Di malam harinya...
Hazel dan teman-temannya baru saja selesai menikmati makan malam di pinggiran pantai dan selesai mencuci mata atas keindahan sekitar resort di malam hari.
Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam lewat, seluruhnya sudah masuk ke dalam kamar masing-masing. Hazel tidak sekamar dengan Laila karena ia merasa kurang nyaman jika tidur berdua. Alhasil mereka beda kamar, begitu pula dengan Saka dan Edgar.
Hazel merubah posisi baringnya ke kanan dan ke kiri. Rasanya kedua matanya susah sekali untuk tertutup. Rasa kantuk tidak kunjung menyerangnya.
Hazel menghela napas berat, ia bangkit dari kasur dan menuju jendela kamar. Menatap hamparan laut yang luas di depan sana. Terdengar pula suara deburan ombak yang tidak terlalu kuat. Lampu-lampu di sekitar pantai masih banyak dan hidup semua, membuat tempat di luar sana tak gelap.
"Jalan-jalan sebentar mungkin akan membuatku lelah," gumam Hazel.
Akhirnya Hazel berjalan keluar kamar, tanpa membawa ponselnya. Ia jalan keluar dari resort, melewati kolam renang dan sampai di tepian pantai.
Tanpa ia sadari, sepasang mata menatap gerak-geriknya dari jauh dan mengikuti dirinya.
***
Edgar baru saja melaporkan di mana dirinya berada dan bersama siapa kepada atasannya. Tentunya itu adalah informasi yang berguna, bagaimana pun juga Hazel juga dalam incaran atasannya dan tugasnya adalah mengawasi gadis itu.
Alis kanan Edgar terangkat naik ketika melihat siluet Hazel di kamar gadis itu. Kebetulan kamar mereka berseberangan, jadi ia bisa melihat kaca dan tirai kamar Hazel. Lampur kamar gadis itu pun belum dimatikan.
Lama Edgar mengawasi gerak-gerik Hazel dari kamarnya, hingga ia melihat Hazel menjauh dari jendela. Apa gadis itu akan tidur?
Namun dua menit menunggu, lampu tidak kunjung dimatikan. Membuatnya curiga. Alhasil Edgar keluar dari kamarnya, dan ketika melihat di ujung koridor resort, ia melihat Hazel sedang menuruni tangga.
Ke mana gadis itu malam-malam seperti ini?
Dengan jarak sepuluh langkah di belakang Hazel, Edgar mengikutinya. Sebisa mungkin ia tidak menimbulkan suara yang akan membuat Hazel putar balik.
Edgar menatap Hazel dari balik pohon kelapa yang tinggi. Gadis itu sedang duduk di tepian pantai yang cukup aman dan tidak akan terkena siraman ombak yang datang.
"Hiks. Hiks."
Tubuh Edgar mendadak kaku mendengar suara isak tangis yang tersedu-sedu. Ia menoleh ke kanan dan kiri, tidak ada orang di sekitar sini. Apakah Hazel menangis?
Edgar berpindah ke pohon kelapa yang lain, tempat yang dapat melihat wajah Hazel dari jauh.
Ternyata benar, gadis itu menangis dengan menangkup wajahnya di lipatan kedua tangan dan kedua tangannya bertumpu pada lutut.
Dua menit menatap dari jauh, Hazel masih saja menangis.
Edgar memutuskan untuk mendekat, perlahan ia melangkah menghampiri Hazel. Ketika ia sudah berada satu langkah di belakang Hazel, ia mendengar gumaman Hazel yang terdengar begitu pilu.
"Pa, Ma, i miss you..."
Kedua tangan Edgar mengepal dengan kuat. Gadis ini, menangisi kedua orangtuanya.
***
Duduk di tepian pantai membuat perasaan Hazel sedikit tenang. Namun kilasan memori tentang kedekatan ia dan kedua orangtuanya kembali terputar di memorinya.
Mama-nya bernama Sophia, merupakan ibu yang sangat perhatian dan menyayangi keluarga. Mamanya juga begitu memperhatikan dirinya, setiap interaksinya bersama sang Mama membuatnya terasa sangat disayangi dan dicintai. Begitu pula dengan Papanya yang begitu menyayanginya. Papanya bernama Cole pasti akan melakukan apapun untuk membuatnya senang. Setiap bulan bahkan setiap minggu, ada saja hadiah yang dibelikan Cole untuk dirinya.
Cole pasti selalu bilang. "Papa pulang dan membawa hadiah untuk putri Papa tercinta..."
Mengingat itu kembali membuat airmatanya keluar dengan deras. Dadanya juga terasa nyeri dan sakit, seakan ditusuk oleh ribuan jarum. Kenapa harus sesakit ini? Hazel masih belum bisa menerima semua ini.
Ini terlalu sulit.
Krek!
Hazel memutar tubuhnya ke belakang saat mendengar suatu suara. Dengan mata yang masih sembab ia menatap sosok laki-laki bertubuh kekar yang berdiri di belakangnya dengan tatapan yang sulit diartikan.
