Aditama menyelipkan vape di dalam mulutnya, asap putih keluar dari mulutnya begitu ia menghembuskan napas dengan panjang.
Saat ini, ia sedang menunggu Eliana pulang. Dari informasi yang ia terima dari pengawal putrinya itu, Eliana sedang menghabiskan waktu bersama teman-teman di Mall.
Satu jam menunggu, akhirnya Aditama dapat mendengar suara deru mesin mobil dan tak lama setelah itu anak perempuan masuk ke dalam mansion.
"Papa?" Langkah Eliana terhenti ketika melihat sang Papa duduk di atas sofa ruang tengah.
"Kemarilah sayang." Aditama menggerakkan jarinya agar Eliana mendekat ke arahnya.
Eliana mendekati Aditama dan duduk di sebelahnya. "Ada apa, Pa?"
"Ada sesuatu yang ingin Papa tanyakan padamu," kata Aditama serius.
Eliana mengangguk, menunggu pertanyaan dari sang Papa.
"Edgar bilang kamu memasuki penthouse nya, dan mengambil informasi mengenai Hazel. Kenapa kamu ingin ikut campur dengan masalah ini?"
Eliana tampak kesal. "Aku hanya ingin membantu," sahutnya.
"Biasanya kamu tidak bertindak seperti ini. Pekerjaan Papa ataupun Edgar tidak membuatmu terpengaruh," pungkas Aditama.
"Karena aku kesal, rencananya ditunda-tunda. Terus aku sering melihat kak Edgar menghabiskan waktu bersama Hazel. Bahkan mereka sering menikmati es krim bersama." Akhirnya Eliana mengatakan hal sejujurnya.
"Jangan bilang kamu cemburu?" tebak Aditama.
"Iya, aku cemburu." Eliana menjawab tanpa ragu.
Aditama menghela napasnya. "Sudah berapa kali Papa bilang, kamu tidak seharusnya memiliki perasaan pada Edgar. Dia kakakmu."
"Bukan kakak kandung, kami tidak memiliki hubungan darah," sergah Eliana cepat.
Aditama bungkam. Eliana sangat sulit diberitahu jika sudah seperti ini.
"Aku tahu sebenarnya Papa lah yang ingin menghancurkan keluarga Austen, dan Papa menggunakan kak Edgar. Terus kematian kedua orangtuanya Edgar bukan karena Cole Austen dan istrinya. Tapi Papa lah yang membunuh Ayah kandung Kak Edgar!" kelakar Eliana.
Aditama membelalakkan matanya, tatapannya berubah tajam menatap sang Putri. "Dari mana kamu tahu ini semua?"
Eliana menyeringai. "Papa kira selama ini aku memang hanya bersenang-senang? Aku menghabiskan waktuku di luar bukan hanya bermain. Aku mencari tahu semua hingga akar-akarnya. Dan kak Edgar sangat bodoh mempercayai Papa!"
Aditama tertawa keras. "Ternyata diam-diam kamu menyelidikinya."
"Iya! Aku bahkan tidak ragu akan memberitahu kak Edgar. Tapi nanti, setelah Hazel mati," ketus Eliana.
Wajah Aditama berubah menyeramkan. Pria tua itu mencengkeram erat kedua pundak gadis itu. "Jangan beritahu Edgar sampai kapan pun. Sekarang katakan pada Papa apa yang kamu inginkan."
Eliana menyeringai. "Papa akan mengabulkannya?"
"Ya, sebagai gantinya kau harus merahasiakan ini semua."
"Okay. Aku ingin kak Edgar menjadi milikku. Papa tidak boleh melarangku lagi," ujar Eliana.
"Baiklah, Papa akan menyetujui itu. Dan tidak akan ikut campur dengan perasaan yang kau miliki dengan Edgar. Sekarang kita berada di kubu yang sama. Kau mengerti?"
Eliana tersenyum lebar. "Aku sudah menduganya, Papa akan berbicara seperti ini. Tentu saja aku mengerti, Pa."
Aditama menghela napas lega. "Walaupun begitu, tetap biarkan Edgar melaksanakan tugasnya. Jangan mengganggunya. Kita sudah sama-sama tahu bahwa akhirnya kau akan bersama Edgar. Papa jamin itu."
"Baiklah, aku tidak akan ikut campur lagi masalah Hazel. Hanya saja nanti aku sedikit bermain. Tidak masalah bukan?"
Aditama menganggukkan kepalanya. "That's my girl."
***
Hari ini merupakan hari minggu. Setelah dua hari yang lalu, saat ia mengetahui perencanaan pertunangan Hazel dan Jacob, tidak ada yang Edgar lakukan selain berdiam diri di kamarnya. Ia sedang berada di penthouse nya.
Beruntung Hazel tidak keluar ke manapun, jadi ia tidak harus menemani gadis itu keluar.
Edgar jadi uring-uringan sendiri memikirkan pertunangan Hazel dan Jacob. Apa yang harus ia lakukan?
Lebih dari lima puluh persen dari dalam dirinya menolak keras pertanyaan itu. Edgar sangat tidak setuju, tapi untuk protes pun ia tidak memiliki hak.
Kepala Edgar serasa mau pecah sekarang. Ini semua seolah keluar dari yang seharusnya. Rencananya seakan buyar karena masalah pertunangan ini. Selain karena rencananya yang terancam gagal, Edgar pun merasa tidak rela membiarkan Hazel bersama Jacob.
"Argh!" Edgar menggusur barang-barang yang ada di meja kerja kecilnya.
