Hari ini adalah kepulangan Gabriel, Hazel, Edgar dan yang lainnya dari Swiss.
Kesehatan Gabriel sudah mulai pulih dan untuk check up, bisa dilakukan di London. Lagi pula Gabriel memiliki sahabat yang bekerja sebagai dokter.
Ansel membantu Gabriel berpindah ke kursi pesawat. Kali ini mereka tidak memakai pesawat komersial, Gabriel menyuruh pilot pribadinya untuk menjemput. Tentunya mereka akan menggunakan jet pribadi keluarga mereka. Selain karena tidak nyaman dengan keberadaan orang asing, Gabriel sengaja memanggil pilotnya karena ingin tenang di dalam pesawat dan memang tidak diisi oleh banyak orang.
Hazel duduk di sebelah Gabriel, sedangkan Ansel di kursi belakang mereka bersama Edgar.
Perjalanan menuju kurang lebih dua jam, tidak terlalu jauh.
***
Di malam harinya, kamar Gabriel berpindah ke lantai satu disebabkan kondisi kakinya.
Pada pukul delapan malam Saka dan Laila datang bertamu sekalian menjenguk Gabriel. Namun sayang Gabriel sudah tidur, jadi Hazel membawa kedua sahabatnya mengobrol di ruang tengah.
Di gelap malam yang sepi, Edgar berada di dalam kamarnya yang hanya berlampu temaram. Baru saja ia mendapatkan informasi dari Dedrick, mengenai pelaku atas kecelakaan Gabriel beberapa hari lalu. Sosok Pelaku yang cukup membuatnya geram kali ini karena terlalu ikut campur.
Edgar tidak menyangka pelakunya adalah Eliana Harrison. Anak kandung Aditama yang tak lain adalah adiknya pula.
Edgar tidak menyangka bahwa Eliana bisa berbuat nekat seperti itu. Selama ini Eliana tak pernah ikut campur dengan pekerjaannya dan juga pekerjaan Aditama. Gadis itu tinggal hidup nyaman menghamburkan uang dan tidak bekerja. Jadi kenapa tiba-tiba menyerang seperti ini? Eliana tidak seharusnya bertindak seperti ini, lagi pula selama ini gadis itu hanya tau cara menghamburkan uang bersama para teman-temannya.
Edgar harus bisa mendapatkan izin esok hari dari Gabriel atau Hazel. Besok ia harus pulang ke mansion utama untuk menemui Eliana dan menanyakan maksud dari sikap gadis itu yang bertindak nekat.
Tok... Tok... Tok...
Edgar tersentak pelan, refleks kepalanya menoleh ke pintu. Dengan langkah lambat ia berjalan menuju pintu lalu membukanya. Ia mengernyitkan dahinya melihat kedatangan Hazel ke kamarnya di tengah malam seperti ini.
"Ada apa, Nona?" tanya Edgar heran.
Wajah Hazel tampak panik. "Bantu kak Gab ke kamar mandi, Ed!"
Edgar menatap Hazel dengan raut tak percaya. "Kenapa harus saya? Anda kan adiknya."
"Kan kamu bekerja pada Gabriel, ya bantu dia lah! Kalau aku yang melakukannya malu tau!" pungkas Hazel kesal.
"Ansel di mana?" tanya Edgar yang semakin mengulur waktu, tidak tahu saja bahwa di kamar yang lain Gabriel tersiksa menahan membuang hajatnya.
"Ansel sudah pulang, udah ayo! Kak Gab udah sesak sekali itu." Tanpa menunggu balasan dari Edgar, Hazel menarik Edgar menuju kamar Gabriel.
Setibanya di kamar, dapat mereka lihat Gabriel tampak bahagia melihat keduanya karena ia sudah tidak sabar ke kamar mandi.
Tanpa mengucap sepatah katapun lagi, Edgar mengambil kruk untuk Gabriel berjalan lalu menuntunnya menuju kamar mandi yang ada di kamar itu.
Saat sudah selesai, Edgar kembali mendudukkan Gabriel di atas ranjang.
"Terimakasih, Ed," ucap Hazel tulus.
Edgar mengangguk. "Ya, Nona. Apa ada lagi?"
Hazel melirik kakaknya itu yang menggeleng. "Tidak ada. Kau bisa kembali ke kamarmu."
Edgar mengangguk paham. "Baik, selamanya istirahat Tuan dan Nona."
Setelah kepergian Edgar, Hazel mendekati ranjang Gabriel. Ia memperbaiki letak selimut Gabriel.
