Edgar Point Of View
Pada pukul sembilan pagi, sesuai dengan rencanaku, aku akan pulang ke mansion utama. Tentunya aku meninggalkan mansion Austen berjalan kaki, dan keluar dari pos penjaga satpam aku telah ditunggu oleh Dedrick.
"Selamat pagi, Tuan," sapa Dedrick sesaat aku masuk ke dalam dan duduk di jok sebelahnya.
Aku hanya menganggukkan kepala. "Langsung ke mansion utama," ucapku.
Dedrick mengangguk dua kali lalu melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang menuju mansion utama keluarga Harrison.
Sekitar tiga puluh menit menempuh perjalanan karena jarak mansion utama sangat jauh dengan kota. Aditama membangun mansion yang sangat besar ini di pinggiran kota yang sepi. Tentu saja agak tidak terlalu mencolok dan Aditama menyukai ketenangan, persis sepertiku yang suka dengan ketenangan.
Dedrick menghentikan mobilnya di luar pagar, aku langsung keluar dari mobil. Kaca mobil diturunkan, dan aku merundukkan sedikit badanku. "Pergilah, nanti kalau urusanku sudah selesai aku akan menghubungimu."
Dedrick mengangguk patuh. "Baik, Tuan."
Aku memutar tubuhku lalu berjalan memasuki area mansion melalui pagar kecil di pinggir, memang dikhususkan untuk orang yang masuk dengan berjalan kaki.
"Selamat pagi, Tuan!" Beberapa pengawal bersetelan hitam membungkuk hormat padaku dan memberi salam.
Lagi, aku hanya mengangguk membalas sapaan membosankan itu. "Apa Eliana ada di dalam?"
"Iya, Tuan. Nona ada di dalam, tetapi Tuan Aditama sedang keluar, Tuan," jawab salah satu pengawal.
"Baiklah, lanjutkan pekerjaan kalian," titahku.
"Baik, Tuan." Mereka pamit undur diri dan kembali melanjutkan pekerjaan dengan berdiri di beberapa sisi untuk menjaga area mansion.
Dengan langkah ringan aku berjalan masuk ke dalam mansion. Tidak perlu repot-repot, ternyata Eliana berada di ruang makan dan tampak menikmati sarapannya.
"Eh, kau datang kak?!" pekik Eliana terkejut. Refleks gadis itu bangkit dari duduknya.
"Iya aku datang, ada sesuatu yang harus aku bicarakan padamu," ucapku serius.
Wajah Eliana tampak kebingungan, namun untungnya ia tidak langsung bertanya masalah apakah yang akan ku bahas. "Apa kita harus bicara sekarang?" tanya Eliana, bergantian melihatku dan sarapannya di meja.
Aku menggeleng samar. "Lanjutkan sarapanmu, setelah itu temui aku di gazebo taman belakang."
Eliana tersenyum dan mengangguk patuh. "Baik, Kak." Gadis itu kembali duduk dan melanjutkan sarapannya.
Sedangkan aku berjalan meninggalkan ruang makan menuju gazebo yang ku maksud tadi.
Sekitar lima belas menit aku menunggu dan hanya duduk diam di gazebo yang berhadapan dengan kolam ikan. Tidak ada yang ku lakukan selain diam dan memandang ikan-ikan yang sesekali muncul di atas permukaan.
Eliana datang dengan membawa satu botol s**u cokelat dan juga satu botol kopi instan untukku.
"Terimakasih," kataku.
Eliana mengangguk santai lalu duduk di sebelahku.
"Apa yang ingin kakak bicarakan? Tampaknya sangat penting," celetuk Eliana setelah hampir lima menit kami diam membisu.
Aku memutar tubuhku menghadap Eliana dengan tatapan lurus, tak bisa dipungkiri bahwa mataku juga menatapnya serius. "Aku tahu kamu berulah beberapa waktu yang lalu," ucapku pelan.
"Apa maksudmu, kak?" tanya Eliana dengan dahi mengerut tidak paham.
"Kamulah dalang kecelakaan Gabriel Austen. Kenapa kamu melakukan itu?"
Tubuh Eliana berubah menegang kaku, ia menatapku dengan wajah pucat dan aku bisa melihat jelas ia sangat terkejut.
"A-apa m-maksudmu, k-kak?" tanya Eliana terbata-bata.
Aku memutar bola mata malas. "Jangan pura-pura tidak tahu, El," desisku tajam.