Kertas-kertas dan buku-buku berserakan di lantai. Jika Edgar tak menahan dirinya, bisa saja meja kerja yang ada di kamar ia balikkan untuk melampiaskan rasa kesalnya.
Edgar menjatuhkan dirinya di ranjang, menutup kedua matanya. Sialnya malah muncul bayangan Hazel dua hari yang lalu ketika sedang mengganti pakaian.
Edgar menggigit jarinya kesal. Semua ini membuatnya geram dan kesal.
"Apa yang telah kau lakukan padaku Hazel?!" teriak Edgar luar biasa kesal.
***
Di lain sisi...
Hazel sedang menyiram tanaman di halaman belakang, siang ini Jacob akan berkunjung. Mereka akan membicarakan tentang pertunangan mereka. Selagi menunggu Jacob, ia menghabiskan waktu dengan menyiram bunga.
"Hei,"
Hazel tersentak lantas berbalik. Senyumnya merekah melihat Jacob yang sudah datang. Gadis itu meletakkan selang air di bawah dan mematikan keran airnya. Lalu Hazel berlari menghampiri Jacob.
"Akhirnya kau datang, ayo duduk!" Ketika Hazel hendak menarik tangan Jacob, pria itu lebih dulu melingkarkan tangannya di pinggang Hazel lalu mencuri kecupan singkat di bibir gadisnya itu.
Hazel memukul pelan d**a bidang Jacob. "Jangan menciumku tiba-tiba, aku kaget." Wajahnya merah merona.
Jacob terkekeh geli, ia mengusap puncak kepala Hazel. "Tapi kau suka 'kan?" godanya.
Hazel menggembungkan pipinya. "Jangan menggodaku, ayo duduk di sana!" Gadis itu menunjuk gazebo yang terletak tak jauh dari posisi berdiri mereka.
Jacob menggenggam tangan Hazel dan melangkah menuju gazebo. Mereka duduk bersebelahan.
Perlahan Jacob menarik tangannya dari genggaman tangan Hazel. Tangan pria itu berpindah ke pinggang Hazel. "Dua hari tidak bertemu denganmu, aku rindu," ungkapnya.
Hazel tertawa kecil. "Masa sih?"
Dengan gemas Jacob mengacak rambut Hazel. Perasaan sayang yang begitu besar terasa hangat di dalam dadanya. "Aku serius."
Hazel merapikan rambutnya lalu menyematkan anak rambutnya di belakang telinga. Ia merasa seperti ada kupu-kupu yang berterbangan di dalam perutnya mendengar ungkapan manis Jacob.
"Aku senang mendengarnya." Deretan gigi Hazel terlihat jelas karena gadis itu tersenyum sangat lebar.
"Kau tidak rindu padaku?" tanya Jacob pura-pura kesal.
"Kata siapa?" Hazel bertanya balik dengan senyum malu-malu.
Saking gemasnya dengan raut wajah Hazel, Jacob kembali menghujami wajah Hazel dengan kecupan hingga terakhir mengecup di bibir gadis itu.
"Ayo kita bicarakan tentang pertunangan kita. Tanggalnya kau sudah tahu?" Jacob kembali memasang wajah seriusnya.
"Tanggal dua puluh lima," jawab Hazel dengan mantap.
"Dua minggu lagi?!" kaget Jacob dengan mata membola.
Hazel mengangguk mengiyakan. "Bulan depan kau pasti sudah sangat sibuk. Jadi, kata kak Gab lebih cepat lebih baik."
Jacob mengangguk paham, jadwalnya bulan depan memang sangat padat. "Aku setuju. Kamu mau konsep yang seperti apa?"
Hazel mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan sebuah foto pada Jacob. "Aku ingin yang seperti ini, tapi di d******i dengan warna putih dan emas."
"Baiklah, itu juga bagus. Untuk dress dan pakaianku? Cincinnya? Wah, sepertinya kita harus mulai bergerak dari sekarang."
Hazel menatap Jacob dengan puppy eyes nya. "Bolehkah aku memesan gaun yang dibuat oleh designer favoritku?"
"Tentu saja, mau kita pergi hari ini? Untuk mencocokkan ukuran dan juga me-request ingin design seperti apa."
Hazel mengangguk antusias. "Iya, mau sekarang!"
"Baiklah. Kita pergi sekarang. Mencari hal-hal lainnya juga."
Sebelum Jacob bangkit, Hazel menahan tangan pria itu. "Aku lupa satu hal. Kita belum meminta restu kedua orangtuamu, Jac."
"Kedua orangtuaku sangat setuju, besok Mommy mengundangmu makan malam bersama keluargaku. Kau datang 'kan?"
"Tentu saja!"
"Kalau begitu, ayo kita pergi sekarang."
Keduanya berjalan meninggalkan gazebo. Masuk ke dalam mansion, sebelum pergi ada baiknya mereka pamit pada Gabriel.
Gabriel tampak sedikit berat membiarkan keduanya pergi, karena Edgar sedang tidak ada di mansion. Tapi Hazel menunjukkan wajah memelasnya, membuat Gabriel tidak kuasa untuk menolak permintaan adiknya.
"Baiklah aku izinkan. Jaga adikku, Jac. Dan kalian hati-hati, soalnya Edgar sedang pergi."
"Sudah pasti aku akan menjaga Hazel. Kalau begitu kami pergi."
Sebelum pergi, Hazel mencium pipi kanan dan pipi kiri Gabriel lalu ia mengucapkan terimakasih pada kakaknya itu.
***
to be continued...