Buru-buru Hazel mengusap pipinya dan matanya dengan ujung kaos yang ia gunakan. "Apa yang kau lakukan di sini, Ed?"
Beberapa saat Edgar tidak langsung menjawab, lelaki itu menatap Hazel dengan tatapan tajamnya. Hingga akhirnya mulutnya bersuara. "Saya melihat anda keluar dari kamar, jadi saya ikuti," jawabnya jujur.
Hazel mengangguk paham. Ia kembali menatap ke arah depan, menatap hamparan laut yang luas. Syukurlah tangisannya sudah berhenti. Hazel tidak suka seseorang sedang melihat kelemahannya.
Hazel menepuk tempat di sebelahnya. "Duduklah, jangan berdiri saja."
Edgar mengangkat alisnya. Awal bertemu dengan Hazel, gadis itu tampak sangat tidak ramah padanya. Tapi kenapa hari ini Hazel tampak begitu berbeda? Bahkan sejak tadi siang, saat makan siang di restoran.
"Kenapa diam? Duduklah, tidak usah merasa canggung seperti itu," ucap Hazel dengan suara serak.
Akhirnya Edgar menuruti ucapan sang Nona, duduk tepat di sebelah kanannya.
Keheningan menyelimuti mereka, tidak ada satu kata pun yang keluar dari bibir Hazel maupun Edgar.
"Mengapa anda menangis?" tanya Edgar basa-basi walau sebenarnya ia telah tahu.
Hazel tersenyum tipis pada Edgar, senyum yang membuat Edgar terpana walau hanya sebentar.
"Aku hanya merindukan Papa dan Mama," lirih Hazel, wajahnya kembali sendu.
Edgar berdeham pelan. Entah kenapa ada sesuatu yang janggal ia rasakan setelah melihat senyum mematikan milik Hazel. Jantungnya ... sedikit berdebar.
"Mereka sudah tenang di alam sana, Nona," sahut Edgar pelan.
Hazel mengangguk kecil, ia kembali menatap laut.
"Kau tahu? Saat kedua orangtuaku di bunuh, aku berada di lantai tiga mansion. Melihat semuanya...," ujar Hazel tiba-tiba menceritakan kembali hal yang ia alami.
Kedua mata Edgar terbelalak kaget, ia menatap Hazel dengan mata yang membola. Ia baru tahu tentang ini. Bagaimana bisa ia tidak menyisir mansion itu dan memastikan tidak ada orang lain lagi selain Cole dan Sophia?
"Lalu, apa anda melihat wajah si pembunuh?"
Hazel menggeleng lesu. "Mereka memakai baju hitam, topi hitam yang menutupi hampir ke mata dan juga memakai masker hitam. Bagaimana bisa aku melihat wajahnya?"
Entah mengapa, Edgar menghela napas lega diam-diam. Seharusnya ia tak perlu takut jika Hazel tahu kalau pembunuh itu adalah dirinya. Kalaupun gadis itu tahu malam ini, ia bisa langsung melenyapkan nyawa Hazel dan membuangnya ke laut di depan mereka.
"Ah ternyata begitu..."
"Itulah sebabnya, aku awalnya tidak menyukaimu. Postur tubuhmu seperti orang yang menembak Papa dan Mama, terlebih saat pertama kali kita bertemu kau memakai baju hitam." Hazel kembali bercerita.
Edgar tersenyum kecut, dugaan Hazel seratus persen benar. Karena pembunuh itu memang dirinya. "Dan Tuan Gabriel melarang saya memakai baju hitam ketika berada di dekat anda."
Hazel mengangguk mengiyakan.
Malam itu Edgar mendengar keluh kesah dari Hazel. Menjadi pendengar yang baik, seperti bukan dirinya saja.
Hazel sudah menguap berkali-kali, matanya pun terasa sangat berat.
"Sudah jam setengah satu malam, Nona. Lebih baik anda istirahat sekarang."
Hazel mengangguk setuju, tapi baru saja ia hendak berdiri. Tubuhnya limbung dan langsung ditangkap oleh Edgar.
"Aku sangat mengantuk," gumam Hazel.
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun lagi, Edgar mengangkat tubuh Hazel.
Hazel pun tanpa sadar sudah tertidur dalam gendongan Edgar.
Setibanya di dalam kamar Hazel, Edgar menidurkan gadis itu perlahan-lahan agar pergerakannya tak membuat Hazel bangun.
Edgar tidak langsung keluar, usai menyelimuti tubuh Hazel, matanya masih menatap Hazel dengan intens.
"Tubuhnya sangat ringan, seperti bisa aku hancurkan kapan saja," gumamnya.
Tangan Edgar terkepal kuat. Kedua maniknya masih menatap Hazel dengan tatapan tajamnya. "Ini belum saatnya."
Edgar berbalik dan berjalan keluar dari kamar Hazel. Namun sebelum menutup pintu, ia mematikan saklar lampu dan menghidupkan lampu tidur karena tidur dalam keadaan lampu terang benderang bukanlah hal yang bagus.
***