Keluar dari mansion utama Harrison, Edgar dapat melihat mobil Dedrick masih terparkir di depan. Tanpa buang-buang waktu, ia masuk ke dalam mobil kemudian memasang seat belt.
"Kenapa kau tidak pergi?" tanya Edgar, menyandarkan punggungnya di kursi lalu melipat kedua tangannya di depan d**a.
"Saya tahu anda akan kembali lebih cepat, Tuan," jawab Dedrick santai.
Edgar tidak membalas lagi. "Ke kantor sekarang."
Dedrick menganggukkan kepalanya lalu melajukan mobil menuju perusahaan Harrison. Ia akan menjumpai Aditama, dan menurut informasi yang ia terima dari bodyguard Ayahnya, lelaki tua itu berada di kantor.
Sekitar setengah jam, mobil berhenti di depan gedung perusahaan. Edgar bergegas turun dan masuk.
Tak ada yang menyapanya ketika ia lewat atau tidak ada yang menghormatinya, karena identitasnya memang tidak diketahui pegawai kantor. Hanya orang-orang penting sajalah yang mengenal dirinya adalah anak angkat Aditama. Lagi pula, pekerjaan Edgar bukan di perusahaan ini. Ia bekerja di perusahaan yang satunya lagi, usaha kelam yang berkedok sebagai perusahaan penerbitan dan juga perhotelan.
"Selamat siang, Tuan Edgar," sapa Julius, asisten sekaligus sekretaris Aditama.
"Siang Julius. Apa Papa ada di dalam?" tanya Edgar sambil melirik pintu ruangan Aditama yang tertutup rapat.
Julius menganggukkan kepalanya. "Ada Tuan. Beliau juga baru saja selesai makan siang dan sekarang istirahat sebentar di dalam."
Edgar mengangguk dan tidak membalas lagi, pria itu berjalan menuju pintu lalu memutar kenop dan membukanya lalu mendorongnya ke dalam. Kaki panjangnya melangkah masuk ke dalam dengan langkah ringan tanpa beban, dan Aditama tampak belum menyadari keberadaannya.
"Papa," panggilnya. Edgar sudah berada tepat di depan meja Aditama.
Kepala Aditama terangkat ke atas, wajahnya terlihat terkejut melihat Edgar di depannya.
"Duduklah, ada apa?" Aditama menunjuk sebuah kursi di depan meja kerjanya. Jelas sekali di raut wajah pria itu sangat terkejut mendapati putra angkatnya datang menemuinya.
Edgar mengangkat bahunya acuh tak acuh. "Hanya berkunjung," jawabnya asal.
Dahi Aditama mengernyit heran. "Kau serius?"
"Iya, Pa," jawab Edgar singkat, padat, dan jelas.
Aditama mengangkat bahunya mencoba untuk percaya saja dan ia kembali melanjutkan pekerjaannya. Ia berencana untuk membicarakan hal penting dengan Edgar ketika seluruh pekerjaannya hari ini selesai.
Sekitar sepuluh menit kemudian, Aditama selesai menandatangani beberapa berkas. Sekarang perhatian lelaki tua itu fokus pada Edgar sepenuhnya.
"Aku ingin mendengar alasanmu sekarang juga." Aditama menatap Edgar dengan raut wajah sangat serius. Pria itu juga meletakkan bolpoin nya di atas meja kemudian menangkup dagunya di telapak tangannya.
Edgar melirik Aditama dengan bingung. "Soal apa?"
"Kenapa kau menunda pekerjaanmu melenyapkan Gabriel dan Hazel?" Kini raut wajah Aditama benar-benar serius.
Edgar menarik napas, ia mulai menceritakan apa alasannya melakukan hal itu pada Aditama.
***
Setelah kepergian Edgar yang entah ke mana itu, Hazel menghabiskan waktu di kamarnya dengan membaca novel, sedangkan di lantai bawa ada kakaknya dan Ansel yang sedang bersantai ria.
Hazel menyeruput teh hangat yang telah dibawakan oleh Emma. Rasa manis yang ia rasakan tak membuat fokus matanya beralih dari halaman novel itu.
Kedua pipi Hazel tanpa sadar memerah malu ketika membaca adegan yang sangat romantisme. Ketika kedua tokoh bertemu setelah sekian lama. Rasa ingin berhenti baca timbul, tapi dirinya juga di d******i oleh rasa penasaran.
"Ugh, deskripsi si perempuan tentang pemeran laki-lakinya sangat detail, dan sedikit mirip dengan Edgar," gumam Hazel tak menyangka.
"Rakyat bapak presiden Turki memang terbaik," puji Hazel lagi. Buku yang ia baca adalah buku romantis asal negara Turki yang di terjemahkan ke dalam bahasa Inggris.
