleh ke dinding sebelah kanannya, di mana terdapat sebuah jam. Mulutnya menganga ternyata sudah pukul enam sore lewat sepuluh. Sudah berapa lama ia memikirkan Jacob tadi?
Tak ingin Gabriel menunggu lama, akhirnya Hazel berlari menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.
Di lantai bawah...
Gabriel melirik Edgar yang berdiri di sudut ruang makan. Sudah dua puluh menit sejak ia menyuruh Edgar memanggil Hazel, tapi adiknya itu tak kunjung turun.
"Pergi ke kamarnya lagi, dan suruh dia turun cepat!" titah Gabriel. Kalau saja kakinya tidak bermasalah, Gabriel pasti akan langsung naik ke lantai dua dan menemui Hazel.
"Baik, Tuan."
Edgar melangkah keluar dari ruang makan, berjalan menuju tangga dan menaikinya.
Tok... Tok... Tok...
Tidak ada sahutan dari dalam, membuat dahinya mengerut bingung. Edgar mendekatkan telinganya ke pintu. Senyap. Tidak ada suara grasak-grusuk atau suara apapun.
Edgar menimang-nimang, apakah ia harus membuka pintu ini langsung?
Datu menit berpikir, Edgar akhirnya memutuskan untuk membuka pintu kamar Hazel karena tak kunjung di buka.
Cklek!
"Aaaa! Keluar kau Ed!"
Mata Edgar melotot lebar melihat Hazel yang setengah naked. Pria itu mengumpat pelan lalu menutup pintu dengan keras.
"Maaf, saya pikir terjadi sesuatu di dalam karena ketika saya ketuk tidak ada balasan. Jadi saya langsung masuk," ujar Edgar dari luar dengan suara yang sedikit keras.
Hazel yang mendengar alasan dari Edgar tentunya tak membuatnya baik-baik saja. Ia merasa sangat malu, pasti Edgar telah melihat tubuh bagian atasnya tadi.
Edgar sialan!
Hazel memakai bajunya cepat lalu membuka pintu kamar. Di depan pintu, berdiri Edgar dengan wajah yang ia buat sedatar mungkin.
"Maaf, Nona. Saya tidak melihat apa-apa kok," jelas Edgar meyakinkan Hazel.
Hazel menutup wajahnya yang memanas. "Lupakan saja."
Edgar menghela napas lega, "Tuan sudah menunggu anda di ruang makan."
Hazel mengangguk paham, gadis itu berjalan lebih dulu menuruni tangga.
Edgar berjalan perlahan di belakang Hazel. Bohong jika Edgar bilang ia tak melihat apapun. Bahkan ia melihatnya dengan jelas. Berjalan di belakang Hazel membuat kejadian beberapa menit lalu kembali terputar di dalam benaknya.
Astaga!
Edgar menyugar rambutnya ke belakang dan mengalihkan tatapannya dari punggung Hazel, hanya melihat Hazel dari belakang pikirannya jadi berseliweran ke mana-mana. Padahal biasanya tidak seperti ini.
Sesampainya di ruang makan, Gabriel menatap Hazel dengan cemas.
"Aku mendengar teriakan mu dari atas, apa terjadi sesuatu?" tanya Gabriel khawatir.
Tubuh Edgar menegang, ia melirik Hazel yang berdiri kaku bak patung.
Hazel menggeleng kaku. "Ti-tidak ada. Aku hanya terpeleset oleh baju kotorku yang berserakan di lantai."
Gabriel menghela napas lega, ternyata tidak terjadi sesuatu yang buruk. "Hati-hati ketika melangkah, dan baju kotor harusnya diletakkan di keranjang cucian. Jangan di lempar ke sembarang arah."
"Iya, kak. Aku paham." Hazel menormalkan raut wajahnya dan duduk di kursi tepat di hadapan Gabriel.
Emma dan pelayan lainnya pun menyajikan makanan di atas meja.
"Bagaimana dengan keputusan pagi tadi? Apa selama di kantor kalian ada membahasnya?" tanya Gabriel seraya memotong wagyu steak di hadapannya.
"Jacob bilang keputusan tanggal pertunangannya aku yang menentukan," jawab Hazel malu-malu.
"Saranku sih, dua minggu atau tiga minggu lagi. Lebih cepat lebih baik, lagi pula bukannya bulan depan Jacob akan sibuk dengan perilisan lagu instrumentalnya?" jelas Gabriel.
Hazel memikirkan saran dari Gabriel, apa yanh katakan kakaknya itu memang benar.
"Tapi, apa mungkin akan selesai dalam dua minggu?" tanya Hazel meragu.
"Tentu saja bisa, toh kita hanya perlu menyewa jasa orang untuk dekorasi, sedangkan undangan bisa dipesan mulai besok. Masalah gaun dan cincin aku rasa kalian bisa meng-handle nya sendiri," ujar Gabriel panjang.
"Ah iya, benar juga. Nanti aku akan diskusikan dengan Jacob lagi," balas Hazel.
Di tengah-tengah asiknya obrolan Gabriel dan Hazel, satu orang alias Edgar sedari tadi menyimak.
Kerutan dalam timbul di keningnya mendengar perencanaan pertunangan Hazel dan Jacob. Apa pagi tadi ia ketinggalan sesuatu yang penting?
Gabriel tak sengaja melirik ke arah Edgar yang berdiri di sudut ruangan. "Kau pasti bingung dengan pembicaraanku dan Hazel. Lagi pula tadi pagi kau tidak ada," celetuknya.
Hazel melirik Edgar sekilas, benar-benar hanya sekilas karena ia masih malu dengan kejadian di kamarnya tadi.
"Iya, Tuan," sahut Edgar seadanya.
"Tidak lama lagi, Jacob dan Hazel akan bertunangan."
Kalimat to the point dari Gabriel itu bak sebagai petir yang menyambar diri Edgar.
Pikiran Edgar tiba-tiba blank. Selanjutnya, apa yang harus ia lakukan?