Chapter 18 (b)

1010 Kata
Di Perusahaan Harrison, ruangan Aditama. "Setelah mendapat perintah dari Papa untuk melenyapkan Hazel dan Gabriel, aku menyusun rencana yang lain. Tidak seperti Sophia dan Cole," ujar Edgar. "Rencana seperti apa?" tanya Aditama dengan nada menuntut. "Aku ingin membuat Hazel merasa patah hati, karena dari yang aku tahu gadis itu tidak pernah menjalin hubungan dengan seseorang, Pa. Jadi aku ingin membuatnya terbang tinggi lalu menghempaskannya ke dasar yang gelap," jawab Edgar tanpa ragu. Memang itulah rencana Edgar kedepannya. Tawa Aditama menggelegar bak iblis. Pria tua itu tampak puas dengan susunan rencana Putra angkatnya. "Itu ide yang bagus, Edgar. Aku tak menyangka kau bisa menyusun rencana seperti itu. Itu baru anakku," puji Aditama dengan wajah puas. Ia baru saja mendengar rencana dari Edgar, tapi dengan baik ia bisa membayangkan rencana itu. Sudah terbayang jelas di dalam benaknya. Edgar tersenyum miring. "Aku belajar dari Papa." "Bagus, bagus. Itu yang aku harapkan darimu, Nak," ucap Aditama. Edgar menarik napasnya. "Tapi, Pa. Bisa Papa rahasiakan rencanaku ini dari Eliana? Elia tidak akan senang mendengar rencanaku ini," pinta Edgar. Aditama tersenyum. "Tentu saja aku akan merahasiakannya. Dan aku harap, Hazel bocah ingusan itu benar-benar terpuruk lalu mati," ujarnya sadis. Edgar tersenyum. "Papa tunggu saja kabar dariku, Okay?" Aditama menganggukkan kepalanya. *** Setelah bertemu dengan Aditama di kantor, Edgar memutuskan pulang ke mansion Austen. Tapi sebelum itu ia mampir ke toko kue untuk membelikan red Velvet cake untuk Hazel. Yang ia dengar dari pembicaraan Emma dan pelayan lain, Hazel menyukai cake tiramisu dan red Velvet. Ia akan membuat gadis itu sedikit terkesan dengan tindakannya. "Tunggu di sini, apa kau mau segelas kopi Dedrick?" tawar Edgar bersiap-siap turun dari mobilnya. "Kalau Tuan tidak keberatan, saya mau hazelnut latte," jawab Dedrick sopan. "Baiklah, tunggu sebentar." Edgar turun dari mobil dan berjalan masuk ke dalam toko kue. Untungnya tidak ada yang sedang mengantri di depan kasir. "Red Velvet cake yang itu satu, dan Hazelnut latte dua," ujar Edgar sembari menunjuk sebuah red Velvet cake di etalase kue. "Baik, Tuan. Totalnya lima belas poundsterling," ucap pelayan itu. Edgar mengambil uang dua puluh poundsterling di dompetnya dan menyerahkannya. Setelah menerima kembalian uangnya, ia memilih duduk di kursi tunggu selagi kuenya di masukkan ke kotak dan kopinya tiba. Edgar mengeluarkan ponselnya, ponsel khusus pemantauannya akan pekerjaan selama bekerja di bawah naungan Gabriel. Tidak banyak notifikasi di sana membuatnya kembali menyimpan benda pipih itu. "Tuan, ini pesanan anda." Kasir wanita tadi berdiri di depan Edgar seraya menyerahkan seluruh pesanannya. "Terimakasih." Edgar bergegas mengambil pesanannya dan keluar. Di dalam mobil Edgar langsung menyerahkan kopi pesanan Dedrick. "Terimakasih, Tuan. Selanjutnya kembali ke mansion Austen?" "Iya." *** Dedrick memberhentikan mobil seratus meter dari pagar mansion Austen. Karena tidak ingin menimbulkan kecurigaan dan tidak tertangkap cctv. Edgar berjalan dengan langkah santai menuju pagar, lalu menekan password yang menempel di pagar. Hanya para pekerja dan pemilik rumahlah yang tahu password itu. "Ei, kau dari mana saja?" tanya Ansel yang kebetulan keluar dari mansion dan hendak masuk ke dalam mobil. "Keluar, menemui seseorang. Ada apa?" Edgar bertanya balik. Ansel menggeleng enteng. "Hanya heran saja, kau