Hazel kembali membaca novel itu dengan wajah yang semringah. Tokoh-tokoh dan karakter di film itu benar-benar membuatnya jatuh cinta saat itu juga.
Waktu terus berjalan hingga Hazel tidak sadar jika ia sudah berada dipenghujung novel. Bagian yang paling mendebarkan sudah mulai masuk, yaitu puncak konflik dan penyelesaian masalahnya. Bahkan ceritanya sudah sangat mendekati ending.
Sudah membaca ratus-ratusan halaman tak membuat Hazel tenang begitu saja. Ia tetap merasa berdebar karena agak takut jika akhir cerita kedua pasangan tokoh ini berakhir menyedihkan. Hazel salah satu pembaca yang tidak suka sad ending, karena menurutnya cukup hidup saja yang pahit dan menyenangkan. Jangan sampai di dunia halunya dan juga imajinasinya kena.
Tapi mau bagaimana pun ia berharap, ja juga tak bisa pastikan ending di buku ini adalah sad. Terlebih ia belum. sampai pada halaman terakhirnya.
"Sepertinya seru sekali, apa yang kau baca, Haz?" tanya Gabriel yang tiba-tiba berada di hadapan Hazel.
"Novel. Seru lho..." balas Hazel sambil terkekeh pelan.
Bagaimana ia tidak terkekeh? Pikirannya kini sedang membayangkan tokoh utama pria adalah jodohnya. Penyebab ia mulai halu seperti itu adalah karena sikap pria itu sangat tipe-tipe Hazel.
Hazel menyukai pria tinggi, dan kulit bersih serta tampan. Walaupun ia hanya membaca novel, tidak terdapat ilustrasi gambar si tokoh, Hazel tetap bisa membayangkan seperti apa rupa dari si cowok pemeran utama.
Gabriel menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah sang adik yang agak sedikit aneh. Senyum-senyum tidak jelas seperti orang yang tidak waras.
"Jangan senyum-senyum seperti itu, kau tampak menyeramkan senyum-senyum sendiri. Masih waras kan?" tukas Gabriel nyelekit.
Hazel menggembungkan kedua pipinya, ia menatap Gabriel kesal dan sinis. "Jangan jadi perusak mood deh! udah ah, kak Gab ke keluar sana," usirnya.
Gabriel terkekeh. "Di luar membosankan, lebih enak mengganggumu."
Hazel melotot dan hendak melempar novel di tangannya ke arah Gabriel, namun ia teringat ini adalah salah satu novel kesukaannya, alhasil Hazel menahan diri untuk tidak menimpuk kepala Gabriel dengan novel miliknya.
"Kak Gab mending diam ya, jangan berulah. Aku mau lanjut baca!" pungas Hazel tegas. Kedua mata gadis itu juga menatap sang kakak dengan peringatan jika ia tak ingin diganggu.
Gabriel memutar bola matanya malas. "Iya, iya."
Tanpa mempedulikan Gabriel di sekitarnya, Hazel kembali membaca novelnya. Sisa halamannya tinggal lima lagi, benar-benar akan menuju ending. Hazel jadi tidak sabar, karena dlihat dari posisi halamannya sekarang sudah menunjukkan bau-bau jika novel itu akan tamat dengan akhir yang bahagia.
"Hazel..." panggil Gabriel. Pria itu terlihat kebosanan sendiri karena diabaikan. Terlebih Hazel begitu fokus dengan novel di tangannya.
"Apa sih, kak?" sahut Hazel tanpa menatap Gabriel.
"Makan yuk! Jam segini enaknya makan cookies dan es krim," ajak Gabriel.
Tawaran Gabriel itu terlihat sangat menggiurkan untuk Hazel. Gadis itu menatap Gabriel sejenak dan berpikir.
"Tapi ini masih ada lima halaman lagi, nanti aja deh," tolak gadis itu.
Gabriel menyeringai. "Kalau tidak salah, es krim di kulkas sisa satu kotak lagi. Kalau begitu aku makan duluan."
Hazel terperangah. "Itu kan punyaku!"
"Memangnya yang beli kamu? kan, yang beli Emma dan Julia."
Hazel menggeram kesal. "Kan, dibeli untuk aku."
"Perasaan Emma tidak bilang semua es krim punyamu deh. Lagi pula Emma selalu belanja memakai uang bulanan yang ku berikan."
Hazel mendengus keras. "Ya udah, ayo! kita ngemilnya bersama-sama aja," putus gadis itu sebal.
Gabriel terkekeh. Ancamannya ternyata berhasil. "Oke!"