Walaupun Eliana adalah anak kandung Aditama, tapi aku tidak segan-segan berlaku tegas dan bisa saja memarahinya.
Eliana menghembuskan napas gusar. "Iya itu aku. Memangnya kenapa, kak?" Tanpa gugup Eliana mengatakan kebenarannya.
"Apa alasanmu melakukan hal itu? Kamu tidak perlu mencampuri urusanku dan keluarga Austen," ujarku tegas.
Gadis itu berdecak sebal. "Aku hanya tidak suka," jawab Eliana ambigu.
"Apa maksudmu tidak suka? Selama ini kau hidup aman dan damai tanpa bekerja, sekarang kenapa begini?" tanyaku beruntun.
"Aku tidak suka kakak jadi bodyguard Hazel itu!" pekik Eliana kesal. Nada suara gadis itu sarat akan kecemburuan yang sangat besar.
Aku mengerutkan dahi tidak mengerti, kenapa Eliana jadi membesarkan suaranya? Tidak sadarkah gadis ini bahwa ia salah?
"Jangan berbicara dengan suara keras padaku, Eliana," ucapku tegas penuh penekanan.
Eliana menggigit bibir bawahnya cemas. "Maaf, kak. Aku hanya terbawa emosi."
Aku menghela napas panjang. "Jangan pakai emosi, sekarang jelaskan padaku seluruhnya tanpa di tutup-tutupi," titahku tegas.
Eliana mengangguk patuh dan mulai bercerita. "Kakak udah jarang pulang, kita juga jadi jarang menghabiskan waktu bersama. Aku nggak suka kakak nemani Hazel terus, berhenti jadi bodyguard nya bisa nggak sih kak? Tinggal bunuh Gabriel dan Hazel saja langsung. Dan beres, selesai," keluh Eliana berapi-api. Terlihat bersemangat menjatuhkan dua bersaudara Austen itu.
"Aku memiliki rencana sendiri, jangan mencampuri urusan pekerjaanku mulai sekarang. Apa kamu mengerti?" tanyaku kembali tegas.
Eliana mengerucutkan bibirnya sebal. "Waktu kita bersantai jadi kurang sejak kakak jadi bodyguard!" keluh gadis itu.
"Ini adalah pekerjaanku, dan aku yang menjalaninya. Aku harap ke depannya kamu tidak bersikap kekanak-kanakan lagi. Bagaimanapun pun juga aku tidak bisa melihatmu di penjara nanti karena ulahmu ini," omelku cukup panjang. Selain pada Aditama, aku juga terbiasa berbincang panjang lebar dam menasehati Eliana.
"Tapi aku nggak suka kakak kerja jadi bodyguard Hazel," rengek Eliana seperti bocah yang kehilangan permen.
"Setelah semuanya selesai aku akan kembali pulang dan tinggal di sini, kau tak perlu khawatir," kataku menenangkan.
Eliana mengulurkan jari kelingking kanannya. "Janji? Berjanji juga untuk tidak jatuh cinta pada Hazel," ucapnya serius.
Tanpa pikir panjang aku menautkan kelingkingku pada kelingking Eliana lalu mengusap puncak kepalanya gemas. Sifat Eliana terkadang memang sangat labil dan manja. Padahal usianya sudah memasuki kepala dua.
"Yess, kak Edgar udah janji! Awas aja lho ya kalau nggak ditepati," ancam Eliana.
Aku terkekeh pelan. "Tentu aku tidak akan mengkhianatiku. Kita berjuang bersama ok?"
Eliana tersenyum lebar. "Okay!"
"Intinya satu, jangan buat masalah lagi. Kau hanya perlu hidup enak dan berleha-leha saja."
Eliana nyengir kuda. "Masalah itu sih aku setuju kak."
Aku bangkit dan mengusap rambutnya sekali lagi. "Sekarang aku harus kembali. Ingat, jangan membuat ulah. Kau hanya perlu bersantai di rumah itu sudah sangat melegakan."
"Iya-iya. Aku tidak akan berkeluyuran, dasar kakak tidak peka dan tidak berperasaan!"
Aku mengabaikan keluhannya. Aku berjalan meninggalkan gazebo taman belakang.
"Aku sayang kak Edgar! Jadi kakak nggak boleh suka Hazel, cukup aku yang kakak sayangi!" teriak Eliana kencang.
Aku berbalik menatapnya kembali, seutas senyum tipis tersungging di bibirku. Tanpa membalas dengan suara teriakan, aku hanya mengangkat kedua jari jempolku kemudian melambaikan tangan.
***