"Kalau butuh sesuatu, teriak saja. Aku akan tidur di kamar tamu sebelah," kata Hazel.
Dahi Gabriel mengernyit. "Kamar tamu itu belum di bersihkan dan pasti berdebu," ucapnya tidak setuju.
"Sudah. Emma sudah membersihkannya untukku tadi," jawab Hazel tegas dan tak ingin Gabriel memprotes.
Gabriel menghela napas lega. "Baiklah, kalau begitu sana istirahatlah."
Hazel mematikan lampu putih di kamar Gabriel lalu menggantinya dengan lampu kuning khusus malam. Gadis itu mengayunkan kakinya meninggalkan kamar Gabriel dan menuju kamarnya.
***
Keesokan harinya, Ansel datang pagi sekali tepat ketika Hazel sedang membuat sarapan bersama Emma dan pelayan lainnya. Dengan langkah lebar Hazel membukakan pintu.
"Di mana Gabriel?" tanya Ansel setelah pintu dibuka.
"Di kamarnya. Aku pikir kita memerlukan seorang perawat untuk merawatnya, seperti untuk bersih-bersih, mandi dan lainnya."
Ansel mengangguk setuju. "Aku juga berpikir begitu, tapi nanti aku akan membicarakannya dengan Gabriel. Untuk sementara ini aku yang akan membantunya."
Hazel tersenyum lebar lalu mengangguk dua kali. "Terimakasih, kau selalu direpotkan oleh kami."
Ansel tersenyum santai. "Tidak masalah. Aku dan Edgar sudah bersahabat sejak kuliah, ini tidak merepotkan. Kalau begitu aku akan ke kamarnya."
Hazel mempersilahkan Ansel masuk dan membiarkan lelaki itu berjalan ke kamar Gabriel sendiri.
Hazel kembali ke dapur, omelette dan bacon buatannya belum selesai.
Beberapa menit kemudian, Ansel mendorong kursi roda Gabriel menuju ruang makan. Gabriel sudah tampak rapi dengan setelah kaos oblong dan celana pendek. Edgar pun ikut menyusul dan berdiri di ujung ruang makan, mengamati. Terlihat tidak ingin bergabung.
"Duduklah, Ed. Kau juga harus sarapan." Hazel bersuara sambil menunjuk kursi yang kosong dengan tangannya.
Hazel sedang menata hasil makanan buatannya di meja bersama Emma. Sesekali gadis itu bersenandung.
Edgar menuruti perintah Hazel, ia duduk di sebelah Ansel.
Sarapan pun dimulai, tidak banyak obrolan di ruang makan itu. Hanya ada pembahasan perusahaan yang dibicarakan oleh Ansel dan Gabriel.
"Em, maaf menyela. Apa hari ini saya bisa izin keluar hingga sore Tuan, Nona?" tanya Edgar.
"Kau mau ke mana?" tanya Hazel heran.
"Kerabat saya ditimpa musibah, dan ia sedang membutuhkan saya, Nona," jawab Edgar berbohong. Tanpa ekspresi mencurigakan ia mengatakan hal itu dengan mudah. Edgar bahkan terlihat sangat-sangat tenang.
"Baiklah kalau begitu. Cuma hari ini aja 'kan?" tanya Hazel memastikan.
Edgar mengangguk. "Ya, Nona."
"Aku izinkan, lagi pula seharian ini kami akan berada di rumah."
"Terimakasih banyak, Nona."
Pembicaraan mengenai izin Edgar sudah berakhir. Kini kembali ke topik baru yang dicetuskan Gabriel.
"Sepertinya untuk selanjutnya kau harus menggantikanku sementara, Hazel," celetuk Gabriel serius.
"Apa maksudmu, kak?"
"Mulai lusa, kau handle kantor. Tenang saja, Ansel akan membimbing mu."
"Aku tidak yakin bisa," cicit Hazel pesimis. Gadis itu menggeleng berkali-kali menolak keputusan Gabriel.
"Bisa. Ada Ansel yang akan memantau dan membantumu. Untuk sementara ini aku tidak bisa bekerja."
Hazel menghembuskan napas pelan. "Baiklah, aku mengerti."
"Dan Edgar juga harus ikut. Mulai lusa ia juga akan mengantarkan mu ke kantor. Ingat itu ya, Ed."
"Baik, Tuan."
"Baiklah. Aku akan berusaha sebaik mungkin, dan cepatlah sembuh kak."
Gabriel tersenyum tipis kemudian mengangguk. "Aku akan berusaha untuk sembuh secepat mungkin."
***