keluar sangat lama." Edgar mengangkat bahunya. "Yang penting aku sudah kembali." Mata Ansel turun ke kotak yang di tangan Edgae. "Apa itu?" "Red Velvet cake," sahut Edgar santai Mata Ansel memicing curiga. "Kenapa membeli kue? Seperti bukan dirimu saja yang makan Kue manis seperti itu." "Untuk Nona Hazel, tidak boleh?" Tiba-tiba respon Edgar terdengar sedikit sewot. Ansel tergelak. "Tentu saja boleh, kenapa sewot begitu responmu?" Edgar melengos lalu melangkah masuk ke dalam mansion tanpa mengucapkan sepatah kata lagi. Ia tak perlu pamit atau apa pada Ansel, karena Ansel bukanlah bosnya. Edgar menemukan Hazel berada di taman belakang dengan Gabriel yang duduk di kursi rodanya. "Akhirnya kau kembali. Dari mana saja? Hampir terhitung enam jam kau pergi," cerocos Hazel. "Menemui kerabat saja, Nona." Edgar menjawab kalem. Mata Hazel membinar melihat kotak berlogo toko kue ternama di tangan Edgar. "Apa itu?" tanya Hazel, pura-pura tidak tahu apa isinya, padahal sebenarnya ia tahu itu pastilah kue. "Red Velvet cake, Nona." Kedua mata Hazel berbinar-binar. "Benarkah? Tumben beli kue." Edgar menyodorkan kotak itu pada Hazel. "Untukku?" tanya Hazel menunjuk dirinya sendiri. Edgar mengangguk singkat. "Ya." Hazel bersorak ria, tanpa ragu ia menerima kotak kue itu. "Aku akan memindahkannya ke piring!" Gadis itu berlari riang memasuki rumah, meninggalkan Edgar dan Gabriel. Sejak tadi Gabriel memperhatikan raut wajah Edgar dan Hazel ketika berinteraksi. Ia bernapas lega melihat keduanya yang terlihat sangat akrab. Sikap Hazel pun sudah berbeda dari pertama kali adiknya itu berjumpa dengan Edgar. Dulu Hazel sangat galak dan ketus. Tapi sikap itu sudah hilang. "Aku senang kau akrab dengan Hazel," celetuk Gabriel. Edgar mengangguk singkat. "Ya, Tuan," jawabnya kaku. Gabriel tergelak. "Hanya itu balasanmu? Kaku sekali," komentarnya. Edgar menggaruk kepala belakangnya. "Saya tidak tahu harus merespon apa Tuan." Gabriel hanya tersenyum dan tidak bicara lagi. "Apakah kau menyukai Hazel?" Dahi Edgar mengernyit samar. "Apa maksud anda, Tuan?" Gabriel terkekeh pelan. "Jangan pura-pura tidak mengerti dengan ucapanku." Edgar menarik napasnya. "Tentu saja saya menyukai Nona Hazel. Dia majikan saya," jawabnya. Gabriel mendengus. "Bukan itu maksudku. Apakah kau menyukainya sebagai wanita? Aku melihat sikapmu sangat berbeda di depannya." Lima detik Edgar diam membisu kemudian menggeleng. "Tidak, Tuan. Saya hanya melakukan pekerjaan saya dengan baik, memperlakukan adik anda sebaik mungkin. Karena bisa saja gaji saya naik, 'kan?" Di akhir kalimatnya Edgar terkekeh pelan. "Kau bisa saja. Hanya uang yang ada di pikiranmu, eh?" dengus Gabriel. "Tentu, tanpa uang saya tidak bisa hidup," dustanya. Tentu saja Edgar bisa hidup tanpa bekerja dengan sangat keras, ia memiliki banyak uang yang ia dapatkan sebelum bekerja sebagai bodyguard. Uang itu cukup untuk hidup selama dua puluh tahun tanpa bekerja. "Baiklah, baiklah. Aku mengerti maksudmu." Percakapan mereka terhenti karena Hazel yang datang dengan membawa cake yanh Edgar beli. Di belakang Hazel juga terdapat Emma yang membawa piring kecil dan sendok kecil beserta pisau. "Ayo kita makan kue di gazebo sana. Kau juga ikutlah Ed!" Edgar mendorong kursi roda Gabriel menuju gazebo seperti yang diperintahkan Hazel. Sore itu mereka menyantap makanan manis dengan pemandangan langit-langit yang perlahan mulai menguning dan orange karena sebentar lagi malam akan tiba. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN